Headlines News :
Home » » Kebakaran di Lembata Bukan Takdir

Kebakaran di Lembata Bukan Takdir

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, December 10, 2008 | 11:55 AM


Lembata dikenal sebagai wilayah dengan tingkat kebakaran hutan dan padang sangat tinggi. Laporan dari Lembata tahun ini mengatakan wilayah terparah meliputi kecamatan Ile Ape dan Nubatukan.

Dari kedua kecamatan ini, Nubatukan paling parah. Padang dan hutan serta lahan yang terbentang mulai dari Waijarang, Waikomo, Belang di desa Watokobu, Bakalerek, Paobokol bahkan sampai ke Labanobol mengalami kebakaran paling parah.

Kebakaran di Nubatukan terjadi bulan Agustus 2008. Titik api diidentifikasi terjadi di wilayah Desa Bakalerek dan Watokobu pada bulan Agustus ketika berlangsung latihan pengurangan resiko bencana kekeringan dan kebakaran bagi pemerintah 6 desa. Ironis!

Untuk kebakaran di Ile Ape yang menghanguskan seluruh gunung api itu, pelakunya sudah diamankan Kepolisian Resort (Polres) Lembata. Pelaku mengaku lalai ketika membakar rumput di kebunnya untuk persiapan musim tanam. Di Nubatukan belum diketahui pelakunya.

Dari cerita yang dihimpun di desa-desa sekitar lokasi kebakaran dikatakan, kebakaran mulai dari Lewoleba. Masyarakat mengetahui bahwa yang membakar biasanya para pekerja pengumpul batu. Dengan membakar padang, mereka lebih leluasa mengumpul batu untuk dijual.

Masyarakat juga sudah melaporkan hal ini ke polisi, namun polisi punya aturan standar bahwa pelaku harus ditangkap tangan. Hal ini yang menyulitkan ketika terjadi kebakaran, polisi ada di kota dan bukan di hutan.

Menghitung Kerugian

Jika dilihat sepintas, hampir tidak ada kerugian serius yang ditimbulkan jika padang terbakar. Namun jika dihitung, sesungguhnya tidak kecil kerugiannya. Tahun 2007, ketika terjadi kebakaran di Waijarang, tanaman mente gagal panen.

Pendapatan petani mente menurun. Frans Erak Liman, seorang pengrajin kacang mente dari Waijarang pernah mengungkapkan, usahanya nyaris macet karena gagal panen. Ia terpaksa mendatangkan mente dari Nagawutung agar usahanya tetap berjalan.

Ketika gunung Labalekan terbakar tahun 2006, YBS Lewoleba menghitung kerugian materil mencapai Rp. 3 miliar di luar ancaman kekeringan sejumlah sumber air dan ancaman longsor bagi desa-desa di lereng gunung itu.
Bisa Diubah

Sederhana saja jika pemda dan masyarakat Lembata mau mengubah ancaman alam ini. Ketika diskusi soal ini di Bakalerek tahun 2007 silam, masyarakat merasa sulit memadamkan api. Ini namanya paradigma lama. Tunggu padang terbakar, baru berusaha memadamkannya. Berapa mampu?

Yang strategis dilakukan adalah mencegah dari pada memadamkan api. Biasanya, api sangat produktif jika bertemu rumput kering, apalagi di musim panas. Maka, ke depan diperlukan yang diperlukan adalah mengubah rumput kering menjadi hijau.

Sumber daya ada

Setiap tahun Dinas Kehutanan Lembata memiliki program pusat cukup besar. Hijaukan padang-padang itu. Masyarakat juga jangan diam. Gerakkan menanam bagi setiap jiwa. Pasti jadi.

Jika setiap tahun tiap kepala keluarga (KK) dibagikan 0,5 ha untuk dihijaukan, kita tentu butuh waktu tidak sampai 10 tahun untuk mengubah padang dari Waijarang hingga Labanobol menjadi hutan yang hijau. Jika sudah hijau, api sulit menyebar.

Di samping itu, bertambah lahan produktif untuk pertanian. Jangan serahkan itu semua pada polisi untuk tangkap pelaku kebakaran.Urusan lalu lintas di kota saja susah, apalagi yang di hutan.
Sumber: atakiwang.blogspot.com
Ket Foto: Panorama alam Waijarang yang mempesona
dilihat dari atas perahu motor Larantuka - Lewoleba, Juni 2007.
Foto: dok. Ansel Deri
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger