SAYA tak tahu apakah kampung lain punya tradisi yang sama seperti di kampung saya, Puor, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Di sana, pada tiap hari Minggu, usai misa, seluruh warga desa masih mendengar "perintah" kepala desa di halaman gereja.
Biasanya forum ini mengevaluasi kegiatan di desa pekan lalu, menyepakati target pekerjaan seminggu ke depan dan hal-hal lain yang dianggap penting untuk dibicarakan. Waktunya tak menyita, sekitar tiga puluh menit sampai satu jam. Pertimbangannya, masyarakat butuh waktu untuk istirahat karena hari bae, hari Minggu.
Forum ini demokratis. Usai kepala desa "bertuah" warga boleh menyampaikan komentar, pendapat, kritik atau masukan-masukan konstruktif. Dan, pada kesempatan itu selalu ada kesimpulan maupun kesepakatan-kesepakatan.
Tetapi ini pengalaman saya sekitar 25 tahun lalu. Entalah, apakah nilai-nilai yang lahir dari karsa masyarakat masih ada atau tidak. Mungkin saat ini sudah banyak perubahan. Entahlah!
Ada beberapa nilai positif lain yang saya tangkap dan masih saya ingat. Pertama, ketika itu semua rumah penduduk sudah permanen. Kalaupun semi permanen bisa dihitung dengan jari tangan. Modalnya karena kegotongroyongan. Semua warga di desa tanpa kecuali membuat arisan "tenaga" membangun rumah.
Saya tak membantah peran orang dari perantauan yang tak kecil membangun kampung itu. Hanya yang ingin saya kemukakan di sini ialah nilai-nilai positif yang dikembangkan saat itu dan ia seakan menjadi panglima. Menjadi kekuatan utama.
Kepala desa saat itu, Bapak Yosef Nusa Wuwur disusul Bapak Petrus Sari Liman, Bapak Viktor Bunga Kobun (alm) dan kepala desa lainnya boleh dibilang sukses membawa warganya maju. Mereka sukses membangun kemandirian, membangun jati diri serta mengangkat martabat warganya. Sesuatu yang positif jika saya bandingkan dengan kondisi desa tetangga lainnya. Mungkin juga penilaian ini sangat subyektif karena berangkat dari pengalaman batin yang tentu saja berbeda dengan pengalaman batin orang lain.
Karena kesuksesan membangun kampungnya itu, Majalah Dian dan saya ingat Pak Thom Wignyata (alm) datang ke kampung saya. Ia menulis khusus tentang kisah Kades Pak Yoseph Nusa Wuwur ini. Dian menulis secara lugas strategi yang dilakukan Pak Yos ini. Betapa Dian menggunakan diksi "kekuatan yang tak tertandingi." Sebuah kampung yang letaknya jauh di pedalaman namun sudah mempraktikkan banyak hal positif.
Namun Dian mengkritik bahwa konstruksi semua bangunan rumah di sana dua air, ventilasi pintu dan jendela yang kecil sehingga dari segi kesehatan kurang bagus. Pada malam hari warga masih menggunakan lampu pelita dan petromaks. Sekarang sebagian sudah memiliki genset.
Untuk memperkuat tulisan itu, Dian menurunkan foto salah satu rumah penduduk meski berdinding tembok, berseng namun kontruksinya masih dinilai sederhana. Obyek fotonya adalah salah satu rumah di Dusun Mikel.
Kedua, saat itu ada kebun desa dan lumbung desa. Ada juga kuda milik desa yang digunakan kades dan siapa saja untuk kepentingan "dinas" desa. Lumbung desa itu ditempatkan di kantor desa saat ini. Produksi pertanian ketika itu limpah ruah. Siapa pun yang mengalami "paceklik" pangan dapat membelinya dengan harga yang relatif murah.
Kini, rasanya sedih ketika mendengar kabar bahkan membaca berita koran yang menyebutkan penduduk di sana mengalami kurang pangan. Apakah benar mereka lapar atau karena faktor politis semata? Bila di kampung saya warganya sudah lapar, bagaimana dengan desa lainnya? Mungkin jauh lebih parah. Saya punya alasan rasional. Kampung itu letaknya di bawah kaki Gunung Labalekan. Daerahnya sejuk dan tanaman apa saja bisa hidup. Lantas didera kelaparan? Sungguh mati menjadi bahan pertanyaan yang tak pernah habis.
Saya juga mencatat karena kemajuan dan kekompakan yang baik, desa itu beberapa kali keluar sebagai juara kebersihan tingkat Kabupaten Flores Timur (ketika itu masih bergabung, Red). Hadiahnya pun tak seberapa, sebuah tape recorder dan bola voli.
Ketiga, kegiatan olahraga begitu hidup. Di kampung, ada sebuah klub bola kaki, Spirit namanya. Kebetulan Bapa Stanis Deri-- bapa saya-- sebagai instrukturnya. Klub itu berkembang sangat bagus. Kelebihan klub ini adalah selalu fair dalam setiap pertandingan bola kaki meski masih dalam skop antardesa. Saya sering mengikuti bapa ketika memberi latihan bolakaki. Kepada para pemain beliau selalu menekankan sportivitas dalam permainan. Dan, ia juga mengajarkan kepada para pemain bola soal teknik-teknik bermain bola modern. Distribusi bola menjadi tekanan beliau. Mengapa? Karena di sana kerja sama tim belum terbina baik. Dan, begitu banyak perubahan dalam klub Spirit ini.
Saya mencatat, ketika klub ini berhadapan dengan klub lain, seperti POL (Persatuan Sepakbola Labalimut), Gempa, Kerikil Tajam dan Bintang Pagi jarang terjadi pertengkaran di tengah lapangan, apalagi sampai kekerasan fisik. Saya menangkap pesan bahwa nilai-nilai solidaritas, persabahabatan dan saling menghargai menjadi tekanan.
Yang ditekankan adalah permainan dan bukan pertandingan. "Pertandingan" lebih pada konteks meraih kemenangan dengan berbagai cara, halal dan tidak halal. Sedangkan "bermain" adalah sebuah proses melatih mental untuk fair, menekankan sportivitas dan seni bermain yang pada akhirnya bisa meraih kemenangan. Dan, menurut saya, di sanalah semangat ini dikembangkan pada klub bola ini.
Saya mendengar kini perkembangan olahraga semakin pudar bahkan tak ada lagi yang menaruh minat untuk mengembangkan olahraga ini seiring bapa saya "pensiun" sebagai pelatih. Pertanyaan lainnya apakah lumbung desa masih ada, apakah masih ada kerja kelompok di kebun/desa atau membangun rumah secara bersama-sama?
Bagi saya, kepemimpinan menjadi roh atau kekuatan untuk menggerakkan masyarakat. Ketika roh kepemimpinan pudar, ketika tak ada lagi kewibawaan, ketika pemimpin tak punya jiwa kepamongan, dan ketika semuanya sudah tak ada lagi, maka kita akan sampai pada titik nadir. Kehidupan organisasi seakan tak ada lagi. Sama dengan hidup tanpa pemimpin meski di desa sekalipun. (Paul Burin)
Sumber: Pos Kupang, 3 Oktober 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!