Headlines News :
Home » » Agustinus Dawarja: Pengalaman Berliku Menjadi Pengacara

Agustinus Dawarja: Pengalaman Berliku Menjadi Pengacara

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, December 17, 2007 | 11:15 AM

Meski ayahnya hanya menjabat kepala sekolah, Agustinus Dawarja mendapat perlakuan sama dengan pelajar lainnya. Sejak kecil, ia sudah membedakan mana milik keluarga, mana milik sekolah.

DI LUAR jam sekolah, sang ayah melarangnya bermain bola kaki atau voli yang disimpan di rumah. “Kami hanya boleh bermain bola pada jam sekolah,” kenang Gusti saat ditemui di kantornya, Menara Duta Building di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Di masa kanak-kanaknya, setiap hari ia mengambil kayu di hutan, membawa air ke sekolah, dan membersihkan kebun sekolah. “Ayah mengajarkan kami untuk memulai dari hal-hal kecil dan mendasar,” ujar pria yang kemudian hari menjadi pengacara di pasar modal nasional ini.

Ketika duduk kelas 4 SD, ia sudah bisa membiayai sendiri sekolahnya dengan berjualan roti. “Saya ambil roti di Ruteng, lalu saya jual atau tukarkan dengan kopi. Maklum, saat itu tidak semua orang punya uang untuk beli roti,” kenangnya seraya tersenyum.

Ketika duduk di bangku kelas 6 SD, Gusti berhasil mengumpulkan enam karung kopi. Lantas, kopi itu ia jual. Hasilnya, ia gunakan untuk mebeli seragam masuk Seminari Menengah St Pius XII Kisol. “Gaji ayah tidak cukup untuk membiayai saya masuk seminari,“ lanjutnya.

Paling favorit

Saat itu, Seminari Kisol merupakan sekolah paling favorit di NTT. “Waktu saya duduk di kelas III, para frater mengunjungi kami sehingga saya tertarik ingin masuk seminari,” ujar Gusti.

Kedisiplinan yang ditanamkan orangtuanya Petrus Dahe dan Theresia Djaya, memudahkan Gusti saat studi di seminari. Sang ayah, yang lulusan Akademi Pendidikan Kateketik (kini STKIP Ruteng) angkatan kedua, adalah Ketua Dewan Paroki Muring, Keuskupan Ruteng saat ini. Sementara ibunya selalu mengingatkannya berdoa dan belajar bersama. “Suasana di seminari seperti kelanjutan dari suasana di rumah yang sangat menerapkan disipling,” tandas Gusti.

Awalnya, proses pembelajaran di seminari berjalan normal. Namun, ketika Gusti duduk di kelas II seminari, ketertarikannya menjadi pastor mulai pudar. Ia mala ingin menjadi pengacara.

Ketertarikan ini muncul setelah ia membaca nota pembelaan atau pleidoi Dr Adnan Buyung Nasution terhadap kliennya, Sudarsono. Saat itulah ia mulai menghadapi situasi dilematis. Di satu sisi orangtuanya mengharapkannya menjadi pastor. Di lain pihak, ia tertarik menjadi menjadi pengacara.

Gusti menganggap pembelaan Adnan Buyung Nasution terhadap Sudarsono sungguh luar biasa. Karena, pada saat bersamaan, hampir semua orang menuding Sudarsono bersalah dan harus dihukum berat. Dalam situasi sulit, hanya Buyung Nasution yang berani mengatakan bahwa kliennya tersebut tidak bersalah.

”Saya sangat tertarik terkesan dengan keberanian Buyung. Padahal, pembelaan itu mengandung risiko sangat besar. Tidak semua orang berani mengatakan benar adalah benar dan salah adalah salah. Buyung berani melakukannya,” tegas Gusti.

Bergema lantang

Nyatanya, panggilan menjadi pengacara bergema lantang di hatinya. Dengan mantap, Gusti meninggalkan seminari. Kemudian ia melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. “Saya masuk UGM hanya dengan surat keterangan dari seminari. Ijazah SMA menyusul karena masih diproses,” ungkap Gusti.

Setelah mengantongi ijazah Sarjana Hukum, Gusti segera menuju Jakarta untuk mewujudkan impiannya menjadi pengacara. Nyatanya, awal kehidupan di Ibu Kota terasa sulit. Selama beberapa lama ia menumpang di rumah seorang kerabat yang sudah lama menetap di Jakarta. Sementara itu, Gusti gencar mengirim lamaran ke berbagai kantor pengacara.

Tak jarang Gusti menghibur diri, “Jangan-jangan SH itu singkatan Susah Hidup.” Syarat menjadi pengacara sepertinya harus berbadan besar, tinggi, dan berani. “Meski demikian, keinginan menjadi pengacara tetaplah kuat,” imbuh Gusti. Demi menyambung hidup, Gusti membantu satu keluarga berjualan minuman ringan. Meski menyandang gelar SH, ia tak enggan berjualan. “Pekerjaan itu tidak pernah menjadi beban buat saya walaupun saya harus bekerja hingga pukul 01.00 dini hari,” tandas Gusti.

Gusti pun selalu memohon pertolongan Tuhan agar dibentangkan jalan untuk meraih cita-citanya. Melalui pekerjaam sambilan itu Gusti memperoleh kesadaran bahwa keberhasilan harus digapai dengan kerja keras. Kadang Gusti ingin meminta bantuan dari kerabat dekatnya untuk mencarikan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya. Namun, perasaan malu selalu menghalanginya.

Seorang kenalannya pernah bertanya, ”Kamu tamat dari mana?” Setelah tahu Gusti berijazah sarjana, orang itu malah heran. “Sarjana kok angkat-angkat kotak minuman?” Gusti tak berkecil hati. Keinginannya menjadi pengacara sudah bulat. “Saya harus sanggup mewujudkannya.”

Jadi pengacara

Akhirnya, Gusti memperoleh pekerjaan di Grup Humpuss. Untuk sementara waktu, ia menyingkirkan keinginannya menjadi pengacara. Ia berbesar hati atas realita tidak mudahnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginan. Terlebih di Kota Jakarta, tak terbilang banyaknya pendatang seperti dirinya mengadu peruntungan.

Suatu hari, Gusti memperoleh informasi ada lowongan pengacara di Kantor Hukum Frans Winarta & Parters. Gusti langsung mengantar sendiri lamarannya ke sana. Ia sungguh berharap bisa diterima di kantor tersebut karena sebelumnya berbagai lamarannya ke kantor-kantor pengacara tidak pernah memperoleh tanggapan.

Ketika lamarannya mendapat tanggapan dari Frans Winarta, serta-merta Gusti mengundurkan diri dari pekerjaannya. Kendati pun saat itu gajinya di Grup Humpuss Rp. 1.500.000 per bulan, sementara di Kantor Hukum Frans Winarta hanya Rp. 900.000. “Saya mantap pindah kerja demi mewujudkan cita-cita sebagai pengacara,” tegasnya.

Ternyata, realita bahwa faktor uang sangat berperan dalam mengurus perkara di pengadilan membuat Gusti gamang. Lalu, ia membuat kesepakatan dengan Frans Winarta bahwa dirinya tidak mau terlibat dalam urusan membela perkara di pengadilan. Alhasil, ia dipercaya mengurus masalah hukum korporsai, penananaman modal asing, serta negosiasi dengan perusahaan lain.

Akhirnya, Gusti ditunjuk menjadi Head of Corporate, Finance, and Banking Department Frans Winarta & Partners untuk mengembangkan divisi khusus yang terkait dengan masalah-masalah tersebut. Salah satu keberhasilan yang dicapainya adalah menjajaki kerja sama dengan sebuah kantor hukum di Belanda.

“Di kantor itu saya merasa beruntung. Saya banyak belajar bagaimana sebuah kantor hukum bisa bertahan dan berkecukupan tanpa harus terlibat dalam suap-menyuap. Saya melihat bagaimana Frans Winarta bisa menjadi sosok pengacara panutan,” tandasnya.

Seriring bertambahnya usia dan makin mantapnya pekerjaan, Gusti menikahi Maria Eugeny Ardiwinata. Dari peernikahannya lahir Madeleine Dawarja (7) dan Meagen Dawarja (5). Tatkala pasar modal kian bagus, Gusti memutuskan akan mencari pengalaman baru. Ia bekerja di salah satu kantor hukum terbesar di dunia pasar modal, yakni Makes and Parter Law Firm.

Pilihannya ini tidak meleset karena dia kian akrab dengan urusan laporan keuangan, pasar modal, merger, akuisisi, right issue, privatisasi, dan lain-lain.

Bila di Kantor Hukum Frans Winarta, ia banyak belajar soal etika dasar seorang advokat dan manajemen sebuah kantor hukum yang relatif kecil, di kantor barunya ia belajar bagaimana harus bertemu dengan sosok-sosok di kantor akuntansi tingkat dunia, seperti Pricewaterhouse Coopers. Seorang relasinya dari Belanda meyakinkannya bahwa pengacara di Indonesia cenderung lebih kompeten dibandingkan pengacara dari luar negeri. “Pernyataan itu memotivasi saya untuk maju,” ucapnya.

Setelah bekal pengalamannya relatif banyak, tahun 2001 Gusti mulai membuka kantor hukum bersama tiga rekannya. Kemudian, tahun 2004, ia mulai mengelola sendiri kantornya yang bergerak di bidang jasa korporasi, penanaman modal, serta ekspor-impor.

Kantor yang berlokasi di Lantai 6 Menara Duta Building di Jl Rasuna Said, Jakarta Selatan itu menjadi tempat Gusti mengelola usahanya. Ia menyadari sepenuhnya, Rahmat Tuhan yang ia peroleh saat ini merupakan buah-buah doa dan usahanya. “Dan tentu hasil pendidikan orangtua,” tegasnya lagi. (Ansel Deri/Ina Mudaj) 
Sumber: Majalah HIDUP edisi 16 Desember 2007
Foto: dok. Ansel Deri & nttonlinenews.com
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger