"PESANAN dari ibu yang selalu saya ingat adalah, wa'u sa'o, walo sa'o (bahasa Lio). Itu artinya saya harus pulang ke rumah; jangan lupa diri." Demikian Uskup Darius mengenang ibunya Maria Rae, perempuan yang dalam pengalamannya adalah orang yang sangat sabar. Tentu saja, rumah di sini tidaklah terutama dalam artian ruang tempat diam yang dibatasi dengan dinding-dinding dan ditutupi dengan atap, tetapi secara simbolik berarti tanah dan akar, relasi antar anggotanya yang mencipta, yang atas salah satu cara telah membentuk dirinya.
Uskup Darius anak petani dari Pora itu punya tingkat pendidikan formal yang tinggi. Dia menyelesaikan program doktoralnya dalam bidang Sejarah Asia Timur dan Tenggara di Universitas St. Tomas, Manila tahun 1964. Beliau memangku banyak jabatan: pembimbing para frater di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, Praeses Seminari Tinggi Ritapiret, dosen di Ledalero, Regional SVD Ende, Uskup Larantuka dan jabatan-jabatan pada level Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) serta Federation of Asia Bishops Conference (FABC). Walaupun demikian beliau tetap bersahaja.
"Untuk apa?" demikian tanyanya ketika beberapa bulan yang lalu kami memulai suatu proyek kecil, yaitu menulis tentang karya penggembalaannya di Keuskupan Larantuka. Kami harus membujuk Uskup Darius agar mau diwawancarai dan semua pembicaraan itu direkam. Setelah pertanyaan pendek tadi beliau membuat satu peringatan, "Jangan melebih-lebihkan saya, saya hanyalah anak seorang kampung." Beliau tak suka ada publisitas tentang dirinya. Setelah dibujuk Uskup Darius akhirnya menganggukkan kepala tapi dengan syarat bahwa itu dilakukan hanya untuk tujuan pastoral.
Selama tiga puluh tahun jadi Uskup Larantuka, beliau menetap di rumah di San Dominggo. Setahun sebelum meninggalkan rumah itu Uskup Darius menerima surat yang ditulis oleh Kardinal Crezenzio Sepe, Prefek Kongregasi Suci untuk Penginjilan Para Bangsa. "Kami mempelajari laporan lima-tahunan dari Keuskupan Larantuka dan kami sangat menghargai risalah Anda yang sangat mendetail tentang gereja partikular ini yang telah diserahi kepada karya penggembalaan Anda sejak 1974. Kami ingin mengungkapkan syukur kami yang ikhlas kepada Anda untuk karya kerasulan yang patut dipuji yang telah Anda baktikan sebagai gembala utama dari wilayah gerejawi ini, bahagian timur Pulau Flores," demikian penggalan kecil surat yang ditulis dari Roma pada bulan Juli 2003 itu. Banyak hal yang telah dilakukan dalam kurun waktu tiga puluh tahun itu. Tentu saja, ada alasan untuk bersyukur. Terima kasih. Dan itu, banyak, atau lebih tepat sangat banyak.
Apa persisnya pastoral yang dijalankannya dalam kurun waktu kepemimpinan dalam Gereja lokal Keuskupan Larantuka dalam waktu yang sekian lama? Tak susah menjawabnya. Back to basics, yang tak lain adalah mengembangkan Komunitas-Komunitas Basis Gerejani (KBG). Gereja yang awali itu adalah gereja basis, gereja umat, perempuan dan laki-laki, bukan gereja struktur-hirarkis yang hanya dipimpin oleh laki-laki dan sibuk dengan upacara-upacara.
"Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati, sambil memuji Allah," (Kis 2: 46-47). Ketika tahun 2000 SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia) bicara tentang urgensi untuk mengembangkan Komunitas Basis Gerejani (KBG), Uskup Darius, para imam dan umatnya di Larantuka telah memulainya jauh sebelum itu. Dan pengembangan KBG di sana dikemas dalam suatu rencana pastoral lima tahunan yang sangat teratur.
"Menjalani hidup sebagai imam lebih dari lima puluh tahun adalah salah satu hal utama yang paling disyukuri." Itu dikatakan Uskup Darius di RS. Sta. Elisabeth Lela tanggal 2 Januari lalu untuk menjawab pertanyaan tentang apa hal yang paling disyukuri dalam hidup pribadinya. Dan hidup sebagai imam itu telah dijalaninya sejak tahun 1955, ketika bersama dua orang teman kelasnya mereka ditahbiskan di Gereja Paroki Nita, Maumere. Moto tahbisan imamatnya adalah: "Lihatlah, aku telah Kau panggil" (1 Sam 3: 8). Andaikan saja beliau diberi kesempatan untuk memilih satu cara hidup lagi, apakah ia masih tetap memilih cara hidup sebagai imam ini? "Tidak ada pilihan seperti itu. Itu pengandaian yang tak masuk akal. Saya sudah menghidupi imamat saya," demikian kata Uskup Darius tak mau berandai-andai.
Anak kampung dari Pora, Lio itu menyadari diri sebagai orang yang dipanggil oleh Tuhan. Imamatnya, pertama-tama adalah panggilan Allah; Tuhan yang memulai. Dan sejatinya panggilan itu mentuntut tanggapan dalam situasi sosio-pastoral yang konkret, apalagi yang menantang. "Di tengah masyarakat yang sedang menghadapi berbagai macam krisis, kita sebagai gereja harus tampil sebagai satu kekuatan moral, yang mengajak semua orang yang berkehendak baik untuk bersama-sama membantu mewujudkan masyarakat yang damai di atas dasar keadilan dan kebenaran. Selanjutnya, sebagai Gereja Keuskupan ini, kita wajib menjalankan peran kritik profetik terhadap praktek-praktek ketidakadilan yang mengorbankan rakyat kecil. Karena itu, kami mengajak semua umat Katolik Keuskupan ini untuk membangun kerja sama satu sama lain, dengan umat beragama lain, dengan lembaga-lembaga negara, partai-partai politik, serta dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membentuk satu gerakan dan kekuatan sosial guna melawan merebaknya praktek-praktek ketidakadilan dan KKN.
Dalam kerja sama seperti ini kita belajar untuk saling mendukung, memperbaiki dan melengkapi," demikian Uskup Darius dalam surat kepada umat gembalaannya yang ditulis menjelang Natal tahun 2003. Surat itu tanggapan pastoralnya terhadap silang sengkarut sosial dalam urusan pemberantasan korupsi di sana beberapa tahun yang lalu.
Setelah menjalankan tugasnya selama tiga puluh tahun sebagai Uskup Larantuka beliau akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah serikat religius yang pernah membesarkannya. "Saya sudah pensiun, saya mau kembali ke komunitas SVD," demikian katanya beberapa saat sebelum meninggalkan rumah San Dominggo Larantuka pada tahun 2004. Sejak tahun itu, beliau menetap di Pusat Penelitian Candraditya, Maumere bersama-sama saudaranya seserikat. Ada paviliun kecil yang dibangun untuknya di pusat penelitian itu dan diberi nama nama Sa'o Darius. Sa'o dalam bahasa Lio adalah rumah atau secara simbolik berarti ibu. Ibu yang rahim, yang melahirkan dan membesarkan. Paviliun dan nama itu adalah suatu kenangan bahwa setelah menjalankan tugas bakti yang berat untuk umat selama kurun waktu yang tak singkat kini ia telah kembali ke pangkuan serikat religiusnya, SVD (Societas Verbi Divini).
Pulang ke rumah
Pulang ke rumah dan hidup di tengah sama saudaranya, mungkin juga menghembuskan nafas terakhir di tengah sama saudaranya dalam satu serikat religius, adalah keinginan dan kebutuhan yang terus-menerus diulanginya menjelang hari berpulangnya. "Itu rumah kita, saya tidak betah di rumah sakit," jawabnya ketika pada penghujung tahun 2007 ditanya mengapa ia ingin selekasnya meninggalkan Rumah Sakit Sta. Elisabeth, Lela tempat ia dirawat dan kembali ke Candraditya.
Sejak tanggal 21 Juni 2007 hingga 9 Januari 2008 beliau dirawat di rumah sakit itu. Lama. Pasti sangat menjenuhkan. Di sana ia hanya terbaring, tak bisa bangun kalau tak dibantu. Sisa-sisa embun malam dan pucuk-pucuk rumput tumbuh di pagi hari hanya bisa disaksikan jika para perawat mendorongnya di atas kursi roda melintasi teras Paviliun Arnoldus, di rumah sakit yang dikelola oleh suster-suster SSpS itu.
Tanggal untuk pulang rumah itu sebetulnya sudah disepakati, yaitu pada 2 Januari 2008. Hari itu sama saudaranya dari Candraditya berangkat ke Rumah Sakit Sta. Elisabeth Lela untuk menjemputnya pulang ke rumah. Tempat tidur khusus untuknya sudah disiapkan di Candraditya. Seorang bruder perawat yang akan membantu beliau juga sudah tiba di Candraditya beberapa hari sebelumnya. Hari itu beliau sangat bersemangat. Pakaian rumah sakit sudah diganti. Ia mengenakan baju batik kuning dan kain sarung yang biasa dikenakannya pada sore dan malam hari di Candraditya. Tapi tatkala hendak melangkah keluar dari pintu kamar di Paviliun Arnoldus di Rumah Sakit itu kesehatannya mendadak turun. Ia tak sadarkan diri. Karenanya, beliau masih harus dirawat lagi dan hari itu tak jadi pulang ke rumah.
Sehari sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir beliau sangat memaksa agar segera dibawa pulang ke rumah. "Jemput saja saya dengan kita punya mobil dari Candraditya," katanya kepada orang dari Candraditya yang menjenguknya hari itu. Dia hanya terbaring di atas tempat tidur yang dialasi dengan kain warna putih. Dan, malah, beberapa saat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir beliau masih meminta para perawat agar selekasnya menelepon sama saudaranya di Candraditya Maumere agar datang menjemputnya.
Dan, seperti yang sudah diketahui, kerinduan untuk pulang ke rumah itu memang tak pernah terpenuhi sampai Tuhan memanggilnya pulang. Pesan ibunya yang selalu diingat adalah 'pergi dari rumah tapi harus kembali ke rumah' berarti ingat tanah dan akar, tak boleh lupa diri. Tapi bukankah pesan tadi, pada intinya, bicara tentang asal dan tujuan? Dalam artian ini kerinduan untuk pulang ke rumah itu sesungguhnya sudah terpenuhi. Beliau telah pulang ke rumah abadi yang dan bersatu dengan Dia yang menjadi asal dan tujuan hidup manusia beriman. Selamat jalan, sampai jumpa di rumah Tuhan, rumah kita.
Eman Joseph Embu SVD, Sekretaris Eksekutif Candraditya Research Centre, Maumere.
Gelar MA Antropologi didapat dari Macquarie University, Sydney Australia, 2000.
Sumber: POS KUPANG 14 Januari 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!