Headlines News :
Home » » Tambang dan demokrasi di Lembata

Tambang dan demokrasi di Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, April 09, 2008 | 3:14 PM

Oleh P Dr Paul Budi Kleden SVD
Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

MENDIANG Romo Mangun sering berbicara mengenai pentingnya kosmologi yang melatari segala setiap rencana konkret pembangunan. Pemahaman tentang dunia (tentu saja termasuk manusia) macam mana yang sebenarnya menjadi konsep dasar yang melahirkan rencana pembangunan seperti itu? Ada rencana tertulis, tetapi yang penting justru apa yang disebut sebagai hidden konsep atau paradigma dasar yang tidak muncul secara eksplisit, yang terselubung, namun efektif mewujudkan dan mewarnai seluruh rencana. Paham dasar inilah yang perlu diangkat dan dibahas, dipertegas kalau memang tepat, dan diubah kalau ternyata mengangkangi sejumlah nilai ekologis dan kemanusiaan universal.

Rencana tambang di Lembata yang memunculkan reaksi keras dari masyarakat Lembata dan mengundang perhatian publik luar Lembata merupakan kasus yang tidak muncul begitu saja. Dia lahir dari satu rahim pemahaman dasar tentang kekuasaan yang perlu disikapi secara cermat. Dari kasus ini dapat dielaborasi, konsep kekuasaan macam mana yang dimiliki para penguasa di Lembata? Apakah ini demokrasi? Atau justru satu feodalisme yang tersisa dari masa lalu? Dan kasus ini bukan hanya selesai dengan pembatalan atau berjalannya tambang, tetapi memiliki dampak yang jauh lebih luas, yakni mengubah paradigma penyelenggaraan kekuasaan.

Sudah terlampau klasik rumusan demokrasi sebagai penyelenggaraan kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat. Ketiga kata depan ini mempunyai nilai yang sejajar dan sama penting. Demokrasi tidak bisa dikatakan ada kalau hanya ditekankan masalah proseduralnya (dari dan oleh), tanpa memperhatikan substansinya (untuk). Demikian pula, demokrasi belum terwujud, jika penyelenggaraan kekuasaan itu dikatakan demi rakyat (untuk), namun sama sekali mengabaikan rakyat dalam proses pengambilan keputusannya (dari dan oleh). Dalam kasus pertama kita berhadapan dengan penguasa yang korup, dalam kasus kedua kita berusan dengan penguasa yang arogan. Dan tentu soalnya menjadi lebih parah, apabila baik proses maupun substansi penyelenggaraan kekuasaan sama sekali menyepelekan rakyat. Rakyat tidak dilibatkan dalam proses, dan tidak diperhitungkan sebagai sasaran penyelenggaraan kekuasaan. Di sini kita menjumpai sosok penguasa yang feodal, yang memiliki pemahaman dasar: negara adalah saya, atau kabupaten adalah saya. Rakyat? Mereka dipandang terlalu lemah untuk menggalang kekuatan, dan terlalu bodoh guna memahami kedalaman pemikiran dan keluhuran cita rasa sang penguasa.

Paradigma feodalisme sangat kuat dalam masa Orde Baru. Reformasi tidak lain adalah gerakan masyarakat yang lahir dari pemahaman dasar rakyat akan dirinyasebagai sumber dan arah penyelenggaraan kekuasaan. Namun reformasi hanya dikatakan berhasil, apabila gerakan ini sanggup mengubah pemahaman dasar dalam diri para pemangku kekuasaan. Selama konsep dasar para penguasa ini masih feodalistis, maka reformasi sebenarnya masih jauh panggang dari api. Dan di banyak tempat di republik ini, kenyataannya masih seperti itu.

Memperhatikan kasus Lembata, tampaknya masih menjadi tugas yang penting dan serius dari semua elemen masyarakat untuk menjadi demokratis. Rakyatnya sudah sadar akan perannya, dan telah menunjukkan diri sebagai warga yang tidak lemah dan tidak bodoh. Mereka sanggup dan mampu menggalang kekuatan, dan merasa dilecehkan saat haknya tidak diperhatikan. Perjuangan tanpa kekerasan yang terjadi hingga sekarang merupakan bukti, bahwa mereka adalah warga yang cerdas, yang mempertimbangkan matang-matang cara perjuangannya, agar tidak gampang dibelokkan oleh siapapun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa warga masyarakat sudah mulai menjadi warga yang demokratis, yang menolak bentuk-bentuk penyelenggaraan kekuasaan yang feodalistik. Hal ini merupakan satu basis kekuatan ke arah demokratisasi.

Menanggapi desakan massa pada tanggal 23 Juli yang lalu agar bupati dan Wakil Bupati Lembata menyampaikan sikapnya secara tegas, jawaban yang diberikan melalui Kasat Pol-PP dan Kabag Binamitra Polres Lembata adalah ‘akan mempelajari pernyataan tersebut’. Artinya, mereka minta waktu untuk membuat studi lagi mengenai pernyataan sikap masyarakat penolak tambang. Pernyataan bupati ini memang sangat lemah untuk memberikan harapan bagi langkah demokratisasi, namun betapapun lemahnya, pernyataan ini toh dapat memancing api harapan. Sebab, demokrasi memang hidup dari harapan para pejuangnya. Namun, harapan ini akan diperkokoh dan tetap dipercaya, apabila studi tersebut menempatkan rakyat sebagai pemilik dan sasaran penyelenggaraan kekuasaan. Rakyat sudah menyatakan sikapnya secara tegas untuk menolak tambang, maka sikap inilah yang hendaknya menentukan pertimbangan pemerintah di Lembata selanjutnya. Dalam alam demokrasi, merevisi sebuah keputusan karena desakan masyarakat, betapapun beratnya, bukanlah sebuah kekalahan penguasa. Penguasa toh tidak sedang berperang melawan rakyatnya. Pemerintahan yang demokratis akan mengaku keliru menafsir kehendak masyarakat dan bersedia memperbaikinya atas desakan eksplisit dari masyarakat. Tetapi, Lembata akan kembali ke alam feodalisme Orde Baru seandainya langkah susulan setelah pernyataan kesediaan tersebut adalah merancang taktik memecahbelah masyarakat, menyumbat mulut-mulut kritis dan melumpuhkan kegesitan serta menumpulkan ketajaman insan pers dengan berbagai hadiah dan janji.

Jalan ke arah demokratisasi juga sangat ditentukan oleh pemahaman dan sikap DPRD. Paradigma penyelenggaraan kekuasaan macam mana yang ada dalam benak dan hati para wakil rakyat tersebut? Adanya DPRD tidak dengan sendirinyaberarti sudah ada demokrasi. Dalam era Orde Baru, lembaga perwakilan adalah bagian dari proses absolutisasi kekuasaan di tangan seorang penguasa. Bukan pengalaman baru di negara ini, bahwa lembaga perwakilan rakyat mengingkari hakikatnya sebagai perwakilan, dan memahami diri sebagai tuan atas rakyat, yang dinilai tak bisa apa-apa dan tak tahu apa-apa. Pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, bahwa para wakil rakyat beranggapan, rakyat telah menanggalkan pikirannya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kebijaksanaan para wakilnya. Para wakil rakyat seperti ini pun sebenarnya bersifat feodal.

Di Lembata, para wakil rakyat mengambil keputusan untuk membuat studi banding ke dua tempat. Apakah ini sebuah keputusan yang lahir dari satu pemahaman diri sebagai wakil rakyat dalam satu bingkai demokrasi? Pertanyaan ini penting, karena terlampau lumrah di republik ini bahwa studi banding adalah nama lain dari jalan-jalan atas ongkos rakyat. Kalau hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, studi banding tidaklah gampang. Studi saja sudah berat, apalagi studi banding! Kasus tambang adalah kasus yang berat, maka studi banding harus dilakukan dengan kesungguhan.

Perlu disadari bahwa studi banding hanya bermafaat apabila sekurang-kurangnya dua syarat berikut dipenuhi. Pertama, yang membuat studi tersebut memiliki pemahaman yang benar tentang kondisi wilayahnya sendiri. Tanpa pemahaman ini, tidak ada yang bisa dibandingkan. Kondisi geografis dan keadaan ekologis dari wilayah sendiri perlu diketahui. Termasuk dalam pemahaman wilayah sendiri adalah mengetahui kondisi masyarakat dan mengenal kecemasan serta kegelisahan mereka. Bagaimana kebudayaan mereka, konsep mereka tentang tanah, persoalan kepemilikan tanah dalam tradisi asli merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan entahkah sebuah proyek pembangunan itu populis atau represif. Kenyataan, DPRD Lembata tidak bersedia memberikan jawabannya yang pasti terhadap masyarakat pesisir dan Leragere yang menolak tambang, yang datang untuk menyampaikan sikapnya pada sejak Desember 2006. Janji untuk mengadakan sidang paripurna khusus terhadap masyarakat yang datang tanggal 11 sampai 13 Juni 2007, tidak dipenuhi. Yang diterima secara hangat hanyalah kelompok masyarakat yang menyetujui penambangan pada tanggal 25 Juni 2007. Kalau sikapnya seperti itu, apakah para anggota DPRD Lembata sungguh memahami kegelisahan dan kecemasan masyarakatnya yang menolak tambang? Dalam kondisi seperti ini, apakah DPRD Lembata berada dalam situasi yang tepat untuk membuat studi banding? Boleh jadi para anggota DPRD sudah merasa paham akan persoalan masyarakatnya. Perasaan memang merupakan satu kapasitas manusia yang penting. Harapan kita, semoga perasaan itu tidak keliru.

Kedua, sebuah studi banding perlu terarah kepada semua hal yang dipandang krusial bagi wilayah sendiri. Dalam kasus tambang, yang perlu mendapat perhatian dalam studi banding adalah persoalan proses pembuatan keputusanpenambangan, masalah kesejahteraan rakyat, dan dampak ekologis serta sosial yang ditimbulkannya. Persoalan proses pembuatan keputusan menjadi penting, karena ini juga menjadi soal krusial di Lembata. Demikian pula tujuan yang dicapai dengan penambangan tersebut. Apakah penambangan di tempat studi banding sungguh mendatangkan kesejahteraan para warga? Dan apa dampak ekologis dan sosialnya? Sasaran studi banding ini akan menentukan, siapa yang didekati sebagai nara sumber dalam studi. Tidak hanya perusahaan penambang, tetapi juga pemerintah, LSM-LSM yang berkomitmen terhadap masalah kebudayaan dan lingkungan serta mayarakat yang mendukung dan menolak tambang. Di Lewoleba DPRD Lembata tidak bersedia menerima masyarakat penolak tambang. Kiranya mereka juga membuat studi tentang sikap mereka ini, dan di lokasi studi banding bersedia mendengarkan masyarakat penolak tambang.

Sebuah studi banding dapat melahirkan dua alternatif keputusan. Akan dibuat sesuatu seperti yang terjadi di lokasi studi banding, atau tidak akan dibuat sesuatu seperti yang dilakukan di lokasi studi banding. Ungkapan keputusan bisa berbunyi: "Kita buat seperti yang mereka lakukan di sana", atau "Kita tidak akan lakukan seperti yang mereka buat di sana". Hasil inilah yang akan menunjukkan konsep dasar para wakil rakyat Lembata, entahkah demokratis atau tidak. Keputusan itu jugalah yang akan menyingkapkan, atas nama siapa para wakil rakyat Lembata pergi membuat studi banding. Artinya, keputusan itulah yang menyatakan, siapa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ dalam ungkapan di atas. Kalau para anggota DPRD pergi atas nama perusahaan, maka mereka akan mempelajari apa yang perlu dilakukan lembaganya agar keinginan perusahaan dapat diwujudkan. Apabila mereka pergi atas nama dan demi rakyat Lembata, yang di lokasi rencana penambangan sudah menyatakan sikap tegas menolak tambang, maka yang dipelajari adalah strategi mana yang perlu ditempuh DPRD supaya sikap masyarakat ini direalisasikan. Rakyat penolak tambang di lokasi studi banding kalah berhadapan dengan penguasa dan pengusaha. Kalau DPRD Lembata sungguh pro rakyat, maka mereka akan sungguh-sungguh belajar tentang kelemahan DPRD lokasi studi banding agar dapat bertindak lebih tepat guna membela rakyat. Langkah studi banding dinilai sebagai langkah penting bagi DPRD dalam menentukan sikapnya. Kita berharap bahwa sikap itu sungguh demokratis.

Konsep dasar yang melatari dan menjiwai pemikiran seseorang tampak ketika terjadi benturan dengan gagasan dan rencana orang lain. Benturan-benturan itu dapat membantu seseorang untuk mengoreksi dan mengubah paradigma berpikirnya, kalau memang paradigma itu tidak dapat lagi dipertahankan. Atas desakan masyarakat Bupati Lembata menyatakan akan mempelajari dulu tuntutan masyarakat. Dan DPRD Lembata membuat studi banding. Akankah ada perubahan sikap setelah bupati membuat studi atas tuntutan masyarakat danDPRD melakukan studi banding? Akankah ada perubahan sikap sehingga bisa dibuat perbandingan? Sangat berarti bagi demokratisasi, apabila ada sikap yang jelas dan sungguh pro rakyat dalam rangka demokrasi. Kalau demikian, nanti bisa dibuat studi banding di Lembata sendiri, tak usah jauh-jauh.
Sumber: Pos Kupang, 4 Agustus 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger