Mantan wartawan, penyuka sastra dan Wakil Bupati Flores Timur
Tatkala membaca tulisan Gusty Fahik di harian ini (PK, 17/12/2008) bertajuk "Membangkitkan Sastra NTT (Kado Prematur Buat NTT di Usia Emasnya)", saya teringat Laurens Olanama. Pesan yang dikumandangkan Gusty Fahik, dalam nada yang sama pernah disampaikan Olanama dalam sebuah artikelnya awal tahun ini, di sebuah media lokal.
Kala itu Olanama menulis tentang sahabatnya, Eskoda, yang meninggalkan tembok biara demi panggilannya memperisterikan sastra dan idealisme membumikan sastra di Flores. Eskoda mati muda sebelum impiannya terwujud. Pada akhir tulisannya, Olanama menulis, "Kini setelah empat tahun kematiannya, tak ada tanda kebangkitan (sastra Flores) yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan meninggalnya seorang Eskoda!"
Siapa Eskoda? Hanya orang-orang dekat mengenalnya sebagai penyair muda dengan segudang idealisme. Saya harus membongkar koleksi Seri Buku VOX akhir tahun 1990-an untuk mencari tahu siapa sesungguhnya Eskoda. Dalam VOX Seri 43/4/1999 saya menemukan Eskoda adalah nama media Siprianus Koda Hokeng. Juga puisinya: Doa Sang Prajurit (Buat Para Pahlawan Reformasi). Hanya satu puisi yang ditemukan. Tapi puisi sepanjang sepuluh bait itu menunjukkan secara tegas kualitas kepenyairan Eskoda. Jempolan!
Gaya menulisnya mirip sang idola, Chairil Anwar. Demikian pun garis hidup. Dia juga 'binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang.' Chairil memilih menjadi binatang jalang dan terbuang dari keluarga inti di Sumatera setelah menolak ajakan sang ayah pulang ke Medan. Selain karena kecewa dengan ayah yang mengkhianati sang ibunda dengan menikah lagi, Chairil sedang mabuk asmara dengan seorang gadis Betawi. (Puisi 'AKU' yang kesohor itu ditulis dalam suasana bathin seperti ini, sehingga 'AKU' juga bisa dibaca sebagai perlawanan Chairil terhadap ayahnya). Eskoda menampik ajakan teman untuk tetap bertahan di jalan imamat. Ia mantap memilih jalan sunyi, menyusuri lorong kata-kata demi membumikan sastra di Nusa Nipa. Keduanya pun mati muda. Chairil dirongrong TBC, Eskoda mati dalam kecelakaan lalulintas.
Tapi, sekali lagi, siapakah Eskoda dalam pentas sastra Nusantara? Apakah publik secara luas mengenalnya sebagai penyair muda penuh bakat? Mungkin hanya para frater Ledalero zaman itu! Demikian pun sejumlah nama yang saya temukan dalam Seri Buku VOX seperti Laurens Olanama, Stef Tupeng Witin, Paschal Semaun, Polce Hokeng, dan Rafael Gawi Lonek. Puisi-puisi mereka bernas, penuh daya pukau dan berbobot. Tapi karya-karya mereka tak pernah terbaca di atas cakrawala sastra Indonesia nan maha luas karena hanya dikonsumsi komunitas lokal.
Ketika berada di Jakarta awal Desember silam, saya bertemu sahabat lama. Ia penyuka sastra, piawai menulis puisi dan cerpen. Kini wartawan Kompas. Kala membaca beberapa puisi saya (yang terekam di handphone), dia sontak bertanya: mengapa tidak dikirim ke Kompas? Saya hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sudah dimuat di Pos Kupang. Dia terdiam sesaat sebelum melanjutkan dengan kalimat tandas, tanpa basa-basi, "Jika ingin dikenal dalam dunia sastra Indonesia, harus berani keluar NTT, diekspos di media nasional. NTT terlalu jauh dari Jakarta, Pos Kupang terlalu kecil untuk Indonesia."
Hemat saya, di sinilah inti soal yang mencuatkan kekhawatiran Gusty Fahik akan tiadanya sastrawan NTT yang mencatatkan namanya dalam belantara sastra Indonesia. Sastra NTT tidak pernah mati. Ia terus hidup dan menggeliat. Karenanya kata 'membangkitkan' rasanya kurang pas. Yang perlu dilakukan sekarang adalah 'mengenalkan'. Caranya dengan membuka ruang lebih luas agar karya-karya sastra NTT bisa menjadi konsumsi nasional.
Nama-nama seperti Umbu Landu Paranggi, Dami N Toda, Gerson Poyk, dan Yulius Siyaranamual adalah sastrawan-sastrawan NTT yang pada zamannya berkarya langsung di pusaran sastra Indonesia di Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta (baca: Jawa). Mereka mempublikasikan karya-karya mereka di media nasional, aktif dalam forum-forum sastra nasional bersama sastrawan Nusantara lainnya, serta menerbitkan antologi puisi, cerpen ataupun novel karya mereka. Tambahan lagi, selalu ada upaya saling membesarkan di antara para sastrawan.
John Dami Mukese tidak mengalami kehidupan sebagaimana para seniornya. Dia hidup dan berkarya di balik tembok biara. Tapi karyanya dikenal luas karena sering mempublikasikannya di media massa nasional. Puisi-puisinya dari Filipina pernah menghiasi halaman Kompas. Dia juga menerbitkan sejumlah antologi puisi. Karenanya dikenal luas. Maria Mathildis Banda pun demikian. Nama yang cukup dihormati kalangan sastrawan muda Bali ini pun tidak pernah berada di pusat sumbu kehidupan sastra Indonesia. Dia berkembang sebagai sastrawan ketika belajar di Fakultas Sastra Unud Denpasar. Namanya dikenal luas karena rajin mempublikasikan dan menerbitkan novel-novelnya, terakhir novel Surat Dari Dili hangat dibicarakan.
Tak ada lagikah sastrawan muda NTT pasca nama-nama di atas? Viktus Murin dan Mezra Pellandou di awal 1990-an pernah menjuarai lomba menulis puisi antarmahasiswa Indonesia. Mezra Pellandou masih terus berkarya. Sejumlah cerpennya masih menghiasi halaman media nasional di Jakarta, termasuk Jurnal Cerpen Indonesia. Cerpennya, Manusia-manusia Jendela meraih juara pertama Lomba Menulis Cerpen Indonesia bagi Guru Sastra se-lndonesia. Namanya tercatat sebagai pengurus Komunitas Cerpen Indonesia (satu-satunya dari NTT). Terakhir dia juga mulai menerbitkan novel-novelnya. Loge, misalnya, novel berlatar belakang bumi Merapu, Sumba.
Di manakah Viktus Murin? Setelah terjun ke dunia politik nyaris tidak terdengar lagi kiprahnya di dunia sastra. Nasibnya sama dengan sejumlah nama yang ditemukan dalam Seri Buku VOX. Mereka punya potensi besar menjadi penyair. Namun setelah tenggelam dalam kesibukan kerja sehari-hari, tidak lagi berkarya kreatif. Kalaupun masih menulis, jarang mempublikasikannya. Atau, hanya lewat media-media komunitas sehingga tak pernah dikenal luas. Saya yakin, masih banyak nama lain yang tenggelam sebelum berkembang. Mereka 'mati muda' di dunia sastra. Kenyataan ini dikeluhkan sastrawan senior NTT, Felycianus Sanga. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Undana Kupang ini mengeluh karena banyak mahasiswa yang pernah dibimbing tidak lagi bergelut dengan sastra setelah tamat. Padahal mereka punya potensi luar biasa.
Setelah generasi Mezra, kini muncul sejumlah sastrawan muda. Mereka 'berani' menerbitkan antologi puisi. Misalnya Bara Pattyradja, Jefta Atapeni, Charlemen Djahadael, dan Abdul M Djou. Dalam usia belum genap seperempat abad, mereka sudah rajin mengikuti pertemuan-pertemuan sastrawan tingkat nasional. Terakhir Oktober silam, berempat hadir dalam forum Temu Penyair di Lembang, Bandung.
Dari forum tersebut, puisi-puisi Abdul M Djou dan Charlemen Djahadael bergandeng dengan karya penyair besar semacam Izbedy Setiawan ZS, Inggit Putria Marga, Ahmadun Yosi Herfanda, Dian Hartati, Dorothea Rosa Herliany, Dina Oktaviani, Iman Budhi Santosa, Sindhu Putra dan lain-lain dalam antologi bersama Tangga Menuju Langit. Sedangkan nama Bara Pattyradja dan Jefta Atapeni juga bersanding bersama sastrawan besar semacam Beni Setia, Arip Senjaya, Triyanto Triwikromo dan lain-lain dalam antologi cerpen bersama Sebelum Meledak.
Demikianlah. Sastra NTT tetap hidup dan menggeliat. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran sampai di Jakarta karena hidup ibarat katak dalam tempurung. Yang perlu dilakukan adalah 'mengenalkan' karya-karya sastra NTT. Ini tugas bersama. Baik sastrawan, media massa dan lembaga penerbitan, serta uluran tangan pemerintah daerah.
Kala itu Olanama menulis tentang sahabatnya, Eskoda, yang meninggalkan tembok biara demi panggilannya memperisterikan sastra dan idealisme membumikan sastra di Flores. Eskoda mati muda sebelum impiannya terwujud. Pada akhir tulisannya, Olanama menulis, "Kini setelah empat tahun kematiannya, tak ada tanda kebangkitan (sastra Flores) yang berarti. Seperti ingatan yang kabur tentang kapan meninggalnya seorang Eskoda!"
Siapa Eskoda? Hanya orang-orang dekat mengenalnya sebagai penyair muda dengan segudang idealisme. Saya harus membongkar koleksi Seri Buku VOX akhir tahun 1990-an untuk mencari tahu siapa sesungguhnya Eskoda. Dalam VOX Seri 43/4/1999 saya menemukan Eskoda adalah nama media Siprianus Koda Hokeng. Juga puisinya: Doa Sang Prajurit (Buat Para Pahlawan Reformasi). Hanya satu puisi yang ditemukan. Tapi puisi sepanjang sepuluh bait itu menunjukkan secara tegas kualitas kepenyairan Eskoda. Jempolan!
Gaya menulisnya mirip sang idola, Chairil Anwar. Demikian pun garis hidup. Dia juga 'binatang jalang, dari kumpulan yang terbuang.' Chairil memilih menjadi binatang jalang dan terbuang dari keluarga inti di Sumatera setelah menolak ajakan sang ayah pulang ke Medan. Selain karena kecewa dengan ayah yang mengkhianati sang ibunda dengan menikah lagi, Chairil sedang mabuk asmara dengan seorang gadis Betawi. (Puisi 'AKU' yang kesohor itu ditulis dalam suasana bathin seperti ini, sehingga 'AKU' juga bisa dibaca sebagai perlawanan Chairil terhadap ayahnya). Eskoda menampik ajakan teman untuk tetap bertahan di jalan imamat. Ia mantap memilih jalan sunyi, menyusuri lorong kata-kata demi membumikan sastra di Nusa Nipa. Keduanya pun mati muda. Chairil dirongrong TBC, Eskoda mati dalam kecelakaan lalulintas.
Tapi, sekali lagi, siapakah Eskoda dalam pentas sastra Nusantara? Apakah publik secara luas mengenalnya sebagai penyair muda penuh bakat? Mungkin hanya para frater Ledalero zaman itu! Demikian pun sejumlah nama yang saya temukan dalam Seri Buku VOX seperti Laurens Olanama, Stef Tupeng Witin, Paschal Semaun, Polce Hokeng, dan Rafael Gawi Lonek. Puisi-puisi mereka bernas, penuh daya pukau dan berbobot. Tapi karya-karya mereka tak pernah terbaca di atas cakrawala sastra Indonesia nan maha luas karena hanya dikonsumsi komunitas lokal.
Ketika berada di Jakarta awal Desember silam, saya bertemu sahabat lama. Ia penyuka sastra, piawai menulis puisi dan cerpen. Kini wartawan Kompas. Kala membaca beberapa puisi saya (yang terekam di handphone), dia sontak bertanya: mengapa tidak dikirim ke Kompas? Saya hanya tersenyum dan mengatakan bahwa sudah dimuat di Pos Kupang. Dia terdiam sesaat sebelum melanjutkan dengan kalimat tandas, tanpa basa-basi, "Jika ingin dikenal dalam dunia sastra Indonesia, harus berani keluar NTT, diekspos di media nasional. NTT terlalu jauh dari Jakarta, Pos Kupang terlalu kecil untuk Indonesia."
Hemat saya, di sinilah inti soal yang mencuatkan kekhawatiran Gusty Fahik akan tiadanya sastrawan NTT yang mencatatkan namanya dalam belantara sastra Indonesia. Sastra NTT tidak pernah mati. Ia terus hidup dan menggeliat. Karenanya kata 'membangkitkan' rasanya kurang pas. Yang perlu dilakukan sekarang adalah 'mengenalkan'. Caranya dengan membuka ruang lebih luas agar karya-karya sastra NTT bisa menjadi konsumsi nasional.
Nama-nama seperti Umbu Landu Paranggi, Dami N Toda, Gerson Poyk, dan Yulius Siyaranamual adalah sastrawan-sastrawan NTT yang pada zamannya berkarya langsung di pusaran sastra Indonesia di Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta (baca: Jawa). Mereka mempublikasikan karya-karya mereka di media nasional, aktif dalam forum-forum sastra nasional bersama sastrawan Nusantara lainnya, serta menerbitkan antologi puisi, cerpen ataupun novel karya mereka. Tambahan lagi, selalu ada upaya saling membesarkan di antara para sastrawan.
John Dami Mukese tidak mengalami kehidupan sebagaimana para seniornya. Dia hidup dan berkarya di balik tembok biara. Tapi karyanya dikenal luas karena sering mempublikasikannya di media massa nasional. Puisi-puisinya dari Filipina pernah menghiasi halaman Kompas. Dia juga menerbitkan sejumlah antologi puisi. Karenanya dikenal luas. Maria Mathildis Banda pun demikian. Nama yang cukup dihormati kalangan sastrawan muda Bali ini pun tidak pernah berada di pusat sumbu kehidupan sastra Indonesia. Dia berkembang sebagai sastrawan ketika belajar di Fakultas Sastra Unud Denpasar. Namanya dikenal luas karena rajin mempublikasikan dan menerbitkan novel-novelnya, terakhir novel Surat Dari Dili hangat dibicarakan.
Tak ada lagikah sastrawan muda NTT pasca nama-nama di atas? Viktus Murin dan Mezra Pellandou di awal 1990-an pernah menjuarai lomba menulis puisi antarmahasiswa Indonesia. Mezra Pellandou masih terus berkarya. Sejumlah cerpennya masih menghiasi halaman media nasional di Jakarta, termasuk Jurnal Cerpen Indonesia. Cerpennya, Manusia-manusia Jendela meraih juara pertama Lomba Menulis Cerpen Indonesia bagi Guru Sastra se-lndonesia. Namanya tercatat sebagai pengurus Komunitas Cerpen Indonesia (satu-satunya dari NTT). Terakhir dia juga mulai menerbitkan novel-novelnya. Loge, misalnya, novel berlatar belakang bumi Merapu, Sumba.
Di manakah Viktus Murin? Setelah terjun ke dunia politik nyaris tidak terdengar lagi kiprahnya di dunia sastra. Nasibnya sama dengan sejumlah nama yang ditemukan dalam Seri Buku VOX. Mereka punya potensi besar menjadi penyair. Namun setelah tenggelam dalam kesibukan kerja sehari-hari, tidak lagi berkarya kreatif. Kalaupun masih menulis, jarang mempublikasikannya. Atau, hanya lewat media-media komunitas sehingga tak pernah dikenal luas. Saya yakin, masih banyak nama lain yang tenggelam sebelum berkembang. Mereka 'mati muda' di dunia sastra. Kenyataan ini dikeluhkan sastrawan senior NTT, Felycianus Sanga. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Undana Kupang ini mengeluh karena banyak mahasiswa yang pernah dibimbing tidak lagi bergelut dengan sastra setelah tamat. Padahal mereka punya potensi luar biasa.
Setelah generasi Mezra, kini muncul sejumlah sastrawan muda. Mereka 'berani' menerbitkan antologi puisi. Misalnya Bara Pattyradja, Jefta Atapeni, Charlemen Djahadael, dan Abdul M Djou. Dalam usia belum genap seperempat abad, mereka sudah rajin mengikuti pertemuan-pertemuan sastrawan tingkat nasional. Terakhir Oktober silam, berempat hadir dalam forum Temu Penyair di Lembang, Bandung.
Dari forum tersebut, puisi-puisi Abdul M Djou dan Charlemen Djahadael bergandeng dengan karya penyair besar semacam Izbedy Setiawan ZS, Inggit Putria Marga, Ahmadun Yosi Herfanda, Dian Hartati, Dorothea Rosa Herliany, Dina Oktaviani, Iman Budhi Santosa, Sindhu Putra dan lain-lain dalam antologi bersama Tangga Menuju Langit. Sedangkan nama Bara Pattyradja dan Jefta Atapeni juga bersanding bersama sastrawan besar semacam Beni Setia, Arip Senjaya, Triyanto Triwikromo dan lain-lain dalam antologi cerpen bersama Sebelum Meledak.
Demikianlah. Sastra NTT tetap hidup dan menggeliat. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran sampai di Jakarta karena hidup ibarat katak dalam tempurung. Yang perlu dilakukan adalah 'mengenalkan' karya-karya sastra NTT. Ini tugas bersama. Baik sastrawan, media massa dan lembaga penerbitan, serta uluran tangan pemerintah daerah.
Sumber: Pos Kupang, 6 Januari 2009
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!