Headlines News :
Home » » Maria Lies Henakin: Rindu Gereja di Tanah Jiran

Maria Lies Henakin: Rindu Gereja di Tanah Jiran

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, February 27, 2008 | 5:00 PM

Selama bekerja di Kuala Lumpur, Malaysia, sejak Januari 2001, ia tak pernah ke Gereja. Sejak di Medan, Rosario dan Salib dilarang dibawa ke Malaysia. Tak ayal, di Negeri Jiran ia hidup tanpa atribut rohani itu.

TAK PERNAH terbayang dalam benak Maria Lies Henakin, tenaga kerja Indonesia (TKI) bila Rosario dan Salib harus ditinggalkan di Medan, Sumatera Utara setelah mendengar kepastian keberangkatannya ke Johor Bahru, Malaysia Barat. Marlin berangkat sebagai TKI resmi menuju Johor Bahru pada malam Natal 24 Desember 2000 melalui sebuah perusahaan pengerah jasa TKI di tanah Batak itu.

Tenaga kerja wanita (TKW) asal Paroki Lerek, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu ingin menyabung nasib di tanah rantau guna membantu ekonomi keluarga di kampung yang pas-pasan. Pada Oktober 2000, Marlin tertarik dengan informasi kebutuhan pembantu rumah tangga (PRT) yang ingin bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja kontrak. Keputusan pun diambil gadis desa ini setelah menyadari ekonomi keluarga yang pas-pasan.

Setelah mendengar informasi itu, ia merasa tertarik dan memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai tenaga kerja kontrak di Malaysia. “Pada 5 Oktober 2000, saya berangkat dari Lerek menuju Larantuka dan selanjutnya pada 7 Oktober langsung menuju Jakarta. Saat itu, kami menumpang KM Sirimau yang merapat di dermaga Larantuka,” kata Marlin kepada penulis di Jakarta, awal November lalu. Marlin bertolak dari Larantuka (kota Kabupaten Flores Tmur di ujung timur Pulau Flores) bersama tiga temannya dari Lerek dan tiga lain dari Pulau Alor, NTT. Proses seleksi pun sepertinya berjalan lancar.

Setiba di Jakarta, mereka hanya bertahan selama seminggu di tempat penampungan TKI di Cawang, Jakarta Timur. Bersama lima puluhan calon TKW lainnya, Marlin diberangkatkan ke Medan Sumatera Utara dan ditampung PT Asalam Manunggal di Medan. Warga Paroki Lerek ini pun bernasib baik.

Hanya bertahan selama satu setengah bulan di Medan, ia langsung diberangkatkan ke Johor Baru, Malaysia Barat. Tapi, sebuah peristiwa menimpahnya dan membuat gadis ini sempat down. “Rosario dan Salib diminta perusahaan PJTKI untuk ditinggalkan dan tidak boleh dibawa ke Malaysia. Ini berlaku bagi semua TKW yang beragama Katolik,” katanya sedih.

Padahal, ia sangat bahagia bila teman-temannya sesama TKW yang beragama Islam bisa membawa peralatan Sholat dan tidak dilarang seperti dirinya. Toh, peristiwa itu tidak membuatnya putus asa. Dalam benaknya, ia berkeyakinan bahwa Bunda Maria dan Tuhan Yesus senantiasa menyertainya. Doa dalam hati selalu dilakukan untuk memohon penyertaan Bunda Maria dan Yesus.

Akhirnya, proses pemberangkatan berjalan lancar sesuai rencana. Pada malan Natal, Marlin dan teman-temannya diberangkatkan dengan speed boat dari Pelabuhan Tanjung Pinang menuju Johor Bahru. “Di Johor Bahru, kami dijemput oleh mitra perusahaan PT Asalam Manunggal. Pada 27 Desember 2000, saya langsung masuk rumah majikan bernama Mr Lih Cip Kanh di Kuala Lumpur,” cerita Marlin bangga.

Pengalaman awal

Sejak bekerja di rumah Mr Lih Cip Kanh, Marlin merasakan perlakuan majikan yang biasa-biasa. Keluarga majikan sangat menghormatinya sebagai TKW sehingga hak dan kewajiban pun dipatuhi. Perjanjian soal gaji antara majikan dan buruh tak ada masalah. TKW ini dibayar sebesar RM 370 per bulan. “Sesuai perjanjian awal, saya bekerja selama lima bulan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan PJTKI. Biaya ini termasuk jasa PJTKI mengurus Paspor dan Visa saya untuk bekerja di Malaysia,” kata Marlin.

Awal bekerja dengan keluarga Mr Lih Cip Kanh, Marlin selalu mencontohi pembantu yang sudah bekerja di rumah majikannya. Namun, hal yang membuatnya sedih, ketika pembantu pertama itu diminta majikan untuk memberitahu soal tata kerja dan pengenalan alat-alat dapur, malah tak mau ambil pusing. Pembantu itu malah tak mau mengajarkan Marlin soal-soal pekerjaan di dapur.

“Prinsipnya, saya harus berusaha sendiri untuk tahu. Saya juga tidak pernah membenci teman saya ini. Saya mendoakan dia agar mau berteman dengan saya karena kita sesama PRT. Doa saya akhirnya terkabul oleh Bunda Maria dan Yesus. Teman saya ini mau ngomong dengan saya,” cerita Marlin.

Selain itu, Marlin merasa sedih ketika ia tak diijinkan majikannya untuk pergi ke Gereja untuk mengikuti kebaktian bersama. Alasan majikannya, keselamatan Marlin bisa terancam karena di Kuala Lumpur banyak penjahat yang berkeliaraan di jalan-jalan. Begitu juga banyak Polis Diraja Malaysia yang selalu merazia para tenaga kerja asing yang tidak memiliki dokumen-dokumen resmi.

“Padahal, paspor dan visa saya resmi sehingga bagi saya tidak ada masalah. Cuma pertimbangan majikan saya masih rasional. Ia mungkin lebih menjaga keamanan saya sebagai seorang perempuan. Apalagi, banyak TKW dibawa kabur oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan membuat majikan pusing hingga harus berurusan dengan aparat kepolisian,” kata Marlin.

Untuk mengatasi kegundahan hati, ia hanya berdoa di dalam kamarnya. Doa selalu ia panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Penyayang. Ia selalu berdoa memohon kedamaian hati agar tetap konsentrasi menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai pembantu rumah tangga.

“Selama berada di rumah Mr Lih, saya berdoa dalam kamar saya. Sedinya, saya tak punya Rosario dan Salib. Tapi saya percaya, Bunda Maria dan Tuhan Yesus sudah memahami apa yang saya rasakan saat itu,” kenangnya.

Bukan hanya itu. Marlin merasa sedih karena setelah masa kontrak diperpanjang majikannya, kesepakatan gaji tak dipenuhi. Awalnya, ia dijanjikan untuk dinaikkan gajinya menjadi RM 450 per bulan. Tapi, Mr Lih Cip Kanh mengingkari dan membayar sesuai masa kontrak.

“Saya hanya dibayar sebagaimana masih dalam masa kontrak sebesar RM 370. Tapi, saya bahagia pada majikan karena ketika saya minta pindah kerjaan baru, ia tidak keberatan meskipun di tempat baru itu dengan gaji awal RM 370 per bulan,” tambah Marlin.

Masih alami berkat

Informasi kebutuhan PRT yang baru ia peroleh dari Yustina, seorang PRT asal Kabupaten Ende yang kebetulan bekerja tak jauh dari rumah majikan pertama. Di rumah Mr Koh Yong Kwang, Marlin mendapat kabar bahwa toke yang beristerikan perempuan asal Sulwesi, Indonesia itu masih membutuhkan tenaga PRT. “Saya merasa bahwa Tuhan masih memberi berkat kepada saya lewat teman sesama PRT asal Flores. Padahal, saya tak taulah kalau ada Yustina yang tinggal dekat saya,” lanjut Marlin.

Komunikasi dengan Yustina pun tak disangka. Suatu pagi, ketika Yustina lewat di depan rumah majikan, Marlin memberanikan diri menyapa. Komunikasi pun dilakukan lewat pintu pagar. “Dari situ saya tahu kalau Yustina juga PRT yang sama-sama berasal dari Flores. Saya akhirnya tahu kalau keluarga Mr Koh Yong Kwang masih butuh pembantu sehingga saya memilih pindah kerja di rumah itu,” ia melanjutkan.

Keluarga Mr Koh Yong Kwang sangat baik. Mereka sangat ramah dan tak pernah melakukan kekerasan fisik kepada karyawannya. Hal yang pernah dialami sebelumnya di rumah Mr Lih Cip Kanh. “Kebaikan ini nampak saat saya ingin cuit dan masa paspor dan visa berakhir. Majikan langsung mengiyakan saya untuk cuti ke kampung halaman. Dengan demikian, saya langsung memperpanjang paspor dan visa saya. Biayanya ditanggung Mr Koh Yong Kwang,” jelas Marlin.

Kemurahan hati majikan, katanya, mungkin beralasan karena jaminan kualitas kerja yang ia tunjukkan setiap hari. Marlin selalu bangun pukul 06.00 dan langsung menyelesaikan tugas-tugas harianya. Misalnya, mengepel lantai, membersihkan dan merapihkan kursi-meja, mencuci piring kotor, membersihkan bak mandi, mencuci pakaian, mobil, dan lain-lain seperti di rumah sendiri. “Kalau kerjaan sudah oke, bisa istirahat. Semua terserah kita. Intinya, tanggung jawab kita berada di rumah untuk menjaga rumah, tidak boleh keluar rumah tanpa sepengetahuan majikan,” ceritanya.

Kerinduan untuk ke Gereja pada hari Minggu setelah bekerja di majikan baru ini pun tak pernah kesampaian. Bagi majikan, ujar Marlin, masalah ke Gereja adalah urusan pribadi sehingga tak perlu dicampuradukkan dengan kerja sebagai PRT. Hal ini menjadi satu masalah besar yang dihadapi selama bekerja di Kuala Lumpur. Padahal, sebagai penganut Katolik, tentu harus ke Gereja setiap hari Minggu.

Ia percaya, siapun yang bekerja di negara orang dan diperlakukan seperti itu, tentu merasa tertekan. “Bayangkan, ketika Christmas saya minta untuk ke Gereja tidak diijinkan oleh majikan. Alasannya, banyak orang dan saya bisa ditangkap Polis Diraja Malaysia. Majikan takut saya dibawa kabur dan dipungut biaya jika ditangkap polisi. Sekalipun sudah punya paspor tetapi kalau ditangkap polisi berarti kita harus memberi uang tebusan,” lanjut Marlin. “Jadilah saya hanya berdoa di kamar meski tanpa Rosario dan Salib,” katanya. 
Ansel Deri

Ket foto: Maria Lies Henakin (gbr 1), TKW asal Desa Lerek, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur dan bersama keluarga Yohanes Boli Koban di Jembatan Hitam, Kalimalang, Jakarta Timur.
Sumber: Pernah dimuat Majalah HIDUP Jakarta
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger