Headlines News :
Home » » Memahami Tahun Dialog

Memahami Tahun Dialog

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, February 27, 2008 | 10:50 AM

Oleh Markus Solo
Anggota Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-umat Beragama (PCID) Desk Dialog Kristen-Islam Wilayah Asia, Amerika Latin, dan Afrika Sub-Sahara di Vatikan

Pasca-Pidato Regensburg Sri Paus Benediktus XVI bulan September 2006 lahir berbagai inisiatif terhadap langkah-langkah rekonsiliasi di seantero jagat. Ada kesadaran, selain pelbagai kekerasan yang mengatasnamakan agama hanya bisa dijembatani melalui dialog, juga perlu dikembangkan mutual respect sebagai kunci perdamaian.

Dengan langkah-langkah ini diharapkan dapat terpenuhi atau paling kurang mendekati kerinduan global akan kehidupan yang lebih tenang dan damai.

Bukan basa-basi

Dukungan akan adanya dialog mencapai momen paling menentukan pada awal tahun ini. Parlemen dan Dewan Uni Eropa di Brussels mendeklarasi tahun 2008 sebagai Tahun Dialog Antarbudaya (intercultural dialogue) untuk Benua Eropa. Tidak tanggung-tanggung, kepada Komisi Kebudayaan yang dipimpin Ján Figel diberi budget 10 juta euro untuk kesuksesan Tahun Dialog Antarbudaya di benua malam.

Hal ini mengejutkan. Bukan saja dari anggaran, tetapi perubahan paradigma. Sejak PD II, Eropa bergelut dengan masalah derasnya arus imigrasi hingga berpuncak pada diskusi alot dan berkepanjangan tentang integrasi. Persepsi integrasi membias dalam pelbagai diskurs, pleidoi, dan klaim, baik pada penduduk asli maupun pada kaum pendatang. Dialog kadang dinilai sebagai usaha kelompok imigran yang ingin mendapatkan pengakuan.

Kini, kesan itu sudah berubah. Dengan mengagendakan 2008 sebagai Tahun Dialog, Uni Eropa beralih kepada pemahaman baru. Dialog bukan lagi hal sekunder yang dilaksanakan sebagai "pengemisan" warga minoritas untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dari pihak mayoritas. Dialog adalah sebuah aksi timbal balik antara warga mayoritas dan minoritas, antara warga setempat dan kaum pendatang. Sebuah kebutuhan akan kualitas kehidupan yang lebih baik. Di sana ko-eksistensi yang berkualitas resiprokal itu lebih ditekankan.

"Evolusi menarik"

Bagai digayung sambut, keterbukaan Uni Eropa bertepatan kesahajaan yang kian ditonjolkan dunia Muslim. Hal itu bukan sekadar menepis anggapan negatif terhadap dunia Islam, tetapi secara gamblang menunjukkan bahwa kampanye dialog kian bergema universal.

Tiga kejadian berikut dapat disebutkan. Pertama, surat ke-138 wakil Muslim seluruh dunia di akhir Ramadhan 2007 yang ditujukan kepada Sri Paus dan para pemimpin Kristen lainnya. Kedua, konferensi Internasional Interreligious Dialogue di Neapel,Oktober 2007. Ketiga, kunjungan silaturahmi Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz 6November 2007 lalu kepada Sri Paus Benediktus XVI di Vatikan.

Fenomena itu oleh Presiden Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID) Kardinal Jean-Louis Tauran dinilai sebagai sebuah "evolusi menarik" yang menjanjikan sebuah kerja sama.

Hal itu membuktikan kepada dunia bahwa Kristen dan Islam memiliki common word, yakni "Kasih akan Allah dan akan sesama" (Zenit, 9/1/2008). Keduanya menjadi dua poros yang saling mengandaikan.

Jelasnya, relasi spiritual yang dilakukan dalam setiap agama bermuara pada terjalinnya relasi kasih persaudaraan. Selain itu kembali ditandaskan, semua agama memiliki dambaan yang sama, yakni terjalinnya kedamaian secara internal dalam diri setiappribadi sekaligus persahabatan sejagat yang merangkul semua orang. Perubahan itu, bila dipupuk, perlahan akan mendekati terwujudnya kasih persaudaraan yang lebih utuh.

Kasih dan kebenaran

Fenomena menarik, baik yang terjadi pada level Uni Eropa maupun dunia Islam, amat membanggakan. Tetapi, ia perlu ditopang upaya lebih proaktif dalam iklim kasih dan kebenaran. Pertama, adanya kesadaran bersama bahwa relasi vertikal dengan "Yang Ilahi" dalam masing-masing agama adalah pewahyuan yang amat khusus. Para nabi dalam setiap agama telah memperoleh ilham tentang jalan yang harus dilewati. Ibadah dan kewajiban melaksanakan ajaran agama, misalnya menjadi bagian integral yang sulit dipisahkan. Semuanya merupakan kebenaran yang diyakini dan tentunya tidak bisa ditawar-tawar.

Namun, upaya itu perlu dikonkretiasi secara horizontal. Ia perlu diwujudkan dalam tata tindak melalui aksi yang menyejukkan sesama. Ia seakan memperpanjang tangan untuk merangkul sebanyak mungkin orang dalam jalinan kasih. Di sinilah setiap umat beragama bersatu dalam relasi resiprokal dengan sesama dari agama, budaya, golongan, atau suku apa pun. Mereka yakin, kekuatan spiritual yang diperoleh menjadi basis untuk mewujudkan sebuah kehidupan sosial. Di sanalah setiap agama berlomba-lomba untuk berbuat baik, untuk mengasihi satu sama lain.

Dalam konteks ini, kita sambut aneka inisiatif yang tengah dilakukan para pemuka agama di Indonesia. Upaya menggugah umat untuk tidak hanya melaksanakan aturan agama dalam tataran ritual dan kesalehan individual, tetapi juga terlibat secara aktif dalam memerangi korupsi, kolusi, nepotisme dan kemiskinan yang mewabah. Dan lebih lagi ketika upaya itu bahkan mengetuk nurani untuk memiliki kesadaran ekologis dalam menyelamatkan bumi yang kian rapuh. Dialog sebagai kebutuhan hidup.

Kedua, kesadaran tentang dialog sebagai sebuah kebutuhan hidup dan bukan sekadar strategi untuk bertahan memunculkan kesadaran baru, bahwa ketertutupan atau arogansi sudah tidak zamannya lagi. Bahkan, melihat aneka tragedi yang pernah terjadi, ada keyakinan bahwa kehidupan mustahil berjalan. Ia akan layu dan mati ketika tidak menggubris riak-riak yang terjadi di sekitar, meski sekecil apa pun.

Dunia Eropa yang sudah sangat maju, misalnya, tidak bisa menutup diri terhadap kenyataan imigrasi. Di sana Eropa yang sudah agak tua, ditumbuhi semangat oleh hadirnya imigran dari Amerika Latin, Afrika, maupun Asia. Mereka yang datang tidak hanya dipaksakan oleh karena "hujan batu di negeri sendiri", tetapi membawa kesegaran dan kekayaan baru yang tak terkira.

Karena itu, keterbukaan untuk duduk semeja berdialog adalah tanda bahwa dialog sudah menjadi kebutuhan bersama. Khusus untuk Indonesia, fenomena menarik seperti ini menguatkan dan memperkukuh semangat dialog yang sudah dipelihara bersama. Bahkan, mengapa tidak, dalam banyak hal, kita dapat memberikan contoh kepada dunia bahwa prasangka yang selama ini cukup kuat perlahan sirna melihat kasih dan persaudaraan yang tercipta di antara kita. 
Sumber: Kompas, 26 Februari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger