Setelah suaminya, Marinus Riwu, divonis mati, Ny Yasinta Goo dan keempat anaknya berserah dalam doa. “Suami saya dikorbankan dalam kasus kerusuhan di Poso,” kata Ny Yasinta pasrah.Setiap hari Marinus Riwu dan isterinya, Ny Yasinta bergelut dalam kesibukan merawat sawit di lokasi trans Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Desa Moroles, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Begitu pula dengan sesama petani sawit lainnya di lokasi trans PIR, Desa Jamur Jaya, Kecamatan Lembo, Morowali yakni keluarga Fabianus Tibo dan Dominggus da Silva. Mereka adalah keluarga petani peserta transmigrasi yang ditempatkan di Morowali.
Marinus Riwu dan Ny Yasinta adalah satu dari sejumlah keluarga transmigran yang ditempatkan di lokasi trans PIR Desa Moroles dan Jamur Jaya sejak Pemerintah Pusat mencanangkan program ini tahun 1987.
Oleh pemerintah, setiap keluarga diberi satu hektar kebun sawit kemudian mereka merawatnya hingga berbuah. “Setiap hari kami mendapat upah sebesar Rp 1.500. Kami sangat senang kalau hujan turun terus karena kami bisa panen tiga kali setahun. Tapi, kalau panas terus-menerus kami bisa gagal panen,” cerita Ny Yasinta di Jakarta.
Meski berada di lokasi transmigrasi, toh hubungan antarsesama warga transmigran sangat baik. Ini mereka sadari karena semua warga transmigran hampir berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Bali, NTB, dan NTT.
Ada kebiasaan yang mereka kembangkan seperti bersilahturahmi dalam setiap hari raya keagamaan baik Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Paskah atau Tahun Baru. Mereka juga selalu terlibat dalam kegiatan umum atau pesta pernikahan.
Awal Musibah
Sejak Mei hingga Juni 2000 terjadi konflik horisontal bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di wilayah Posso dan sekitarnya. Informasi itu pun menyebar hingga Moroles dan Jamur Jaya yang berjarak sekitar 150 kilo meter.
Bagi para petani sawit di lokasi trans PIR Moroles dan Jamur Jaya saat itu, mereka tak begitu tertarik untuk menanggapinya. Mereka percaya dengan kemampuan aparat keamanan untuk bisa mengatasi dan mencari solusi penyelesaiannya.
Di kalangan umat Katolik yang tinggal di Moroles dan Jamur Jaya, siang hari mereka tetap bergelut dengan rutinitas kerjanya di perkebunan sawit. Pada malam hari mengadakan doa Rosario bersama karena Mei merupakan bulan khusus menghormati Bunda Maria, ibunda Yesus Kristus.
Tapi sebagian warga Moroles dan Jamur Jaya cemas karena ada juga anak-anak kerabat mereka yang sedang belajar di Posso. Karena merasa cemas dengan keselamatan anak-anak itu, Tibo, Dominggus, dan Marinus bersama sejumlah petani sawit dari kedua desa tersebut memutuskan menuju Posso.
Pada 22 Mei 2000, ketiganya mendatangi Gereja St Theresia Posso tepatnya di Panti Asuhan Posso yang diasuh biarawati Ursulin. Tujuannya, menjaga anak-anak sekolah dan anak panti asuhan yang sebagian besar sedang melaksanakan ujian akhir (EBTANAS).
Seorang guru di Posso bernama Yosefina Nage pun membenarkan kedatangan Tibo dan kawan-kawannya untuk menjaga keselamatan anak-anak sekolah yang sebagian dari kerabat mereka.
Pada Selasa (23/5 2000) sekitar pukul 04.00 dini hari situasi di Panti Asuhan sangat panik dan nyaris kacau setelah serombongan orang menyelinap masuk kompleks Panti Asuhan. Rombongan yang saat itu berada di depan gerbang Gereja Theresia, ternyata sedang dikejar aparat kepolisian.
Oleh karena situasi agak gawat, Tibo meminta teman-temannya berjaga-jaga di dalam kompleks sekolah dan panti. Justru dari sini ketiga petani sawit itu dituding sebagai otak kerusuhan.
Sekembali ke Jamur Jaya dan Moroles, ketiganya tetap menjalankan rutinitas sebagai petani sawit. Pihak aparat kepolisian pun terus memburu otak di balik kerusuhan itu. Tapi, pelakunya hilang bak ditelan bumi.
Sementara itu aparat keamanan malah membidik ketiga petani ini sebagai otak di balik insiden Posso. Warga Janur Jaya pun kaget ketika pada Juni 2000, Tibo dan kedua rekannya disarankan sejumlah orang dari Posso menyerahkan diri.
Mereka juga diminta memberikan keterangan sebenarnya terkait kerusuhan Posso. Permintaan itu malah membuat Kepala Desa Jamur Jaya Yulius Sebi keberatan karena bukan warganya yang harus memberikan keterangan terkait kerusuhan Posso tetapi harus pelaku dan otak di balik itu.
“Mengapa rakyat kami Fabianus Tibo Cs yang menjadi korban? Seakan-akan merekalah kunci segala-segalanya kerusuhan yang selama ini timbul di wilayah Posso. Di manakah kebenaran itu?” ujar Yulius dalam suratnya. Bahkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Palu Nomor 459/PID.B/2000/PN.PL tanggal 5 April 2001 menjatuhkan hukuman mati kepada Tibo, Dominggus, dan Marinus.
Dalam salah satu dakwaan disebutkan peran ketiganya. Marinus, misalnya, bertugas memberi latihan menggunakan panah. Dominggus memberikan latihan menggunakan parang. Sedangkan Tibo bertugas sebagai pelatih semua jenis latihan.
Ganti PeranSetelah Marinus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Palu, Ny Yasinta tetap bekerja merawat sawitnya. Ia pun bekerja keras mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anaknya. Maklum saja.
Si sulung, Bruno Riwu Rangga (21) menderita cacat bawahan sehingga praktis tak bisa bekerja membantu ekonomi keluarga. Sedangkan anak kedua, Patrisius Suana (18) kini duduk di SMP, Lusia Otiliana (15) dan Osianus Jawa (11) masih di bangku SD.
“Setiap hari saya titip daun singkong di warung tetangga untuk bisa mendapat uang guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya anak-anak saya. Saya juga masih dikasi bon beras dari tetangga. Habis bulan baru saya bayar,” kata Ny Yasinta.
Meski bergumul dalam perkara besar ini, toh, ia yakin Tuhan dan Bunda Maria selalu setia mendampingi keluarganya. Ini ia alami saat daun singkong yang dititip di warung tetangga bisa memberi pemasukan Rp. 5.000 setiap hari.
Sejak suami mendekam di penjara, wanita asal Nangaroro, Ende, Flores ini nyaris tak berdaya. Ia dan keempat anaknya hanya pasrah dalam doa untuk mencari keadilan sesungguhnya.
“Saya percaya Tuhan adalah Sang Maha Adil di atas segalanya. Saya juga yakin lewat tangan Bapak Presiden Haji Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Wakil Presiden Haji Muhammad Jusuf Kalla kebenaran dan keadilan bisa kami raih sebagai rakyat kecil,” kata Ny Yasinta yang didampingi Adam Atawolo, tokoh masyarakat Flores di Morowali.
Dukungan
Nasib suami Ny Yasinta dan dua tersangka lain, Tibo dan Dominggus, mendapat dukungan tiga pemerhati perdamaian Posso. Mereka mendesak aparat penegak hukum agar segera mengungkap aktor intelektualnya.
Ketiganya adalah Uskup Manado Mgr Josef Suwatan MSC, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Utara KH Arifin Assagaf, dan pemerhati perdamaian dari Universitas Kristen Indonesia Tomohon Pdt Dr Nico Gara, MA.
Mereka adalah orang yang sejak lama menjadi pemerhati perdamaian Posso dan ikut ambil bagian dalam Pertemuan Malino Untuk Posso tanggal 18–21 Desember 2001. Ketiganya juga ikut menandatangani Deklarasi Malino Untuk Posso dalam posisi sebagai peninjau.
Dalam sebuah pernyataan bersama tanggal 19 Desember 2005 yang juga disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketiganya menyampaikan lima hal terkait vonis mati dan penolakan grasi oleh Presiden terhadap Tibo, Dominggus, dan Marinus.
Pertama, bahwa Deklarasi Malino Untuk Posso butir kedua menyatakan, ‘Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.’
Kedua, bahwa kasus Posso adalah hasil dari suatu konspirasi yang melibatkan begitu banyak orang yang sampai sekarang belum terungkap secara tuntas, terutama aktor-aktor intelektualnya.
Ketiga terhukum hanya diperalat, mengingat mereka adalah orang-orang yang sangat sederhana dan bahkan buta huruf hingga sulit diterima akal sehat bahwa mereka adalah leaders atau aktor utama dalam kasus Posso.
Ketiga, karena itu keterlibatan Tibo Cs dalam kasus Posso perlu dilihat secara menyeluruh dan tidak difokuskan pada tindakan yang telah dituduhkan kepada mereka. Sebab mereka bisa menjadi sumber informasi dalam penanganan kasus Posso secara tuntas.
Keempat, bahwa eksekusi terhadap Tibo Cs bisa mengakibatkan akar-akar dari kasus kerusuhan Posso tetap tersembunyi. Kelima, menghukum mati Tibo Cs lalu membiarkan aktor-aktor intelektual bebas dari hukuman adalah pelecehan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan hukum.
Ketiga tokoh itu mengusulkan agar eksekusi terhadap tiga terpidana ditunda sambil menunggu hasil penyelidikan yang tuntas yang menjangkau para aktor intelektual di balik kerusuhan Posso.
Apalagi mulai terungkapnya bukti-bukti baru yang sangat diperlukan untuk disidik lebih lanjut. Selain itu mereka mengusulkan perlu dibentuk Tim Pencari Fakta yang independen untuk mengungkapkan siapa-siapa yang menjadi aktor intelektual di balik kasus Posso untuk dibawa ke pengadilan.
“Demikian pernyataan kami sambil mengenangkan kembali saat-saat tercetusnya Deklarasi Malino Untuk Posso pada empat tahun yang lalu, kiranya mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berkompeten demi tegaknya keadilan dan hukum,” kata mereka dalam pernyataannya.
Selain itu, sejumlah Tim Pembela dari Lembaga Padma Indonesia yang dikoordinir Stefanus Roy Rening, SH atas nama keluarga Tibo, Dominggus, dan Marinus melapor ke Mabes Polri terkait vonis mati yang dijatuhkan PN Palu.
Pada Senin (1/2 2006) lalu, Ny Yasinta, Robert Tibo yang juga anak kandung Fabianus Tibo, dan Adam Atawolo yang juga ayah angkat Dominggus da Silva mengadu kepada Kapolri Jenderal Pol Sutanto di kantornya, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Ny Yasinta, Robert, dan Adam yang didampingi dua pastor yakni Pastor Jimmy Tumbelaka Pr dan Pastor Norbert Betan, SVD melapor melalui Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Mereka meminta Kapolri untuk mengusut otak kerusuhan Posso yang sebenarnya karena Tibo, Dominggus, dan Marinus hanyalah korban. Laporan bernomor 01/Padma Indonesia/LP/II/06 itu diterima PAMA SIAGA-I Bareskrim Mabes Polri AKP Herry Supriyadi.
“Sejak suami ditahan saya baru tiga kali menjenguknya. Ia berpesan agar kami tetap berdoa bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku kerusuhan Posso,” ujar Ny Yasinta.
Marinus meminta istri dan keempat anaknya mendoakan para pelaku sehingga mereka menyadari perbuatannya. Petani sawit itu juga berpesan agar anak-anaknya tak boleh bepergian jauh dan selalu di samping ibu mereka.
“Saat kami hendak pamit untuk kembali ke Moroles ia masih mengingatkan kami sekeluarga agar berserah dalam doa. Suami saya bersumpah ia tak pernah membunuh orang,” lanjut warga stasi St Joseph Jamur Jaya, Keuskupan Manado ini menambahkan. (Ansel Deri)
Sumber: pernah dimuat HIDUP Jakarta
Ket foto: Ny Yasintha Goo (gbr 1), istri Marinus Riwu, salah satu terdakwa yang sudah dieksekusi dan (gbr 2) bersama Adam Hea Atawolo, tokoh NTT di lokasi transmigrasi Morowali. Foto: dok. Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!