Headlines News :
Home » , » Florentinus Sulaksito: Administrator TNI-Polri di Istana Negara

Florentinus Sulaksito: Administrator TNI-Polri di Istana Negara

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, April 12, 2008 | 10:32 AM

Awalnya, setelah mendengar kabar ditugaskan di Sekretariat Negara RI, ia sempat kaget. “Saya tidak tahu kenapa harus tugas di sana. Apapun tugas yang dibebankan negara merupakan tugas mulia sebagai pengikut Kristus,” ujar Marsekal Pertama (Marsma) TNI Pnb Florentinus Sulaksito, Kepala Biro Administrasi TNI–Polri Setmil Setneg RI di rumahnya, kompleks Trikora, Halim Perdana Kusuma, Jakarta.

Kabar pengangkatan Florentinus Sulaksito sebagai Kepala Biro Administrasi TNI–Polri Setmil Setneg RI datang dari Asisten Personil Mabes TNI-AU. Kabar itu ia terima sekitar November tahun lalu. “Informasi itu sempat mengejutkan. Apalagi, secara pribadi saya tak pernah bermimpi suatu saat bisa menginjakkan kaki di Istana Negara. Mendengar istana saja saya pribadi merasa terlalu tinggi,” kata Pak Laksito, sapaan akrabnya.

Rasa cemas juga hinggap di hatinya. Sebagai pengikut Kristus, aneka pertanyaan berkelebat. Apakah ia mampu mengemban tugas itu. Bisakah ia menjadi garam dan terang di antara rekan-rekan kerja di Sekretariat Militer (Setmil) kantor Sekretariat Negara RI. “Agar tidak cemas saya hanya bisa berdoa dan menggantungkan harapan pada penyelengaraan Ilahi agar tugas dan kepercayaan yang saya emban dapat berjalan baik dan lancar. Jika saya mengalami berbagai tantangan di era globalisasi saya hanya bersandar pada Yesus sebagai satu-satunya jalan. Itu kata kunci saya yang harus dipegang sebagai orang Katolik,” ujar Laksito, yang juga Ketua Dewan Stasi St Agustinus, Halim Perdana Kusuma, Jakarta.

Kecemasan juga datang dari sang istri, Ny Anastasia Siti Lestari. Sempat juga muncul pertanyaan dalam hati. Apa bisa mampu mengemban tugas itu. Apalagi, terkait dengan urusan para prajurit TNI dan Polri yang akan keluar atau masuk untuk bertugas di Istana Negara. Toh, istrinya setia memotivasi dan mendorongnya. Bekas Komandan Pangkalan Udara El Tari Kupang, NTT ini juga berserah dalam doa agar tugas mulia ini sukses demi memberikan pelayanan terbaik bagi para prajuri TNI–Polri.

Tugas di Setneg

Sebagai prajurit, khususnya di lingkungan TNI–AU, ayah dua anak: Alfonsa Riyanti Yudhaningtyas dan Hadrianus Dimas Wibowo, tak begitu sulit menyesuaikan diri di lingkungan tugas barunya. Apalagi, tugas itu masih erat kaitannya dengan TNI dan Polri. Ia mengakui, secara garis besar ada tiga tugas yang dikerjakan di lingkungan Biro Administrasi TNI dan Polri Sekretariat Militer Setneg RI.


Secara garis besar, ada tiga tugas utama Marsekal Pertama TNI Florentinus Sulaksito. Pertama, menyiapkan administrasi bagi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (TNI–Polri) yang akan keluar maupun masuk di lingkungan Istana Negara. Kedua, membuat rancangan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kenaikan pangkat dan pensiun, baik kolonel maupun perwira tinggi (Pati) dari seluruh angkatan baik TNI/Polri. Ketiga, membina militer yang ada di Istana Negara untuk mengikuti pendidikan. Misalnya, sekolah, kenaikan pangkat, dan lain sebagainya. “Tugas memproses administrasi untuk sekolah atau naik pangkat tetap mengikuti prosedur yang berlaku. Jika sesesorang mau naik pangkat maka harus menunggu Keppres. Nah, Keppres itu kan perlu aturan, prosedur yang berlaku,” katanya.

Segala macam prosedur bagi anggota TNI–Polri yang akan keluar maupun masuk Istana Negara tetap mengacu pada prosedur dan aturan. Begitu pula jika ada prajurit TNI –Polri yang akan mengikuti pendidikan atau naik pangkat pun sama. Jadi, tidak ada istilah saling serobot. Ia mencontohkan, kalau ada permintaan dari Markas Besar (Mabes) TNI maupun Polri maka dibuat Rancangan Keputusan Presiden dan diusulkan kepada Presiden. “Setelah Keppres disetujui dan ditandatangani Bapak Presiden maka baru kita distribusikan ke bawah yaitu Mabes TNI/Polri.

Menurutnya, dalam membuat Rancangan Keputusan Presiden memang membutuhkan ketelitian dan kehati-hatian. Hal ini penting karena jangan sampai rancangan yang dibuat dan disahkan dan berjalan satu atau dua hari langsung diubah lagi. Oleh karena demi menjaga kredibilitas sebuah keputusan maka dalam proses pembuatan rancangan memang aspek kehati-hatian dan ketelitian sangat penting menjaga agar tidak salah di kemudian hari.

Urung Jadi Dokter

Perjalanan hidup Florentinus Sulaksito laiknya kebanyakan anak usia muda yang ingin meraih cita-cita setinggi langit. Ia pun menjadi tentara khususnya TNI AU karena seluruh anggota keluarganya tak ada yang jadi tentara. Pada saat bersamaan, ia sebenarnya lebih tertarik untuk kuliah kedokteran.


Meski demikian, ia juga tak menyia-nyiakan kesempatan mengikuti tes jadi tentara. Setelah tamat SMA tahun 1972, ia masuk Akademi Angkatan Udara Yogyakarta. Sayangnya, ia gagal. Kondisi ini tak membuatnya patah arang. Karena itu, pada test tahun berikutnya ia baru diterima sebagai seorang taruna.

“Awalnya, cita-cita saya memang mau jadi dokter. Masalahnya, ekonomi orangtua tak mendukung. Orangtua saya hanya guru dan tentu tak mampu ongkosin saya masuk Fakultas Kedokteran. Sadar dengan kondisi kemampuan uang orangtua, saya mendaftar dan diterima di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta. Tahun 1977 saya tamat dengan pangkat Letnan Dua,” cerita Pak Laksito.

Setelah mengantongi pangkat Letda, Laksito muda mengkuti serangkaian tes seperti kesehatan, psikologi, kesehatan jasmani, dan lain-lain untuk menjadi penerbang. Sebanyak 39 personil mengikuti seleksi masuk. Namun, yang diterima hanya separuh dari jumlah itu. Dalam perjalanan selanjutnya tinggal 16 orang yang mengikuti pendidikan penerbangan. Pada akhirnya, hanya 11 orang yang jadi penerbang termasuk ia sendiri. “Setelah itu saya mengambil jurusan helikopter. Saya kemudian ditugaskan di Pangkalan Udara Atang Sanjaya Bogor, Jawa Barat. Di sana saya bertugas selama 17 tahun dan bertindak sebagai pilot helikopter.

Kemampuan yang ia miliki di dunia penerbangan mengantarnya menjadi pengajar bagi para siswa. Selama kurun waktu tahun 1994–1997, ia mengajar para siswa penerbang dari 10 angkatan. Setelah lama bertugas di Kota Hujan, ia mendapat tugas baru di Ujungpandang (kini Makassar–Red), Sulawesi Selatan. Namun, tak lama berselang ia terbang ke Kupang. “Di Kupang saya mendapat kepercayaan sebagai Komandan Pangkalan Udara (Dan Lanud) El Tari selama tahun 1997–1998 atau selama satu tahun 9 bulan,” kata Pak Laksito.

Usai dari Kota Karang Kupang, ia balik lagi ke Kota Anging Mamiri, Makassar dan menduduki posisi sebagai Kepala Badan Uji Koopsau II Makassar. Pada 2000, ia kembali Jakarta menjadi Liasion Officer (LO) Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Setelah itu, pada 2002 ia kembali dipercaya sebagai Asisten Personel Komando Pertahanan Udara Nasional (Aspers Kohanudnas) di Jakarta. “Pada tahun 2004 saya mendapat tugas baru di Markas Besar TNI AU. Kemudian pada November 2007 diangkat sebagai Kepala Biro Administrasi TNI dan Polri Setmil Setneg dan menyandang pangkat Marsekal Pertama,” cerita Laksito. Pak Laksito juga pernah mendapat tugas dalam sejumlah operasi Operasi antara lain di Kalimantan dan Timor Timur.

Jati Diri TNI

Menurut Pak Laksito, setelah mendapat kabar tugas baru di Setneg ia sempat menanyakan kepada atasannya. Jawaban yang ia terima bahwa di lingkungan militer di manapun ditugaskan, ya, sama saja. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri dengan lingkungan. Hal itu sejalan dengan upaya menjaga jati diri TNI. Bahwa di manapun berada, setiap prajurit harus menyesuaikan diri. “Bagi saya, ini satu tugas mulia yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab,” katanya.


Apakah banyak godaan yang ia alami sebagai manusia biasa dalam menunaikan tugas? Pria kelahiran Yogyakarta, 26 Oktober 1953 mengaku, pasti ada saja godaan. Namun, ia sendiri bukan tipikal orang yang mudah terprovokasi dengan godaan duniawi. Hal ini sudah disadarinya. “Sebagai orang Katolik, kita harus memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Ini tugas yang berat. Saya selalu mengambil posisi netral menyangkut apa yang menjadi bidang tugas saya,” ujarnya.

Dalam memberikan pelayanan ia juga tidak membeda-bedakan siapa yang dilayani. Ia juga tetap menjaga agar orang-orang yang dilayani tidak merasa dinomorduakan. Semua harus mendapat pelayanan yang sama. Itu sudah menjadi komitmen dalam mewujudkan iman sebagai seorang Katolik. “Iman yang kuat membuat kita mampu bekerja di manapun baik tugas yang ringan maupun yang berat. Juga dalam menghadapi godaan-godaan duniawi. “Lebih baik hidup tenteram daripada dihantui rasa was-was. Itu nomor satu dalam hidup saya,” katanya.

Sejak bertugas mulai 7 Desember 2007 di Setneg RI, ia bertekad mewartakan Kabar Gembira yang dipercayakan negara melalui kerja keras, sifat, perilaku, dan sikap dalam tugas sehari-hari. Ia juga berkomitmen melaksanakan tugas itu sebaik mungkin yang telah dipercayakan kepadanya. Do the best. Baginya, tugas baru itu tak menjadi begitu berat jika dilaksanakan dengan rasa syukur, keikhlasan, dan tanggung jawab. “Tugas berat kita sebagai orang Katolik adalah memikul Salib Kehidupan,” kata Pak Laksito. (Ansel Deri)
Sumber: HIDUP edisi 13 April 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger