Headlines News :
Home » » Sengketa Hati Perempuan Dalam Ata Mai

Sengketa Hati Perempuan Dalam Ata Mai

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, January 17, 2008 | 10:54 AM

Gabriel Garcia Marquez membeberkan kisah cinta sepasang kekasih di zaman merebaknya wabah kolera, dalam Love in the Times of Cholera. Margareth Mitchell melukiskan gelora asmara Scarlett O`Hara dan Kapten Butler, di tengah kecamuk perang sipil Amerika dalam Gone with the Wind. Lantas, Boris Paternak berkisah ihwal pengembaraan cinta Zhivago dan Lara dalam Dr Zhivago di tengah revolusi Rusia. Kisah cinta, sebagai bahan baku fiksi, selalu memesona para novelis.

Namun, seunik apapun jalinan cinta itu, pengarang perlu latar dramatik sebagai bingkai. Itu sebabnya dongeng percintaan dalam Farewell to Arms Hemingway atau War and Peace Tolstoy bukan hanya menjadi fiksi yang artistik, tapi juga menyejarah, karena ada anasir historis, dalam wujud perang yang tragis-dramatis. Ata Mai adalah potret Lila dengan segala persoalannya, terutama problem asmaranya, yang mendua, yang terbelah, yang warna-warni. Pembaca tampaknya memerlukan konflik eksternal sebagai bumbu pergolakan internal yang dialami protagonis novel.

Maria Dian Andriana, lewat novel debutan, Ata Mai (Sang Pendatang), juga bercerita tentang asmara Lila dan Sam, dengan latar bumi Flores, tentu sebelum wabah busung lapar melanda desa-desa. Andaikan Ata Mai dibuat serial, sang novelis dapat melanjutkan kisah cinta yang menyedihkan itu dengan setting yang lebih kelam, mengenaskan. Percintaan di antara anak-anak yang berkaki dan tangan kurus, dengan perut membuncit.

Ata Mai sesungguhnya bukan sekadar cerita cinta yang bertepuk sebelah tangan antara Lila, sang peneliti, dengan Sam, pemuda Flores yang sarjana, guru, tapi juga petani. Hubungan batin antara Lila dan Sam, meski menjadi tonggak tragedi dalam keseluruhan novel, agaknya hanya bagian kecil dari kanvas peristiwa dalam Ata Mai. Lila, protagonis cerita, yang diuraikan oleh pengarang dengan sudut pandang orang pertama, adalah fokus dan inti cerita Ata Mai. Pembaca diajak mengikuti perjalanan fisik dan metafisik, raga dan batin Lila.

Dengan kata lain, Ata Mai adalah potret Lila dengan segala persoalannya, terutama problem asmaranya, yang mendua, yang terbelah, yang warna-warni. Dalam novel setebal 531 halaman yang diterbitkan Galang Pers, edisi Juni 2005 yang diberi kata pengatar sarat muatan falsafah oleh Dr Paul Budi Kleden SVD itu, pengarang secara fotografis menghadirkan panorama Flores yang masih alami.

Lukisan imajinya tentang hamparan sawah Manggarai dari balik panel jendela pesawat, bukit-bukit di kota Ende, Gunung Meja, Danau Kelimutu dapat menyeret kembali memori pembaca tentang eksotisme kepulauan Maluku sebagaimana dideskripsikan dalam novel Bayangan Memudar, Taman Kate-Kate, dan cerita-cerita serupa yang digubah para penulis kolonial. Tentu Ata Mai tak sama sebangun dengan novel-novel yang mengumbar lukisan kemolekan alam Indonesia itu. Meski tak berlangsung dalam suasana perang atau berkecamuknya wabah, Ata Mai masih mengusung kengerian.

Hal itu bisa dirasakan dari rasa gentar yang dialami Lila, karena sempat menjadi saksi tiga kematian dalam enam bulan. Kematian yang begitu membuat sesak nafas. Kematian yang mestinya bisa diatasi, yang tak perlu terjadi. Sumber maut itu: rabies, orok yang melintang di garba perempuan.

Labirin

Membaca fiksi, kata filsof yang juga pendongeng Voltaire, adalah menemukan esensi pergolakan manusia. Itu sebabnya, novel yang hitam putih dalam melukiskan tokoh-tokohnya, yang secara naif membelah manusia menjadi si jahat dan si baik, seringkali menutup ruang intepretasi bagi pembaca. Novel yang bernilai selayaknya menyimpan labirin persoalan, kata novelis Milan Kundera. Ada sengkarut kisah dan makna di dalamnya.

Bagaimana dengan sosok Lila? Secara sepintas, perempuan peneliti itu mencoba menertibkan asmaranya. Ia mula-mula tak mau berkhianat, bersikeras untuk tidak mengumbar cintanya untuk dua pria. Tapi, toh akhirnya dia gagal. Bimo dan Sam sempat hidup berdampingan di lubuk Lila. “Dua cinta di dadaku berlomba menggapai langit,” kata Lila. Namun, Bimo akhirnya harus tersingkir dari kapling hati Lila. Di sana kian mekar bunga dari benih yang disemai lewat “sorot mata yang menyihir” (halaman 252). Itu adalah sorot mata Sam.

Sampai pada petualangan cinta Lila yang berhenti di pelabuhan hati Sam, pembaca bisa membayangkan bahwa sang peneliti begitu mudah memberikan hatinya pada seorang pria. Bayangan semacam itu kian mengental setelah pembaca menyimak episode perjumpaan Lila dengan Pierre Jobin. Keduanya sempat begitu dekat dan keduanya sempat belajar bermain “skate” di atas Rideau Canal yang berlapis es. Panah asmara Lila tak sempat melesat dan menghunjam ke jantung karena Pierre, lelaki tampan yang hampir menggoyahkan integritas hati perempuan Indonesia itu, terlebih dulu melupakannya. Pada titik itulah, sang novelis menyelamatkan Ata Mai menjadi sekadar kisah perempuan yang mengumbar nafsu libidinal. Setelah bertualang ke sejumlah negara demi karirnya, nasib menyeret Lila untuk berhadapan dengan kepedihan. Sam akhirnya harus melaksanakan pernikahannya dengan Mercy, wanita desa yang tak punya keistimewaan, kecuali perangai sedikit judes.

Fakta itu mempertajam tragedi dalam Ata Mai. “Sekarang aku merasa dikalahkan oleh seorang gadis kecil yang bukan siapa-siapa!” demikian keluh Lila. Meskipun ditulis oleh seorang perempuan, nada dasar Ata Mai agaknya masih memihak pada pria. Lila adalah pecundang. Namun, kekalahan yang dihadapi Lila bukan akibat ulah laki-laki, tapi konsekwensi dari sengkarut psikisnya sendiri.

Mengenai problem kalah menang dalam memaknai Ata Mai, budayawan Mohammad Sobary menulis, “ ...ini juga kisah sedih sebuah kasih tak sampai, dan mungkin tanda kekalahan, bila kompleksitas hidup dilihat cuma dari urusan sekadar kalah-menang.”

Ata Mai yang ditulis dengan gaya realis ini, seperti dikomentari sastrawan F. Rahardi, dituturkan secara lancar dan stabil dari halaman pertama sampai akhir. Namun, Rahardi agaknya perlu diingatkan bahwa Ata Mai bukan berarti tak menghadirkan deskripsi surealis. Di halaman 375, sang novelis melukiskan alam mimpi secara liris. Di bagian itu, pembaca diajak memasuki petualangan khayali yang hanya teknologi digital Hollywood sanggup mewujudkannya dalam bentuk seni visual. Dengan pertimbangan gaya bertuturnya yang realis, cenderung episodis dan filmis, Ata Mai punya potensi untuk dijadikan pijakan bagi penulisan skenario. Dan, pembaca bisa menonton Ata Mai dalam bentuk layar lebar, setidaknya dalam bentuk mini seri di layar kaca. Siapa tahu!
Oleh Mulyo Sunyoto
Sumber: Lembaga Kantor Berita Nasional Antara
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger