Headlines News :
Home » » Di Laut Lancar, di Darat Macet

Di Laut Lancar, di Darat Macet

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, January 17, 2008 | 11:07 AM


ENTAH Frans Mukin (52), Rofinus Laba Lazar (46), Gregorius Molan Wutun (42), Alfian Lembata, Yan Sunur (44), Muhamad Siong (41), Mama Halimah Memeng (56) atau siapa pun warga Pulau Lembata lainnya, kini lega dan bangga. Perjuangan panjang sejak lebih 30 tahun lalu, sudah membuahkan hasil.

Dalam administratif pemerintahan, Lembata lepas dari induknya, Kabupaten Flores Timur menyusul pengukuhannya menjadi kabupaten baru terhitung sejak 15 Oktober 1999. Dengan demikian, jumlah kabupaten di Nusatenggara Timur (NTT) bertambah menjadi 14 buah.

Perjuangan warga Lembata mengangkat pulaunya menjadi kabupaten sendiri, tidak hanya melalui berbagai bentuk pernyataan, diskusi atau lobi. Keseriusannya antara lain berwujud partisipasi nyata membenah Lewoleba sebagai calon kota kabupaten.

Lewoleba yang sejak lama menjadi pusat kota pembantu bupati Flores Timur, ternyata telah memiliki sejumlah kantor pemerintah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat pulau tersebut.

Rofinus Laba Lazar yang kini sebagai Kepala Bagian Hubungan Masyarakat kabupaten baru itu menyebutkan, partisipasi masyarakat itu nilainya tidak sedikit. Disebutnya sekitar Rp 6,350 milyar dan telah disumbangkan guna membantu pembangunan kantor yang kini jadi kantor bupati.

Berikut, rumah jabatan bupati, sebuah gedung pertemuan, kantor camat (tujuh), rumah jabatan camat (enam), ditambah 10 rumah semi permanen sebagai rumah dinas para pejabat.

“Oleh karena itu, pantas saja warga Lembata kini bangga kalau wilayah pulaunya telah dikukuhkan menjadi kabupaten tersendiri,” kata Rofinus Laba Lazar yang juga Ketua Panitia Prosesi Salib Milenium di Lembata.

“Seluruh umat Katolik Lembata kini sedang melakukan Prosesi Salib Milenium. Salib diarak sambil berdoa ke seluruh wilayah Lembata,” tambahnya di Lewoleba, pekan lalu.

Khusus dari upacara keagamaan ini, meski sangat khas Katolik, ternyata juga memancarkan warna menyejukkan. Arakan selama lebih sebulan sejak tanggal 6 Juni lalu, terlaksana setelah dibicarakan bersama dengan tokoh-tokoh Islam Lembata.

Pemuda Masjid setempat ikut ambil bagian menjaga keamanan selama prosesi. Dari sekitar 25 (seluruhnya 36) titik yang telah dilalui, upacara keagamaan ini berlangsung aman.

Bahkan di beberapa titik seperti Ileape, Hadakewa, dan Omesuri, yang sebagian warganya Islam, justru pimpinan umatnya ikut mengangkat Salib Milenium sebelum diarakkan ke titik lainnya. “Di Omesuri dan Ileape, gema Qasidah ikut mengantar arakan Salib Milenium ini,” jelas Rofinus Laba Lazar tentang kerukuran antaragama di Kabupaten Lembata.

"Kami warga Lembata terutama dari kalangan mudanya sudah punya komitmen merapatkan barisan guna menepis pengaruh luar yang bermaksud merusak hubungan antaragama. Hal ini menjadi perhatian serius kami karena kerusuhan antaragama di sejumlah daerah lain, terjadi akibat provokasi pihak luar,” tambah Muhamad Siong, Ketua Pemuda Islamiyah Lembata.

BAGAIMANA sosok kabupaten baru itu? Lembata yang merupakan sebuah pulau, luasnya 1.339 kilometer persegi. Atau hampir separuh dari wilayah Flores Timur (sebelum pemekaran) seluas 3.079,23 kilometer persegi. Begitu pula jumlah penduduknya tidak jauh beda dengan induknya. Kalau Lembata kini berpenduduk sekitar 116.000 jiwa.

Menyusul pemekaran, penduduk Flores Timur pun berkurang menjadi sekitar 153.000 jiwa dari sebelumnya, kurang lebih 269.000 jiwa. Sepakat menetapkan Lewoleba sebagai kota kabupaten, Lembata didukung 112 desa termasuk lima kelurahan, tersebar dalam tujuh wilayah kecamatan.

"Lembata menjadi kabupaten, sudah dinantikan sejak sekitar 30 tahun lalu. Proses perjuangannya panjang, sejak tahun 1970-an," ungkap Frans Mukin, salah seorang tokoh Lembata yang kini sebagai anggota DPRD II Flores Timur. "Dalam waktu dekat, saya bersama 14 anggota DPRD Flores Timur asal Lembata beralih menjadi wakil rakyat di kabupaten baru tersebut," sambungnya dalam suatu percakapan dengan Kompas di Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur, 27 Juni.

"Kami pasti bangga mendengar Lembata resmi jadi kabupaten. Harapan kami, dengan demikian usaha membangun Lembata bisa lebih serius dan terkonsentrasi, terutama menyangkut pembukaan isolasi wilayahnya," tutur Yan Sunur, pengusaha yang juga Ketua Gapensi Lembata di Lewoleba.

Komentar lainnya datang dari Kepala Desa Blobatang, Gregorius Molan Wutun di Kecamatan Nebatukan (Lembata). "Selama Lembata masih bergabung dengan Flores Timur, Lembata terkesan dianaktirikan. Buktinya, desa saya yang jaraknya dari Lewoleba hanya sekitar 20 kilometer, hingga sekarang belum bisa dijangkau kendaraan bermotor. Penduduknya kalau mau menjual hasil kebun mereka terpaksa harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer itu hingga Lewoleba," jelasnya.

Lembata sebagai kabupaten baru, jelas banyak tantangannya. Lihat saja dari aspek tranportasi, misalnya, hanya lancar melalui perhubungan laut. Sementara perhubungan daratnya, macet!
Lewoleba mudah dijangkau melalui perhubungan laut. Entah dari Kupang (kota Propinsi NTT) atau dari Larantuka. Armada feri dari Kupang dan Alor (NTT) secara tetap tiga kali seminggu menyinggahi Lewoleba. Sementara dari Larantuka lebih lancar lagi. Tiap hari sedikitnya empat buah perahu motor penumpang atau yang lazim disebut bus laut, beroperasi antara Lewoleba-Larantuka. Sebagian beroperasi di waktu pagi dan sebagian lain meluncur menjelang petang. Sekali jalan selama 3-4 jam, dengan tiket seharga Rp 5.500 per orang.

"Bagi Lembata kalau dari lalu lintas perhubungan lautnya, tidak ada masalah. Kami sudah terbebas dari isolasi karena kapan saja bisa bepergian melalui laut," jelas Alfian Lembata (67), pengusaha perkapalan penumpang di Lewoleba.

Masih dari trasnportasi laut, Lembata kini didukung perahu motor sedikitnya 178 buah. Menyusul perahu layar (53) dan perahu dayung termasuk sampan (567). Dukungan lainnya, secara rutin disinggahi tiga feri, dua kapal perintis ditambah 12 kapal nonpelayaran.

KALAU di laut lancar, sebaliknya di darat macet. Ada kesaksian menarik ketika Kompas yang tiba di Lewoleba pekan lalu, harus mengunjungi perkampungan Mingar di pesisir selatan Lembata. Jaraknya dari Lewoleba hanya sekitar 45 kilometer, namun ternyata tidak gampang dijangkau.

Jalan raya memang sudah berhasil menusuk tembus hingga pusat kampung kantung kemiri, kopra, jambu mete, pisang, dan asam itu. Namun, hingga kini belum ada kendaraan penumpang yang secara rutin berani menerobos.

Bahkan para pemilik kendaraan lain pun enggan menyewakan kendaraannya kalau saja mereka tahun akan ke Mingar. "Kalau ke sana, kendaraan saya pasti mengalami kerusakan karena medannya masih sangat berat," begitu kata beberapa pemilik kendaraan di Lewoleba.

Pilihannya terpaksa pada sebuah jip tua (1981). Kondisinya sudah reot dan sebagian kaca jendelanya sudah terlepas. Dan, jangan terkejut. Bayarannya sangat mahal, Rp 350.000 untuk perjalanan pergi pulang Lewoleba-Mingar yang hanya 45 kilometer itu! Sebagai pembandingnya, di daratan Flores atau Kupang, sewa kendaraan jenis kijang (mulus) antara Rp 150.000-Rp 175.000 per hari.

Bayaran mahal atas jasa jip tua ternyata tidak menjamin lancarnya perjalanan. Selain harus bermandikan debu disertai guncangan keras, kendaraan reot itu setidaknya lima kali mengalami kemacetan selama perjalanan.

Setelah dicek, ternyata master koplingnya pecah dan tidak berfungsi. Akibatnya, menghidupkan mesin harus dengan mendorong dulu. Perjalanan yang hanya 45 kilometer harus ditempuh sekitar delapan jam pergi-pulang dan sungguh mengundang bahaya!

Seperti disaksikan ketika menusuk sejumlah perkampungan di Lembata, transportasi daratnya memang masih sangat memprihatinkan. Jaringan jalannya tidak hanya terbatas, tetapi juga sempit dan baru sebagian kecil dibalut aspal, itu pun sangat tipis.

Jalan beraspal tipis, sempit dan berlubang-lubang, sebenarnya sudah menjadi pemandangan sama sejak kota kabupatennya di Lewoleba. Bedanya, bahu jalan di kota menjadi lahan bagi pejalan kaki. Sementara bahu jalan sejak lepas tepi kota, sudah menjadi lahan rumput liar yang tumbuh melampaui tinggi kendaraan jenis jip.

Seperti jaringan jalan ke Mingar, sebagai ruas jalan di Lembata masih berupa rintisan awal. Jalan-jalan baru swadaya masyarakat itu, dibuka seadanya mengikuti selera mereka tanpa bantuan tenaga teknis dari Dinas PU setempat.

Gundukan batu alam yang mencuat tajam dan kokoh disertai lubang-lubang dalam, membuat kendaraan yang memaksakan diri lewat di sana harus tahan terhadap guncangan keras.

Menurut catatan, Lembata yang berada dalam kepungan garis pantai sepanjang 300 kilometer, hingga kini belum memiliki jalan negara. Ruas jalan yang telah dibangun di sana sepanjang 1.017 kilometer.

Rinciannya, jalan propinsi 52 kilometer, jalan kabupaten 325 kilometer ditambah jalan kecamatan/desa dan lainnya 640 kilometer. Sebagian kecil antaranya sudah beraspal, namun sudah terkelupas dan hancur.

Khusus di Kota Lewoleba, persoalan transportasinya masih ditambah kendala lain. Kehadiran sekitar 300 buah becak terasa sangat menggangu kelancaran lalu lintas. Mobil atau sepeda motor terpaksa harus mengalah terhadap becak yang hanya mau menyusuri badan jalan beraspal.

"Lewoleba ke depan, lalu lintasnya akan semakin ruwet jika kehadiran becak ini tidak cepat ditertibkan," keluh pengusaha Muhamad Siong yang juga Sekretaris Gapensi Lembata.

KABUPATEN baru, Lembata hingga kini belum dipimpin oleh bupati defenitif. Pejabat bupati sekarang adalah Drs PB Keraf. Oleh karena itu, maklum saja kalau Lembata kini sedang demam suksesi. Tiap kubu secara gencar mengunggulkan jagonya.

Meski begitu, berbagai pihak di atau asal Lembata sama-sama berpendapat, membangun kabupaten baru itu harus mulai dengan memperluas dan memperbaiki jaringan jalan rayanya. Terobosan itu dinilai sangat penting karena sebagian besar wilayah Lembata-termasuk daerah kantung produksinya, hingga kini masih terisolasi.

Kata mereka, mustahil membangun Lembata tanpa diawali perhatian serta upaya serius pada perbaikan juga perluas jaringan jalannya.

"Bagi saya, siapa pun yang akan mempimpin Lembata nantinya, prasarana jalan raya harus menjadi prioritas. Sebagian besar wilayah kabupaten baru ini masih terisolasi termasuk kawasan sentra produksinya," komentar Anggota MPR, Drs Herman L Wutun MBA, seakan mengisyaratkan aspirasinya dalam dinamika proses suksesi tersebut.

Komentar senada dilontarkan Drs Frans Mukin, Anggota DPRD Flores Timur asal Lembata. "Terbanyak warga petani di Lembata menjual hasil kebunnya dengan memikul di bahu dan harus berjalan kaki belasan bahkan hingga lebih dari 20 kilometer. Kami butuh figur yang mampu menyehatkan ekonomi rakyat. Jadi jalan raya harus menjadi perhatian serius," katanya secara terpisah.

Perjuangan masyarakat bersama pemerintahnya sangat ditunggu hingga Lembata terbebas dari sebutan kabupaten baru dengan jaringan jalan prihatin dan mobil tua. (Frans Sarong)
Sumber: KOMPAS
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger