Headlines News :
Home » » Sales pembangunan dan kedok birokrasi ala "aldira"

Sales pembangunan dan kedok birokrasi ala "aldira"

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, February 27, 2008 | 4:51 PM


DATA BPS NTT 2003 menunjukkan bahwa produksi ubi kayu NTT sejak 1999-2003, rata-rata 834.316 ton per tahun. Kalau bandingkan dengan jumlah KK di NTT dalam periode yang sama, maka rata-rata tiap keluarga di NTT memproduksi 1 ton ubi kayu pertahun. Hasil produksinya adalah untuk bahan pangan dan bahan baku lainnya. Ceritanya jadi lain dengan ubi kayu aldira yang diproyekkan dengan polesan 'untuk kepentingan rakyat.' "Kalau bisa dibikin susah, kenapa harus dipermudah?" Masih ingat tag line iklan salah satu produk terkenal di Indonesia? Tag line tersebut relevan dengan Pos Kupang (10/2-08) yang memberitakan bahwa "panen ubi kayu dari proyek pengembangan tanaman tersebut di Mabar yang menelan dana Rp 2,8 miliar, sudah 830,5 kilogram. Hasil panen ini sudah dijual dengan harga Rp 250,00/kg, sehingga total uang yang diperoleh Rp 207.625,00."

Kejadian di atas adalah contoh kasus yang telanjang, ibarat puncak gunung es dari tidak efisiennya pengelolaan keuangan negara (atau lebih tepatnya uang rakyat) di Nusa Tenggara Timur. Tidak semata-mata terjadi hanya di Manggarai Barat. Kejadian kegagalan telak ubi kayu aldira sebagai sebuah salah urus uang rakyat tepatnya mengulang kegagalan proyek jutaan pohon jatropha dengan tujuan yang sama yakni untuk mendapatkan bahan bakar alternatif alias biofuel.

Penulis menawarkan empat prinsip dalam mengevaluasi pengelolaan keuangan rakyat sebagai prasyarat keberlanjutan pembangunan. Prinsip pertama adalah efisiensi. Kasus ubi kayu aldira memberikan contoh bahwa investasi Rp 2,8 miliar memiliki tingkat pengembalian hanya sebesar 0,007% per 04/02-08. Perhitungan ini belum termasuk input tenaga kerja rakyat dan waktu yang diberikan untuk memberikan sukses bagi proyek yang gagal tersebut.

Untuk memahami fenomena aldira, penulis mengajak ziarah singkat teori tentang birokratisasi dalam menjelaskan kinerja para birokrat pencinta ubi kayu aldira. Adalah Northcote Parkinson dari National University of Singapore, yang pertama kali membuat hukum Parkinson. Dia berpendapat bahwa "setiap organisasi birokrasi memerlukan dua sifat dasar: (1) Setiap pejabat negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya, dan (2) mereka saling memberi kerja (yang tidak perlu). Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan." (Evers dan Schield 1990:228).

Yang jarang muncul dalam analisis formasi kabupaten dan kecamatan baru di NTT maupun di Indonesia adalah bahwa pembentukan satuan wilayah politis baru tidak semata-mata lahir dari semangat kepedulian atas rakyat. Formasi kabupaten dan kecamatan baru yang dibuat juga datang dari semangat lain, yakni formasi kelompok-kelompok birokrat yang memperebutkan sumber daya politik dan pembangunan, yang tidak datang dari visi pelayanan rakyat yang kuat.

Oleh karena itu, prinsip efisiensi dalam pengelolaan administrasi pemerintahan dan pembangunan sulit sekali untuk terpenuhi. Tidak efisiennya pemerintah daerah di NTT juga bisa dijelaskan dari ekonomi biaya tinggi yang bermanifestasi dalam biaya transaksi tinggi dalam wajah 'uang administrasi', 'uang perpuluhan' kepada pejabat negara dalam transaksi proyek-proyek pembangunan masyarakat, hingga pada rantai birokrasi yang panjang dan yang dibuat-buat untuk menunjukkan kuasanya. Alhasil, aparatur kadang lebih tepat disebut sebagai keparatur.

Prinsip kedua adalah efektivitas. Konsep efektivitas adalah konsep tentang kesejahteraan. Efisiensi adalah tentang perhitungan kaku input-proses-output. Sedangkan efektivitas adalah bahwa walaupun output sebuah proyek tidak bernilai ekonomis secara langsung, seperti pendidikan dasar dan kesehatan, kesejahteraan rakyat toh jauh lebih penting ketimbang uang. Dalam contoh ubi aldira, prinsip efektivitas adalah berbicara soal tujuan investasi, yakni hasil panen aldira bisa berkontribusi pada keamanan energi masyarakat secara berkelanjutan. Cerita nyatanya adalah bahwa ubi kayu aldira di Mabar tidak efektif. Gagal total.

Prinsip ketiga adalah prinsip keadilan. Dalam konteks proyek, prinsip keadilan adalah distribusi benefit dan risiko haruslah adil dan tidak diskriminatif. Bahwa rakyat kecil seharusnya menikmati benefit dari proyek ubi kayu aldira adalah tujuan. Risiko seharusnya dipikul negara. Tetapi apa lacur, konteks proyek aldira, rakyat tidak kembali modal atas investasi waktu, tenaga dan pajak yang telah mengubah labelnya menjadi "bantuan ubi kayu aldira." Risiko kembali dipegang rakyat karena tanpa pemerintah. Sesunggunya, rakyat NTT dan Manggarai Barat telah lama menanam ubi kayu dengan hasil tahunan yang memadai. Data BPS 2003, rata-rata produksi ubi kayu di NTT adalah 861.620 ton. Artinya, rata-rata tiap KK di NTT memproduksi hampir 1 ton tiap tahun. Kontras dengan proyek ubi kayu pemerintah yang gagal total.

Prinsip terakhir adalah prinsip kesahihan (legitimacy). Tepatnya merupakan prinsip tentang ke-sah-ihan (rightfulness) dari sebuah proses pengambilan keputusan. Karena rakyat sebagai pemangku kepentingan tertinggi dalam pembangunan, keputusan menyangkut kesejahteraan mereka haruslah datang dari rakyat. Istilah Orde Baru "sosialisasi" adalah istilah pembungkaman, bahkan kejam dan bukan partisipatif karena rakyat tidak diberikan pilihan untuk mengatakan tidak. Konsep partisipasi dalam bentuknya yang paling hakiki adalah konsep mobilisasi diri sendiri oleh rakyat, betapapun input pembangunan didistribusikan kembali oleh negara dalam bentuk implementasi APBD.

Ubi kayu aldira dalam kegagalannya justru menegaskan kembali paradigma pengelolaan negara yang masih bersifat sloganisme. Prinsip keadilan (Sila ke 5 Pancasila) dan partisipasi (Sila ke 4 Pancasila) tidak dipahami oleh pengelola negara dan birokrat ala ubi kayu aldira. Prinsip efisiensi dan efektivitas merupakan PR besar di dalam birokrasi kita dan mitos-mitos pembentukan birokratisasi lewat pembentukan kabupaten dan kecamatan baru sudah seharusnya dibongkar untuk melihat kedoknya yang sebenarnya. Sebagai rakyat, penulis mengajak sesama rakyat untuk kritis dalam memilih dan mengkritisi para sales pilkada dan tokeh pilkada di NTT di 2008 yang biasanya melakukan 'image laundry' menjelang pilkada.
Jonatan Lassa, alumnus Teknik Sipil Unwira 1999.
Sejak Agustus 2007 - January 2008
menempuh pendidikan doktoral di ZEF BIGS DR University of Bonn, Germany.


Sumber: POS KUPANG, 27 Februari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger