Headlines News :
Home » » Berkah Gerobak Sahabat

Berkah Gerobak Sahabat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, March 10, 2008 | 3:56 PM

Hati Ny Maryono cemas saat hendak menjual gerobak pemberian sahabatnya sehingga ia mengurungkan niatnya. “Ternyata gerobak ini ikut menambah pemasukan keluarga,” ujar Ny Maryono.

KECEMASAN muncul tak hanya dialami Sophia Setiati Dwi Martani –akrab disapa Ny Maryono– saat hendak melego gerobak dorong pemberian Ny Manto, sahabat karibnya.

Setelah berhenti bekerja tahun 1982 untuk sebagai ibu rumah tangga, ia hanya bersandar pada gaji suami. Saat itu suaminya petugas kebersihan atau cleaning service di Hotel Patra Semarang.

“Tetapi, Tuhan berkeputusan lain dari rencana dan cita-cita kami. Saat-saat awal total mengurus suami dan dua anak kami, praktis saya hanya bersandar dari gaji suami. Syukur karena kami melewati masa-masa sulit dalam bimbingan Tuhan,” kata Ny Maryono kepada kontributor HIDUP di Wonotingal, Semarang, Jawa Tengah awal Desember lalu.

Ny Maryono menceritakan, sebetulnya gerobak yang sekaligus jadi warung untuk berjualan itu diberikan Ny Manto, sahabatnya yang pindah ke tempat lain. Saat itu, ia merasa bingung di mana tempat atau lokasi untuk meletakkan gerobak itu.

“Awal Februari 2007, saya memberanikan diri menyampaikan niat kepada Bapak Joko Pranoto agar bisa diijinkan berjualan di pinggir sebuah gang di wilayah RT 03, RW 01 Kelurahan Wonotingal. Pak Joko adalah ketua lingkungan. Ya, beliau nggak masalah. Begitu juga Pak Buang, satpam di lingkungan itu,” ujar Ny Maryono.

Sempat muncul niat menjual kembali gerobak itu karena ia tak mau dibuat pusing di mana harus meletakkan atau bagaimana merawatnya nanti. Ny Maryono juga sedikit pesimis karena tentu tak ada jaminan pemasukan.

Namun, setiap kali muncul niat menjual gerobak itu, selalu urung. Malah Pak Joko menyampaikan kepada Pak Buang agar untuk sementara Bu Maryono berjualan sembari menunggu kalau ada yang berminat membeli gerobak tersebut.

“Pak Buang menyarankan agar saya tidak usah jual. Pak Narko, yang punya rumah persis di depan warung ini juga tidak masalah kalau saya jualan di pinggir lorong ini. Ya, saya hanya melihat berkat Tuhan bagi keluarga saya melalui jasa baik orang-orang ini karena usaha kecil saya ini berjalan lancar. Saya bersyukur karena sehari saya bisa mendapat pemasukan antara Rp 20 – 30 ribu,” ujar Ny Maryono dengan wajah gembira. Di sini ia menjual barang-barang kebutuhan kecil seperti rokok, aneka makanan dan minuman ringan, permen, super mie, dan lain-lain.

Isi hati

Ny Maryono mengatakan sejak awal membangun rumah tangga, ia dan suaminya, Agustinus Maryono tak memiliki doa atau devosi khusus. Ia mengaku, saat berdoa bersama keluarga pun tak begitu khusuk. Mereka berdoa sebisanya karena yakin dan percaya bahwa Tuhan Maha Pendengar.

“Kadang-kadang saya cuma berdoa dalam hati dengan keyakinan penuh. Saya yakin, Tuhan tahu apa isi hati saya. Jadi, tak berdoa khusuk tetapi hanya percaya penuh bahwa Tuhan mendengar saya. Semua berjalan apa adanya. Dulu, misalnya, saya sempat ditawarkan menjadi pegawai negeri sipil tetapi kok nggak ada panggilan. Tapi, saya mohon kepada Tuhan agar kalau diperkenankan, saya mau jadi ibu rumah tangga yang baik dan ingin anak saya sukses. Itu cita-cita saya sebelum menikah,” kenang Ny Maryono

Begitu pula kisah perjumpaan dengan pemuda Agustinus Maryono, petugas cleaning service Hotel Patra Semarang tak pernah ia duga. Ny Maryono menceritakan, tahun 1981 ia meninggalkan Salatiga menuju Semarang setelah mendapat tugas dari perusahaannya, CV Sinar Abadi. Saat itu ia adalah staf Biro Teknik Listrik. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa pemasangan instalasi listrik tersebut berkantor di Jl Mataram Semarang.

Aktivitasnya di perusahaan itu membuat Sophia Setiati Dwi Martani bertemu banyak sahabat dan calon konsumen. Termasuk dengan Maryono. Perkenalan dengan pria itu bermula saat ia dikenalkan seorang teman saat mendapat order pemasangan instalasi listrik. Perjumpaan itu akhirnya menumbuhkan benih cinta di antara mereka.

“Ya, mungkin karena sudah jodoh, kami kenalan lebih jauh. Kemudian kami sepakat melanjutkan ke hubungan yang serius. Tahun 1982 kami menikah di Salatiga. Setelah nikah, kami kembali ke Semarang karena saya masih bekerja di CV Sinar Abadi. Sedang Mas Agus juga masih di Patra,” kenang Ny Maryono.

Kuasa Tuhan

Sebagai keluarga baru, pasangan ini hidup dengan gaji yang pas-pasan. Ny Maryono mengaku, sebulan ia menerima gaji sebesar Rp. 200 ribu lebih. Begitu juga suaminya yang hanya cleaning service mendapat gaji yang masih kecil.

Untungnya, sang suami yang sudah bekerja sejak tahun 1975 tabah dalam menjalani profesinya. Buah ketabahan itu mengantarnya terus menapaki posisi yang lebih baik dari cleaning service, bellboy disertai gaji yang lumayan. Hingga kini, ia menjadi satpam di hotel Patra.

“Tapi, saya harus berhenti total dari bekerja karena sempat mengalami keguguran. Keputusan ini kami berdua ambil agar kami segera punya anak. Mulai saat itu kelanjutan hidup keluarga hanya kami andalkan dari gaji suami. Kemudian ditambah lagi hasil jualan saya di warung kecil tak jauh hotel Patra,” katanya.

Keputusan mereka membuahkan hasil. Tak lama berselang, pada 17 Agustus 1984 lahir anak pertama. Namanya, Stefanus Indra Setiawan. Kemudian, empat tahun berselang tepatnya 13 Juli 1988 lahir anak keduanya, Theresia Dian Indriani. Saat kedua anaknya makin besar, Ny Maryono mengaku kasih Tuhan nyata dalam keluarganya. Kedua anak mereka akhirnya disekolahkan di SD Don Bosco Semarang.

Sekolah itu sangat terkenal mutunya. Namun, lumayan mahal untuk ukuran bagi mereka sebagai orang kecil. Ny Maryono mengaku, ia juga kebetulan kenal dengan kepala SD Don Bosco. Sang kepala sekolah ternyata tahu bahwa suami Ny Maryono adalah tenaga bellboy Hotel Patra. Pihak sekolah akhirnya menawarkan berapa saja kemampuan kami untuk membayar biaya di SD Don Bosco. Penawaran ini ia rasa sebagai bentuk campur tangan Tuhan bagi keluarganya.

Setamat SMA, putra sulungnya, Stefanus Indra Setiawan masuk Fakultas Teknik (FT) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Sebelumnya, ia sempat mengukuti test di Sekolah Tinggi Statistik Indonesia (STSI) namun gagal.

Sesaat sebelum mengikuti test, Ny Maryono selalu mengingatkan putranya agar teliti dalam membaca setiap petunjuk soal ujian. Toh, ia mengaku rupanya pilihannya jatuh di FT Undip sehingga tetap disyukuri sebagai berkat dan kuasa Tuhan.

Mandiri

Sejak gadis, Ny Maryono adalah sosok pekerja keras. Tak tanggung-tanggung ia rela meninggalkan orangtua di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Salatiga, untuk menata masa depannya di Kota Semarang.

Kondisi ini menjadikannya sebagai pribadi yang mandiri dan tangguh. Begitu pula usai mengakhiri masa lajangnya. Awalnya, ia tinggal di rumah mertua. Meski demikian, keinginan untuk tinggal di rumah sendiri sekalipun berstatus kontrakan lebih mendominasi hati dan pikirannya. Sayang, setiap kali meminta ijin mertua untuk pindah, keinginan itu selalu ditolak.

“Padahal, saya dan suami juga mau belajar agar bisa mandiri. Tapi, mertua juga sangat sayang pada kami. Pada saat itu, saya tak henti-hentinya mencari tanah sendiri. Saat itu Pak De saya menawari rumahnya seharga Rp. 2 juta. Rumah itu memang kecil dan kalau sekadar ditempati saja, tak ada masalah,” kenang wanita kelahiran Salatiga, 19 September 1961 ini.

Ny Maryono dan Pak De-nya sepakat agar dibayar dengan mencicil setiap bulan. Nah, oleh karena masih mencicil maka rumah itu masih ditempati pemiliknya. Tanpa terasa Ny Maryono melunasinya.

Meski demikian, ia mengaku kadang dibuat pusing karena belum gajian, sang pemilik langsung memintanya. Toh, kondisi itu tidak terjadi setiap bulan karena hampir selalu mereka bayar tepat waktu.

“Apalagi, saat itu anak kami masih bayi dan belum banyak kebutuhan. Dengan gaji suami yang pas-pasan bisa saya atur dengan teliti agar bisa mencicil rumah itu,” kata warga Paroki St Atanasius Agung Karangtanas, Keuskupan Agung Semarang (KAS) ini.

Ny Maryono mengaku, dalam kondisi apapun Tuhan selalu mau mendengar setiap persoalan hidup keluarganya. Pengalaman menapaki beban hidup keluarganya tak lebih sebagai ujian yang menuntut komitmen untuk menyelesaikannya.

“Tuhan tentu sudah punya rencana lain sepanjang kita menyerahkan apapun masalah kita pada-Nya. Gerobak peninggalan teman ini seharusnya saya jual agar tak merepotkan. Tapi, dalam kondisi sulit ternyata Tuhan menunjukkan jalan lewat orang lain. Dan saya tak malu berjualan sekalipun pemasukannya kecil. Saya lebih mencintai masa depan anak-anak saya. Mereka harus kuliah dan sekolah,” ujar Ny Maryono. 
Ansel Deri/Jalintar Simbolon
Sumber: HIDUP, edisi 9 Maret 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger