Headlines News :
Home » » Alfian Membuka Isolasi Lembata

Alfian Membuka Isolasi Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, January 17, 2008 | 11:14 AM

LEMBATA. Pulau yang hingga tahun 1968 resmi bernama Lomblen, luasnya 1.339 kilometer persegi. Letaknya bertetangga dengan Pulau Adonara, Solor serta daratan ujung timur Pulau Flores (Nusa Tenggara Timur/NTT). Sejak tahun 1958, seluruh kawasan tersebut masuk Kabupaten Flores Timur. Dan sejak 15 Oktober 1999, Lembata resmi jadi kabupaten sendiri.

Lewoleba yang sejak lama menjadi pusat pemerintahan Pembantu Bupati Flores Timur untuk wilayah Lembata, kini berperan sebagai kota kabupaten. Namun, jangan bayangkan pulau ini sudah maju. Jaringan jalan daratnya yang masih terbatas, membuat Lembata "lancar di laut dan macet di darat".

Transportasi laut memang benar-benar lancar. Mau dari Kupang, Kalabahi, atau Larantuka, tidak sulit mengunjungi Lewoleba. Armada feri dari Kupang dan Alor secara tetap tiga kali seminggu menyinggahi Lewoleba.

Sementara dari Larantuka lebih lancar lagi. Tiap hari, pagi sore, sedikitnya empat buah perahu motor penumpang-lazim disebut bus laut-beroperasi antara Lewoleba-Larantuka. Sekali jalan selama tiga-empat jam, dengan tiket seharga Rp 5.500 per orang.

Selain itu, Lembata masih didukung perahu motor sedikitnya 178 buah. Menyusul perahu layar (53 buah) dan perahu dayung termasuk sampan (567 buah). Lebata juga rutin disinggahi tiga feri, dua kapal perintis, dan 12 kapal nonpelayaran, yang sering mengangkut hasil bumi dari Lembata.

"Tak ada masalah lalu lintas perhubungan laut di Lembata. Kami sudah terbebas dari isolasi karena kapan saja bisa bepergian melalui laut," jelas Gregorius Molan Wutun, Kepala Desa Blobatang, Kecamatan Nebatukan, sekitar 20 kilometer dari Lewoleba.

SIAPA yang berjasa di balik lancarnya perhubungan laut yang membuka sebagian isolasi Lembata? Tampaknya, jasa pengusaha Alfian Lembata (60) tidak bisa diabaikan begitu saja.

Alfian Lembata yang bernama asli Sun Kui Lim, sudah begitu menyatu dengan masyarakat Lembata. "Nama saya berganti menjadi Alfian Lembata tahun 1980. Saat itu saya disumpah menjadi WNI. Saya memilih nama belakang Lembata, karena saya memang berniat menyatu dengan warga pulau ini," tuturnya.

Ayah sembilan anak dan enam cucu ini memang bukan tipe orang yang bekerja sekadar mencari keuntungan. Berbeda dengan kebanyakan pengusaha lainnya, ia merasa terpanggil membangun Lembata. Bahkan sebenarnya secara diam-diam, dengan caranya sendiri, ikut berjuang agar pulaunya cepat dikukuhkan menjadi kabupaten.

Keakrabannya dengan masyarakat setempat bisa dilihat dari kepercayaan masyarakat sebagai tempat menitipkan uang-mirip bank. Tetapi jangan salah sangka. Alfian Lembata bukan rentenir. Inisiatif penitipan uang justru datang dari masyarakat sendiri yang mau menyelamatkan uang yang mereka peroleh dari kiriman keluarga di rantau, Malaysia.

"Nanti kalau mereka ambil lagi uangnya, saya kembalikan sesuai jumlahnya ditambah persen (mirip bunga) yang disepakati atas saling percaya," tutur Alfian Lembata. Kebiasaan itu surut ketika Lewoleba memiliki bank (BRI) sejak 1980.

Bentuk lain pengabdian Alfian adalah berpartisipasi bahkan mengambil bagian paling besar membangun kantor pembantu bupati yang kini menjadi Kantor Bupati Lembata di Lewoleba. "Kantor itu dibangun secara swadaya. Kami membangunnya bersama masyarakat dan pemerintah di Lembata," kenang Alfian.

Selain itu, jasa paling berarti dari pengusaha kaya (ukuran Lembata) namun sederhana ini, adalah pembukaan isolasi pulau itu melalui perhubungan lautnya. "Saya memulai usaha perkapalan tahun 1968. Awalnya karena saya sendiri mengalami kesulitan mengangkut hasil bumi seperti kopra, kemiri, asam dan lainnya yang dibeli di sejumlah pulau sekitar ini," kisahnya.

Menurut dia, hingga sekarang ada tujuh kapal yang dihasilkan dari usahanya. Kapal-kapal kayu itu langsung saja dibangun di Lewoleba dengan tukang-tukang andalan khusus yang didatangkan dari Sulawesi Selatan.

Armada lautnya selain mengangkut barang dagangan, juga penumpang. Operasinya tidak hanya antarpulau Lewoleba-Larantuka dan pulau sekitarnya, tetapi hingga Kupang bahkan Surabaya. "Belakangan tersisa dua buah, khusus mengangkut penumpang Lewoleba-Larantuka," tambahnya.

LAHIR di Tiongkok, 20 April 1940, Alfian Lembata pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia, tahun 1949. Saat itu ia berusia sembilan tahun. Tepatnya di Waiwerang, Pulau Adonara, Flores Timur. "Saya datang mengikuti orangtua yang lebih dulu ke Indonesia," jelasnya.

Sempat mengikuti sekolah Cina selama dua tahun, Alfian Lembata yang mulai beranjak dewasa aktif berdagang dari pasar ke pasar di Adonara dan pulau sekitarnya. Usahanya mulai berkembang dan akhirnya ia memilih pindah ke Lembata tahun 1961.

Perpindahan itu berlangsung setelah dipastikan memperoleh rumah sewaan di Lewoleba. Di sana, usaha awalnya membuka toko sambil membeli hasil bumi yang langsung dipasarkan ke Surabaya.

Tahun 1970, Alfian melebarkan usahanya dengan membangun pabrik minyak kelapa. Lokasinya di tepi pantai, kini tidak jauh dari Dermaga Lewoleba. Pembangunan pabrik dilakukan karena pengantarpulauan kopra ketika itu dibatasi.

Pemerintah hanya mengizinkan dalam jumlah tidak terbatas bila sudah dalam bentuk minyak. Setelah berjalan lima tahun, pabrik itu terpaksa ditinggalkan karena pemerintah kembali mengizinkan mengantarpulaukan kopra dalam jumlah tidak terbatas.

Bagi Alfian, berdagang hasil bumi sebenarnya bukan usaha utamanya. Sejak tahun 1968, konsentrasinya adalah usaha perkapalan barang sekaligus penumpang. Setelah berjalan sekitar empat tahun, ia membangun kapal khusus penumpang bernama "Lembata Jaya" dengan rute Lewoleba-Larantuka-Kupang.

Usaha dengan rute tersebut, tahun 1977 terpaksa dihentikan menyusul mulai beroperasinya sejumlah armada feri di perairan NTT.

Belakangan, konsentrasi usahanya hanya memperlancar hubungan Lewoleba-Waiwerang-Larantuka. Di jalur tersebut kini beroperasi empat bus laut dan dua di antaranya milik Alfian Lembata. Kedua kapal bernana "Lewoleba Karya" dan "Lembata Karya", tiap hari mampu memasukkan uang rata-rata Rp 1 juta.

Bus laut "Lembata Karya" berkapasitas 350 tempat duduk, selalu dipadati penumpang. Maklum masih baru. Pengoperasiannya diresmikan Menteri Lingkungan Hidup Alexander Sonny Keraf dan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja di Lewoleba, 10 Juni.

ALFIAN Lembata belakangan tidak lagi aktif membeli hasil bumi. Usaha itu diwariskannya pada sejumlah anaknya.

Pada usianya, ia masih suka berjalan kaki, terutama ketika kapalnya akan berangkat atau tiba dari Larantuka. Ia akan berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya hingga dermaga. Kadang ia sekadar menjenguk kebun kakao dan kelapanya, seluas 6,5 hektar yang berlokasi tidak jauh dari dermaga.

Namun, penampilannya tidak mengesankan dirinya sebagai pengusaha sukses. Ia tak canggung dengan kemeja lengan pendek yang telah kusam dan sandal jepit. Di balik kesederhanaannya, Alfian Lembata telah berjasa ikut membuka isolasi pulaunya, Lembata. (Frans Sarong)
Foto: Alfian Lembata, salah satu tokoh Lembata keturunan Tionghoa yang berjasa membuka isolasi fisik di Lembata
Foto: dok. Kompas
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger