Max Regus
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sosiologi UI
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sosiologi UI
Pada tahun 1947, Winston Churchill pernah mengatakan, sepanjang sejarah ada banyak bentuk pemerintahan yang sudah digagas. Demokrasi adalah salah satunya.
Namun, tidak satu orang pun menegaskan pretensi, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan terbaik. Bahkan, mungkin sebaliknya akan terbukti benar, demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling buruk, seandainya bentuk-bentuk lain terus diuji coba sepanjang sejarah.
Churchill hendak mengingatkan, demokrasi bukan sesuatu yang taken for granted. Demokrasi adalah proses pencarian mekanisme paling tepat untuk memakmurkan masyarakat. Demokrasi niscaya melewati ketegangan demi ketegangan sebelum mencapai level ini.
Demokrasi permukaan
Jeff Haynes, pengajar ilmu politik di London Guildhall University, dalam buku Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New Political Movement (1997), melakukan studi kritis tentang sosok demokrasi di sejumlah negara dunia ketiga dalam dua dekade menjelang akhir abad ke-21.
Dunia ketiga, lekat dengan demokrasi permukaan, berikut sejumlah ciri penting. Pertama, pelaku politik sebatas membentuk politik formal. Kondisi ini membutuhkan biaya politik besar. Formalisme politik yang sempit dan kaku membekap demokrasi.
Kedua, fokus perhatian kekuatan politik utama sebatas membangun sistem politik untuk menggerakkan perubahan politik.
Ketiga, komunitas reformis gagal memperjuangkan pembaruan politik demi kesejahteraan masyarakat. Minimnya gagasan alternatif sebagai tandingan sistem dan kultur politik lama mempercepat kegagalan kelompok gerakan sosial progresif.
Keempat, aktivis demokrasi enggan melakukan intervensi politik ke dalam ruang-ruang kekuasaan. Kritikan tanpa solusi yang luas dan efektif tak bisa memperbaiki keadaan yang kian buruk.
Kelima, rendahnya produktivitas politik memunculkan pemimpin alternatif.
Demokrasi profetik
Usaha memperluas ide-ide demokrasi dapat terjadi saat institusi formal dan kekuasaan tidak lagi menguras waktu dan biaya besar guna mengurus berbagai masalah di level demokrasi permukaan. Maksimalisasi perluasan ide-ide demokrasi pada level publik akan menjadi perhatian utama pelaku politik. Kita tidak hanya memboroskan energi untuk bongkar pasang sistem pemilihan umum.
Penyebaran ide-ide demokrasi membutuhkan ruang yang luas dan efisien. Pertama, sebuah forum publik yang terbuka dan merdeka menjadi sebuah kemutlakan. Forum ini tidak sebatas arena pertemuan fisik belaka, tetapi semacam ruang transaksi ide-ide kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Kedua, warga negara mempunyai akses yang mudah pada proses pemerintahan, terutama dalam pengambilan keputusan secara kolektif. Dalam konteks ini, mayoritas warga negara bisa terlibat lebih besar dalam mengambil berbagai keputusan politik yang penting.
Ketiga, partisipasi luas warga negara akan menghindarkan negara dari bajakan kekuatan oligarki politik. Keterlibatan warga negara secara luas berpeluang mempersempit arena permainan politik oligarkis. Mereka tidak bisa secara leluasa memenangkan berbagai kepentingan mereka dalam ekonomi politik.
Pragmatisme politik yang mengental saat ini mengancam kultur politik kita untuk mempercepat transformasi sosial. Politik diperlakukan sebagai jangkar untuk menarik keuntungan kelompok tanpa merefleksikan masa depan bangsa. Kita belum mewujudkan demokrasi substantif. Demokrasi permukaan mendominasi praktik politik dan kekuasaan kita.
Demokrasi artifisial adalah keperluan elite kekuasaan. Namun, demokrasi harus memiliki visi masa depan. Demokrasi harus mampu menembus muramnya kehidupan publik. Indonesia membutuhkan demokrasi profetik sebagai kekuatan yang mentransendensikan penderitaan rakyat, sebagai satu-satunya alasan kita menjalankan proses politik saat ini. Indonesia akan terus murung saat proyek politik seperti pemilihan umum masih bermain dalam ruang demokrasi permukaan. Tragisnya, ”demokrasi profetik” sejauh ini masih ”disembunyikan” di lembah kelam politik kekuasaan Indonesia.
Churchill hendak mengingatkan, demokrasi bukan sesuatu yang taken for granted. Demokrasi adalah proses pencarian mekanisme paling tepat untuk memakmurkan masyarakat. Demokrasi niscaya melewati ketegangan demi ketegangan sebelum mencapai level ini.
Demokrasi permukaan
Jeff Haynes, pengajar ilmu politik di London Guildhall University, dalam buku Democracy and Civil Society in The Third World Politics & New Political Movement (1997), melakukan studi kritis tentang sosok demokrasi di sejumlah negara dunia ketiga dalam dua dekade menjelang akhir abad ke-21.
Dunia ketiga, lekat dengan demokrasi permukaan, berikut sejumlah ciri penting. Pertama, pelaku politik sebatas membentuk politik formal. Kondisi ini membutuhkan biaya politik besar. Formalisme politik yang sempit dan kaku membekap demokrasi.
Kedua, fokus perhatian kekuatan politik utama sebatas membangun sistem politik untuk menggerakkan perubahan politik.
Ketiga, komunitas reformis gagal memperjuangkan pembaruan politik demi kesejahteraan masyarakat. Minimnya gagasan alternatif sebagai tandingan sistem dan kultur politik lama mempercepat kegagalan kelompok gerakan sosial progresif.
Keempat, aktivis demokrasi enggan melakukan intervensi politik ke dalam ruang-ruang kekuasaan. Kritikan tanpa solusi yang luas dan efektif tak bisa memperbaiki keadaan yang kian buruk.
Kelima, rendahnya produktivitas politik memunculkan pemimpin alternatif.
Demokrasi profetik
Usaha memperluas ide-ide demokrasi dapat terjadi saat institusi formal dan kekuasaan tidak lagi menguras waktu dan biaya besar guna mengurus berbagai masalah di level demokrasi permukaan. Maksimalisasi perluasan ide-ide demokrasi pada level publik akan menjadi perhatian utama pelaku politik. Kita tidak hanya memboroskan energi untuk bongkar pasang sistem pemilihan umum.
Penyebaran ide-ide demokrasi membutuhkan ruang yang luas dan efisien. Pertama, sebuah forum publik yang terbuka dan merdeka menjadi sebuah kemutlakan. Forum ini tidak sebatas arena pertemuan fisik belaka, tetapi semacam ruang transaksi ide-ide kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Kedua, warga negara mempunyai akses yang mudah pada proses pemerintahan, terutama dalam pengambilan keputusan secara kolektif. Dalam konteks ini, mayoritas warga negara bisa terlibat lebih besar dalam mengambil berbagai keputusan politik yang penting.
Ketiga, partisipasi luas warga negara akan menghindarkan negara dari bajakan kekuatan oligarki politik. Keterlibatan warga negara secara luas berpeluang mempersempit arena permainan politik oligarkis. Mereka tidak bisa secara leluasa memenangkan berbagai kepentingan mereka dalam ekonomi politik.
Pragmatisme politik yang mengental saat ini mengancam kultur politik kita untuk mempercepat transformasi sosial. Politik diperlakukan sebagai jangkar untuk menarik keuntungan kelompok tanpa merefleksikan masa depan bangsa. Kita belum mewujudkan demokrasi substantif. Demokrasi permukaan mendominasi praktik politik dan kekuasaan kita.
Demokrasi artifisial adalah keperluan elite kekuasaan. Namun, demokrasi harus memiliki visi masa depan. Demokrasi harus mampu menembus muramnya kehidupan publik. Indonesia membutuhkan demokrasi profetik sebagai kekuatan yang mentransendensikan penderitaan rakyat, sebagai satu-satunya alasan kita menjalankan proses politik saat ini. Indonesia akan terus murung saat proyek politik seperti pemilihan umum masih bermain dalam ruang demokrasi permukaan. Tragisnya, ”demokrasi profetik” sejauh ini masih ”disembunyikan” di lembah kelam politik kekuasaan Indonesia.
Sumber: Kompas, 1 April 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!