Headlines News :
Home » » Gubernur Perempuan?

Gubernur Perempuan?

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, February 27, 2008 | 4:56 PM

Oleh Servinus Nahak 
Sedang kuliah di STFK Ledalero, anggota KMKL

GUBERNUR perempuan, mengapa tidak? Berbeda kalau pertanyaannya: Paus perempuan? Pada yang terakhir ini terjadi contradictio in terminus. Paus harus laki-laki. Tentang ini gereja menyimpan sebuah legenda, Paus perempuan. Lebih dari seribu tahun keberadaannya diingkari. Itulah Paus Joan, sosok kontroversial dalam sejarah, perempuan yang menyamar menjadi seorang laki-laki dan berhasil memegang tampuk tertinggi kekristenan selama dua tahun. Berbeda dengan Paus, jabatan gubernur tentu lebih terbuka.

Tensi politik NTT tampaknya mulai menunjuk angka di atas normal usai Drs. Mell Adoe, Ketua DPRD NTT mengeluarkan surat pemberitahuan tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT Jumat, 15/2/2008 lalu (PK, Sabtu, 16/2/2008). Beberapa partai sudah mengumumkan paket calonnya. Pertanyaannya, mungkinkah ada wajah perempuan dalam pilgub kita?

Bicara tentang calon gubernur atau calon wakil gubernur mungkin masih terlalu muluk. Dari pantauan koran-koran lokal seputar pilkada, di level kabupaten pun belum ada wajah perempuan yang muncul. Di Sikka, satu kabupaten di NTT yang konon menjadi barometer perpolitikan di NTT nama perempuan di bursa pencalonan kosong. Di TTS dan Sumba keadaannya sama (Bdk. berita PK, Selasa, 19/2/2008 hlm. 17, 18). Stiker-stiker yang plesir ke kampung-kampung sejak lama dalam hiruk-pikuk jelang Pilgub NTT tetap didominasi para bapak. Rupanya tahun tikus ini belum memberikan kesempatan kepada publik NTT untuk melihat wajah perempuan dalam pilkada.

Secara nasional kemunculan wajah perempuan dalam dunia politik diwakili oleh Megawati. Kendati di masa-masa sebelumnya sebenarnya sudah banyak perempuan yang malang-melintang di dunia politik, baru pada era reformasi keluwesan itu mulai terasa lebih longgar. Berbeda dengan masa Orde Baru, di era reformasi peran politik tidak lagi menjadi sesuatu yang semata-mata "terberi" tetapi lebih didasarkan pada pencapaian individual.

Sambil menunggu keajaiban terjadi di NTT, dua pertimbangan dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan mengapa wacana tentang partisipasi perempuan dalam politik penting untuk didiskusikan di sini. Pertama, hemat saya, dengan mematok kebebasan berpolitik sejak bermulanya reformasi maka sekarang, 2008, kita memasuki dasawarsa pertama perayaan kebebasan itu. Maka, sekarang saatnya mengevaluasi pencapaian perempuan ketika kebebasan berpolitik sudah dibuka lebih luas. Kedua, untuk mengevaluasi kinerja partai-partai politik (parpol) dalam menjalankan perannya mendidik dan menghasilkan kader yang handal termasuk kader perempuan.

Pencapaian

Di hadapan peluang kebebasan berpolitik di era reformasi, partai dan individu sama-sama mempunyai peranan berlipat. Setiap parpol dituntut untuk memainkan perannya sebagai sekolah yang mendidik kader pemimpin masa depan. Itu berarti, partai juga berperan mematok syarat-syarat "kelulusan" untuk menamatkan seorang figur. Diharapkan bahwa kualitas individual seorang calon berbanding lurus dengan tingginya prasyarat kelulusan.

Semakin tinggi prasyarat kelulusan semakin tinggi kualitas individual calon yang bersangkutan. Tentu setiap partai mempunyai tuntutan sendiri untuk menerima dan meluluskan calonnya. Persis seperti sekolah, partai juga dengan demikian dapat muncul sebagai partai unggulan atau partai kacangan tergantung dari kualitas lulusan-lulusan terbaiknya. Kualitas "tamatan" selanjutnya diuji di tengah masyarakat. Kelihatannya, secara umum tanggung jawab partai lebih banyak berhubungan dengan fungsi edukatif untuk mendidik dan menghasilkan calon-calon pemimpin masa depan yang handal.

Namun, peranan partai sebagai sekolah akhirnya dapat dipulangkan kepada individu yang bersangkutan. Sejauh sebagai sekolah, partai hanyalah sarana yang mewadahi proses pembelajaran sedangkan yang paling menentukan kesuksesan dalam proses belajar itu adalah individu itu sendiri. Secara lebih terbuka kemungkinan ini praktisnya diwadahi oleh ketentuan yang mengatur calon independen dalam pilkada (UUD 1945 Pasal 18 ayat l.
Lebih lanjut penting untuk ditandaskan bahwa kualitas kepemimpinan tidak ada kaitannya dengan kategori gender, melainkan berkaitan langsung dengan kualitas pribadi seseorang.

Dalam hubungan dengan demokrasi dan wacana kepemimpinan perempuan dalam politik, keberhasilan parpol menampilkan figur perempuan perlu dicatat sebagai satu langkah maju. Hal ini karena tokoh perempuan di dalam politik di negara yang paling maju sekalipun adalah minoritas di antara dominasi laki-laki. Menampilkan tokoh perempuan berarti memberikan kepadanya kepercayaan yang biasanya (hanya) diberikan kepada laki-laki. Itu berarti pencapaian seorang figur perempuan juga perlu diberi nilai tambah karena beban dobel yang mesti ditanggungnya ketimbang sebagai laki-laki. Hanya kecuali, seperti Joan, ia menyamar sebagai laki-laki maka beban itu mungkin akan lebih ringan.

Mencari muka baru

Keputusan mengajukan calon perempuan (kalau nanti ada) juga sebagaimana calon laki-laki mesti benar-benar mempertimbangkan kualitasnya. Dari pemilu ke pemilu beberapa hal yang terus terulang dapat dipelajari sebagai awasan yang penting untuk dipertimbangkan. Sebab, kerinduan pemilih menantikan wajah baru (termasuk perempuan) dalam bursa pencalonan akan memunculkan problem politik lain lagi ketika berhadapan dengan kebebasan dalam memilih. Pesta demokrasi memberikan kemungkinan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya untuk memilih. Memilih selalu berarti memilih yang terbaik, paling kurang untuk orang yang membuat pilihan. Di sini terlihat besarnya peranan partai untuk mengimbangi perilaku pemilih.

Perilaku pemilih yang cenderung mencari-cari wajah baru dalam pilkada dapat dipelajari dari suksesi tiga presiden terakhir setelah BJ Habibie. Setelah Megawati menduduki kursi kepresidenan menggantikan Gus Dur dan toh banyak persoalan bangsa yang tak terselesaikan bahkan makin carut-marut, rakyat mulai berang. Mega yang dulunya "didewi-dewikan" pelan-pelan diduakan. Kemunculan SBY sebagai calon presiden yang diusung Partai Demokrat dalam pemilu 2004 disambut hangat. Wajah baru, sepertinya sudah cukup menjadi alasan untuk mencoblos. Bahayanya, kalau kecenderungan semacam ini hanya dimotori oleh hasrat untuk sekadar membuat sejarah.

Menjawab skeptisisme

Sekali lagi, perempuan dalam politik adalah minoritas yang langka. Memang benar bahwa besar kecilnya jumlah tidak dapat dijadikan indikator tinggi atau rendahnya kualitas individu, namun untuk kasus ini, saya yakin bahwa kehadiran perempuan dalam politik jelas memberikan nilai lebih karena bagi seorang perempuan, menjerumuskan diri ke dalam politik menuntut keberanian ekstra dan lebih banyak kenekatan yang dipunyai seorang legenda seperti Paus Joan.

Kendatipun di akhir cerita identitasnya terbongkar, ia telah berhasil menduduki takhta yang sampai kini hanya diberikan kepada kaum adam, yang tentu tidak sembarangan orang. Paus Joan melubangi sejarah kekristenan secara genial dan rahasia identitasnya yang mestinya hanya boleh dibisikkan di dalam kamar pengakuan telah menjadi berita. Legenda tentang Paus perempuan yang ditulis dengan penuh ketegangan oleh Donna Wolfolk Cross dalam novel debutannya Pope Joan, mengangkat kembali kisah perjuangan seorang perempuan abad ke-9 menentang dominasi patriarkhal.

Kata "gubernur" dalam bahasa Jerman berjenis kelamin laki-laki (der Gouverneur). Dalam bahasa Latin, gubernur yang asalnya dari kata gubernare (memerintah) umumnya dikaitkan dengan peran gubernator (maskulin) sebagai pemerintah rei publicae sedangkan gubernatrix (feminim) lebih berkaitan dengan kegiatan mengurus hal-hal domestik, di dalam rumah dan dapur. Bahasa juga sepertinya secara struktural telah mematok sebuah norma di dalam alam bawah sadar umat manusia tentang bagaimana pembatasan itu berlaku dan perlu diberlakukan. Di ujung tahun ini, usia NTT genap limapuluh. Di dalam sejarahnya posisi NTT 1 dan 2 tidak pernah ditempati perempuan. Tentang perempuan dalam politik novel Pope Joan adalah pengingat bahwa beberapa hal tidak pernah berubah, panggung dan pemainnya saja yang berganti.
Sumber: Pos Kupang, 27 Februari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger