Headlines News :
Home » » Resensi: Membaca Sisi Lain Pluralisme

Resensi: Membaca Sisi Lain Pluralisme

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 16, 2008 | 6:32 PM

Fransiskus Lua Mudaj hanya warga bangsa biasa. Ia lulusan Sekolah Pendidikan Guru Kemasyarakatan (SPGK) Lewoleba, Lembata. Guru Frans atau Lua, begitu ia disapa, penganut Katolik.

Ia orang udik dari dusun Kluang, Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, NTT. Saat ini mengajar di SDK Atawuwur. Masih di kecamatan ini. Jabatannya kepala sekolah.

Sebelum bertugas di SDK Atawuwur, ia pernah mengajar di SD Inpres Luki, Desa Pantai Harapan, Nagawutun (kini Wulandoni) tahun 1989-2000. Saat itu, ia dipercaya sebagai Ketua Panitia Pembangunan Masjid Asyamat Luki.

Sekadar tahu. Mayoritas masyarakat Luki dan Pantai Harapan umumnya, beragama Islam, selain Katolik. Hubungan antarumat beragama -sebagaimana di Lembata umumnya- di kampung nelayan itu sangat harmonis.

Di luar tugas mengajar, ia masih dipercaya sebagai ketua lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD) Pantai Harapan.

“Kepala tukang berembuk dengan kepala desa dan tetua adat. Mereka sepakat meminta saya menjadi ketua panitia. Sebagai guru saya terpanggil mengemban tugas mulia itu. Akhirnya, atas doa dan kerja keras bersama umat, Masjid Asyamat bisa dirampungkan dalam jangka waktu tak sampai satu tahun. Sebagai penganut Katolik saya bangga karena bisa ikut membantu pembangunan rohani umat. Ini pengalaman saya yang tak akan pernah saya lupakan selama hidup,” cerita guru Frans (Flores Pos, 2007).

Peristiwa itu merupakan satu contoh pengalaman nyata bagaimana seorang guru SD ikut membumikan toleransi dalam kehidupan. Masih banyak contoh lain yang dapat kita temui dengan mudah di pelbagai daerah di Indonesia.

Dalam kasus guru Frans, ia menerima tugas sebagai ketua panitia pembangunan masjid di tengah rutinitas mengajar dan mendidik anak muridnya. Demi kehadiran sebuah tempat ibadah bagi saudaranya yang beragama Islam, ia menerima tugas mulia itu tanpa beban. Tugas itu dimaknai sebagai amanah.

Tapi nama guru Frans bukanlah salah satu di antara sosok yang masuk cerita Zuhairi Misrawi dalam Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme. Paling tidak contoh kecil yang ditunjukkan guru SD itu mengandung nilai pluralisme dalam semangat kasih.

Menurut Zuhairi, tentu saja kita harus jujur. Di antara orang-orang Kristen dan Yahudi masa kini pun terdapat mereka yang beriman dan senantiasa menebarkan amal saleh. Dari pengalaman pribadi, setidaknya ada empat sosok yang telah mengetuk dan membuka hatinya untuk membumikan toleransi lintas agama (hal. 2).

Siapa saja keempat sosok yang dimaksud intelektual muda jebolan Departemen Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 2000, itu? Pertama, Dr Milad Hanna.

Hanna adalah guru besar Ilmu Teknik, aktivis HAM, dan penggiat dialog antaragama di Mesir. Ia lahir dari sebuah keluarga Kristen Koptik. Guru besar ini menulis dua buku penting terkait toleransi yakni al-Amidah al-Sab’ah li al-Syahshiyyah al-Mishriyyah dan Qabul al-Akhar: Min Ajli Tawashul Hiwar al-Hadlarat (Tujuh Pilar Kepribadian Mesir dan Menyongsong Yang Lain: Upaya Melanjutkan Dialog Antar-peradaban).

Hanna juga termasuk sosok intelektual yang sangat concern dengan masalah Sudan yang tengah dilanda konflik. Saat kepedulian itu ditanyakan Zuhairi, ia meminta agar masalah Sudan dilihat secara adil.

Pasalnya, secara teritorial Sudan adalah wilayah yang dekat dengan Mesir. Namun, sebagai sesama makluk Tuhan, kata Hanna, kita harus mempunyai kepedulian terhadap siapapun yang dalam kesulitan, terutama perang saudara yang tengah berkecamuk (ibid: hal. 3).

Kedua, Dr Youhanna Qaltah, uskup Agung Mesir. Di Mesir, uskup pemegang gelar doktor bidang Islamic Studies lulusan Universitas Sorbonne, Prancis, itu kerap menjadi narasumber dalam berbagai kesempatan. Ia juga dikenal sebagai pakar pemikiran Ibnu Rushd, filsuf Muslim terkenal di Cordova.

Zuhairi mengaku pernah bertemu dengan uskup ini saat ia bersama sejumlah mahasiswa asal Indonesia yang tengah belajar di al-Azhar bertemu dengan beliau di Istana Keuskupan, kompleks Gereja al-Sujud, kawasan Shubra. Kala itu mereka bermaksud mewawancarai sang uskup yang sedianya akan dimuat dalam sebuah jurnal pemikiran anak muda NU di Mesir.

“Setelah beberapa saat kami mewawancarainya, tiba-tiba suara adzan Ashar berkumandang. Bapak uskup menghentikan wawancara. Kemudian, ia mengatakan, ‘Akhi Zuhair, adzan telah berkumandang. Silahkan ambil wudhu di sebelah kanan gereja. Silahkan laksanakan shalat. Ini sajadahnya. Arah kiblat agak miring ke kanan’,” cerita Zuhairi (HIDUP, 16 Maret 2008).

Dalam pertemuan selanjutnya, Mgr Qaltah meminta Zuhairi sebagai calon intektual muda Islam agar rasionalitas, dialog, dan toleransi harus menjadi basis pemahaman keagamaan. Di mata Qaltah, Rushd adalah filsuf yang telah membuka cakrawala umat agama lain agar mengedepankan rasionalitas dan toleransi. Umat Kristen banyak mengambil pelajaran dari pemikiran Rushd.

Sebuah artikel Qaltah tentang Nabi Muhammad SAW, pernah dimuat al-Ahram. Di harian itu Qaltah menulis, ‘Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang membawa kebaikan bagi manusia, karenanya Nabi perlu diteladani tidak hanya oleh orang-orang Muslim, tetapi juga oleh orang-orang Kristen’ (bdk. hal 5).

Ketiga, Franz Magnis-Suseno. Romo Magnis, begitu ia disapa, sehari-hari mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Selain menjabat Direktur Program Pascasarjana di STF Driyarkara, ia sangat akrab dengan dunia luar. Entah sebagai nara sumber atau lewat artikel-artikelnya di sejumlah koran, majalah, dan jurnal terkemuka.

“Sosok Romo Franz telah menghadirkan sesuatu yang amat berharga. Toleransi dan inklusivisme telah menjadi landasan pemikirannya. Ia seringkali terlibat dalam forum-forum dialog antar-agama. Ketika ditanya soal Piagam Madinah, ia berkomentar, ‘Piagam tersebut menunjukkan bahwa agama-agama, terutama Islam telah mempraktekkan toleransi sejak awal kedatangannya. Dan itu sangat baik sekali bagi kehidupan yang toleran dalam konteks keragaman agama,” kata Zuhairi (hal. 7).

Keempat, Pendeta Martin Lukito Sinaga. Sehari-hari, Martin adalah dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta dan Pendeta Gereja Simalungun, Sumatera Utara. Di kalangan NU dan Muhammadiyah, Martin tak asing lagi karena sering menjadi narasumber dalam beberapa seminar di pesantren maupun perguruan tinggi Islam.

Pemikiran Zuhairi, intelektual muda Muslim yang satu ini, sangat luas dan bernas. Hal itu bisa dimengerti karena sejak berusia 5 tahun hingga kuliah di Kairo, membaca dan menghafal al-Quran menjadi kewajiban. Bahkan hingga kini, ia terus mengais nilai-nilai toleransi yang ada di dalam al-Quran.

Pendeskripsian yang lancar dan bernas tentang pluralisme dan toleransi serta khazanah keislaman lainnya tak lepas dari pengalaman dan pendidikan yang dialaminya. Hal mana seperti juga ditemui dalam sejumlah buku karyanya.

Sebut saja Dari Syariat Menuju Maqashid (2003), Doktrin Islam Progresif, Islam Melawan Terorisme, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (2004), Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (2007), dan Paradigma Muslim Moderat, Nabi Muhammad SAW (segera terbit).

Berbagai artikel dengan tema serupa menyebar di sejumlah media massa seperti Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, TEMPO, GATRA, dan lain-lain.

Bagaimanapun, buku Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme bagai oase di padang gurun. Ia hadir tepat tatkala pluralisme kerap tak menjawab persoalan nyata dalam masyarakat.

Misalnya, meminjam pendapat Zuhairi, adanya kelompok-kelompok keagamaan yang dianggapnya membawa kecenderungan baru. Kecenderungan itu tidak hadir dalam konteks kultur Indonesia tetapi mengusung kultur global seperti munculnya gerakan-gerakan yang mengusung kekerasan (HIDUP, 16 Maret 2007).

Pemikiran bernas yang dituangkan dalam buku ini benar-benar menunjukkan ia seorang intelektual masa depan Indonesia yang diharapkan menjadi jembatan dialog antaragama. Bahkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantarnya, disebutkan, buku ini merupakan percikan pemikiran seorang anak muda tradisionalis yang tidak pernah merasa puas dengan ilmu-ilmu agama yang dikuasainya.

Ketua STAIN Tulungagung, Jawa Timur Prof Dr Mujamil Qomar, M.Ag berpendapat, buku ini hadir pada saat yang tepat sekali. Ketika Islam oleh sebagian kalangan dianggap mengajarkan kekerasan termasuk radikalisme dan terorisme.

Buku ini berusaha mengubah anggapan yang salah itu, dengan mengedepankan pesan-pesan toleransi dari al-Quran. Oleh karena itu, buku ini seharusnya memang dibaca dan dijadikan salah satu referensi dalam membangun kerukunan, baik internal maupun eksternal.

Ya, membangun kerukunan dalam laku dan tingkah sebagaimana ditunjukkan keempat sosok yang dikemukakan Zuhairi dalam buku tersebut. Atau guru Lua nun di pedalaman Lembata yang dipercaya sebagai ketua panitia pembangunan Masjid Asyamat Luki, sekalipun ia penganut Katolik.
Ansel Deri
peresensi adalah wartawan dan penulis lepas,
tinggal di Jakarta
Judul Buku : Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme
Pengarang : Zuhairi Misrawi
Pengantar : KH Abdurrahman Wahid dan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : FITRA
Terbit : Desember 2007
Tebal : 530 halaman
Harga : Rp. 100.000,00
Sumber: Koran Jakarta, 10 November 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger