Headlines News :
Home » » Pak Harto dan Filosofi Jawa

Pak Harto dan Filosofi Jawa

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, January 30, 2008 | 12:10 PM

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan
Pemimpin Redaksi Majalah Inspirasi,
Lentera yang Membebaskan, Semarang

Mantan Presiden HM Soeharto meninggal dunia. Betapapun kontroversi tentang kehidupannya saat berkuasa di republik ini, di hari-hari duka setelah kematiannya perlu dikumandangkan filosofi mikul dhuwur, mendhem jero.

Terhadap orang yang memiliki jasa baik terhadap kita, baik secara personal maupun sosial, penghayatan filosofi mikul dhuwur, mendhem jero adalah wajib. Kita perlu menghormati yang telah berpulang karena jasa dan kontribusinya terhadap sesama (mikul dhuwur). Seiring dengan itu, kita tidak mengingat lagi segala kesalahan dan kekhilafannya (mendhem jero).

Dataran personal
Pada dataran personal, filosofi itu tepat dan sepantasnya, dalam tradisi mana pun. Dalam tradisi Jawa ada ungkapan mikul dhuwur, mendhem jero. Dalam bahasa Latin ada ungkapan de mortuis nil nisi bene non male, tentang yang sudah meninggal, yang baik-baik saja (yang perlu dikenang).

Bahkan, terhadap orang biasa pun—bukan penguasa, bukan pejabat, bukan elite politik—sambutan mengiringi upacara pemakaman seseorang selalu disertai puja-puji tentang kebaikannya.

Tidak pernah sambutan pengiring kematian Mbah Kromo, petani dusun Belikrejo, atau Kang Wanto, nelayan kampung Brotojoyo, dan Mbok Inem, pembantu asal Wonogiri, berisi hujatan dan pemaparan kejelekannya.

Pada dataran personal, filosofi mikul dhuwur, mendhem jero adalah kewajiban universal sepanjang masa seluas dunia. Namun, dalam sambutan upacara kematian juga sering didengar ungkapan, ”Apabila ada utang-piutang yang terkait dengan almarhum-almarhumah, segala sesuatunya akan diselesaikan ahli waris dan keluarganya!”

Ungkapan terakhir ini menjadi penting, bukan hanya pada tingkat personal, tetapi juga sosial. Ada tanggung jawab untuk menyelesaikan tiap perkara terkait yang telah wafat. Dalam kasus-kasus ringan, terkait utang-piutang yang tidak terlalu besar, secara ikhlas menghapuskannya, demi meringankan beban keluarga dan ahli waris yang ditinggalkan.

Itulah implikasi personal maupun sosial dalam perspektif paguyuban masyarakat terbatas terkait filosofi mikul dhuwur, mendhem jero. Sebuah kearifan lokal yang juga bersifat universal.

Kasus Soeharto

Apakah filosofi mikul dhuwur, mendhem jero dapat diterapkan untuk Soeharto yang notabene mantan penguasa Orde Baru? Pada tingkatan personal ya dan harus! Terhadap jasanya sebagai pejuang dan Bapak Pembangunan, kita harus mikul dhuwur. Bahkan tidak bisa dimungkiri, jasa-jasa Pak Harto tidak hanya seluas nasional di Indonesia, tetapi juga pada tingkat regional Asia Tenggara, bahkan tingkal global.

Perjuangan untuk mengentaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan, ketertinggalan, penguatan ekonomi yang menyejahterakan rakyat, dan pemberantasan buta huruf merupakan jasa-jasanya yang harus dikenang dalam sejarah republik ini. Masih banyak jasa lainnya.

Keterlibatannya untuk mengembangkan politik bebas-aktif pada tingkat internasional dan menjaga ketertiban serta keamanan bangsa-bangsa membuat tokoh-tokoh regional maupun internasional turut berduka atas kematiannya. Ini sebuah reputasi Seoharto sebagai mantan Presiden Republik Indonesia.

Secara personal, segala kekhilafan dan kesalahan pun pasti dengan ikhlas dilupakan, dipendhem jero. Bahkan, lawan-lawan politiknya, korban kebijakan dan kekuasannya tidak sedikit yang melupakan dan memaafkan kesalahannya.

Namun, sama seperti sambutan terhadap Mbah Kromo, Kang Wanto, dan Mbok Inem yang menyebutkan tanggung jawab terkait utang-piutang almarhum-almarhumah oleh keluarga dan ahli warisnya, esensi yang sama tetap berlaku untuk Pak Harto.

Utang-piutang itu terkait warisan sejarah yang serba kabur, menyangkut pelurusan sejarah dan kebenaran Supersemar serta pengalaman traumatik G30S; terkait masalah pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus DOM di Aceh, Timor Timur, kasus penembakan misterius (petrus), kasus Trisakti, dan kasus-kasus anarki menjelang kejatuhannya. Utang-piutang yang berlabelkan kemanusiaan itu perlu dibereskan pemerintah melalui proses hukum yang berlaku.

Utang-piutang Pak Harto yang terbebankan pada ahli waris dan keluarga adalah masalah-masalah terkait korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga meninggalnya belum ada titik terang.
Ahli waris dan keluarga Pak Harto tidak melulu sanak saudara terkait ikatan biologis, tetapi juga terkait ikatan ideologis. Artinya, lingkaran kroni politis dan ideologis yang selama kekuasaan Soeharto berlangsung, ikut menikmati kekuasaan secara ilegal, ikut bertanggung jawab terhadap utang-piutang ini. Ini yang harus terus diperjuangkan demi harkat dan martabat berbangsa.

Kita ikhlas dan berdoa untuk kepulangan Pak Harto ke pangkuan Tuhan, juga memohonkan ampun atas segala kesalahan dan dosanya. Namun, kita tidak ikhlas lingkaran kroni yang selama ini menikmati kekuasaan tetap melenggang bebas tanpa pernah tersentuh hukum.
Sumber: Kompas, 29 Januari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger