Headlines News :
Home » » Selamat Datang Personalisasi Politik

Selamat Datang Personalisasi Politik

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, July 14, 2009 | 6:52 PM

Oleh A Rahman Tolleng
pemerhati politik, tinggal di Jakarta

Dalam suatu diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, Abdillah Toha, seorang eksponen PAN, mengungkapkan kerisauannya terhadap munculnya sebuah fenomena dalam sistem kepartaian di Indonesia, yaitu apa yang disebutnya sebagai "figurisasi" politik. PAN, katanya, lebih dikenal sebagai partai-nya Amien Rais, PKB partai-nya Gus Dur, dan PDIP partai-nya Megawati. Ada cukup alasan, tentu saja, untuk mengkhawatirkan perkembangan itu. Tapi suatu hal yang pasti: personalisasi politik, begitu lebih tepat menyebutnya, secara tak terelakkan, telah hadir di sekitar kita.

Personalisasi politik sebenarnya bukanlah barang baru bagi demokrasi. Pada tingkat dunia, kita pernah mengenal Winston Churchill dari Inggris dan Charles de Gaulle dari Prancis. Mereka adalah pribadi besar yang mencuat dari kancah Perang Dunia II. Personalisasi politik yang mereka peragakan di negeri masing-masing bersifat khusus atau partikularistik, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor sejarah dan dapat dipertalikan dengan ketiga tokoh partai yang ditunjuk eksponen PAN tadi.

Memang benar bahwa Amien Rais, berbeda dengan kedua figur lain, sama sekali tidak menyandang nama besar orang tua. Meskipun demikian, ketiganya punya persamaan dalam konteks Indonesia sekarang. Ketiganya adalah tokoh penting yang berhasil keluar, setidak-tidaknya di mata publik, sebagai pahlawan Reformasi 1998. Ketiganya juga merupakan personifikasi konfigurasi politik aliran di Indonesia. Amien Rais mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Gus Dur mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama, dan Megawati Ketua Umum PDIP yang sukar dilepaskan dari subkultur priayi dan abangan.

Singkat kata, personalisasi politik yang berkaitan dengan ketiga figur itu sebagian besar merupakan produk sejarah dan sekaligus produk sistem kepartaian yang masih sarat dengan dimensi aliran. Kehadiran personalisasi politik seperti ini adalah soal biasa, temporer, dan niscaya tidak akan berdampak besar atas demokrasi. Tapi, terlepas dari fenomena khusus itu, pada tingkat tertentu, kita kini menyaksikan pula timbulnya kecenderungan personalisasi politik jenis lain, yaitu yang lebih universal. Jenis persona-lisasi ini adalah hasil dari bekerjanya dua faktor baru, secara terpisah atau bersama-sama, dalam kehidupan politik kita. Pertama, sebagai konsekuensi dari bentuk pemerintahan presidensial (murni) yang telah dipilih, dan kedua, sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi yang kini juga sudah merambat di Tanah Air.

Dari awal perlu dicatat, dan hal ini tampaknya kurang disadari oleh para penganjur presidensialisme di Indonesia, bahwa personalisasi politik merupakan sifat intrinsik presidensialisme. Hakikat pemilihan presiden adalah memilih seorang pribadi, seorang tokoh. Karena itu, kampanye pemilihan beralih dari party centered menjadi candidate centered. Adalah betul bahwa presidensialisme di Indonesia mensyaratkan bahwa seorang calon harus diajukan oleh partai atau gabungan partai, tapi persyaratan tadi tidak mengubah hakikat pemilihan seorang presiden yang berorientasi kandidat dan bukan partai.

Kecenderungan itu juga bertalian erat dengan kedudukan seorang presiden yang memiliki kepemimpinan yang personalized. Pemerintahan presidensial pada dasarnya bersifat tunggal-yang berbeda dengan sistem parlementer, yang bersifat kolektif dan bergantung pada suatu mayoritas dalam parlemen. Seorang perdana menteri dalam parlementarisme yang umum adalah seorang primus inter pares-orang pertama di antara rekan-rekan sesama. Seorang presiden dalam presidensialisme adalah primus solus, orang pertama yang berada di atas rekan-rekan tidak sesama. Sekali terpilih, ia punya legitimasi sendiri, dan kemenangannya tak terbagi, sesuai dengan prinsip "sang pemenang mengambil semua".

Personalisasi politik produk presidensialisme ini mulai terlihat di Indonesia sekarang dengan tampilnya sejumlah tokoh bukan aktivis partai yang menghampiri atau dihampiri partai untuk dicalonkan. Konvensi partai untuk nominasi calon presiden yang diperkenalkan Golkar-meniru gaya AS, tapi tanpa primary yang melibatkan anggota-semakin memperkuat proses personalisasi itu. Tokoh bukan partisan ini, dari segi dukungan dalam prakonvensi, sebagian malah menduduki urutan di atas sang Ketua Umum, yaitu Aburizal Bakri, Surya Paloh, dan Wiranto. Juga cukup mencengangkan, munculnya Susilo Bambang Yudhoyono-belakangan dicalonkan oleh sebuah partai baru-yang berhasil meraih peringkat atas, melampaui posisi Megawati dalam sementara polling pendapat umum.

Semua perkara itu berhasil tampil boleh dikatakan berkat upaya nominasi diri sendiri. Mereka maju tidak disponsori oleh partai, tapi hasil dari promosi diri sendiri, bersandar pada sumber dana sendiri, dibantu oleh geng sendiri, dan mungkin tidak ketinggalan mengontrak konsultan kampanye dan tenaga-tenaga profesional lain bagi diri mereka sendiri. Orang yang masih berpegang pada paradigma kepartaian lama barangkali merasa aneh dan berkata, "Lo, bukankah mereka itu bukan orang politik!" Sinisme seperti ini tentu tidak relevan. Bukan karena adanya kenyataan bahwa sekarang orang politik juga terbukti tidak becus memerintah. Dalam presidensialisme, berpengalaman atau tidak, setiap orang yang berambisi dan mampu memobilisasi dana besar-jangan tanyakan asal-usul dana atau hitam-putihnya cukong-cukong yang memasok dana-dapat punya akses pencalonan pemilihan presiden.

Harus diakui, personalisasi politik kini bukan lagi monopoli presidensialisme. Secara terpisah, kemajuan teknologi komunikasi, yaitu televisi, polling pendapat umum, dan Internet, telah muncul sebagai faktor baru yang berdampak bagi munculnya personalisasi politik. Secara khusus, sejak 1970-an, jangkauan siaran televisi yang meningkat secara dramatis telah merevolusionasikan kampanye pemilihan dalam demokrasi di seluruh belahan dunia. Melalui siaran televisi, para pemimpin dapat setiap saat menampilkan diri di hadapan publik, dan sebaliknya publik dapat dengan cepat menerima informasi dan mengenal sang pemimpin. Maka fokus kampanye pun beralih dari partai ke tokoh-tokoh. Penggunaan televisi yang dikombinasikan dengan data polling juga lebih lanjut mempengaruhi isi dan tema kampanye. Kepribadian tokoh dan style yang mereka tampilkan lebih penting daripada membeberkan program kebijakan partai. Liputan televisi lalu difokuskan pada suatu latar yang secara visual memikat dan sang tokoh berbicara dengan statemen-statemen singkat dan mudah diingat. Sebuah kemasan show yang mementingkan kulit dari isi.

Penerapan televisi dalam politik ini, yang oleh Giovanni Sartori disebut videopolitics, juga melanda parlementarisme. Bagaikan dua sisi satu mata uang, di dalam demokrasi-demokrasi ini di Barat, personalisasi dibarengi suatu gejala lain, yaitu partai semakin kehilangan partisan. Tapi, bagaimanapun, dalam parlementarisme, tidak semua orang dapat dengan seenaknya mencalonkan diri sebagai perdana menteri. Yang bisa tampil hanyalah mereka yang punya partai dan punya pengalaman politik memimpin partai, kalau bukan telah memiliki pengalaman pemerintahan sebelumnya. Jangan dilupakan: dalam sistem parlementer, yang dipilih tetap partai atau orang partai untuk duduk dalam parlemen dan mayoritas parlemen inilah kelak yang menentukan perdana menteri.

Lain halnya sistem presidensialisme. Di sini, yang dipilih adalah presiden langsung, sehingga coba bayangkan jika kemenangan ditentukan oleh permainan videopolitics itu: penampilan menarik dengan potongan-potongan suara sang calon hasil karya spesialis-spesialis dan konsultan kampanye. Dengan tema-tema kampanye yang populis dan dirancang berdasarkan data polling, mereka dapat saja memukau para pemilih. Maka, di tengah-tengah suatu sistem multipartai yang rapuh, videopolitics menurut Sartori dapat dengan mudah menempatkan diletan-diletan politik-orang-orang yang (secara mendadak) gemar politik, tapi sesungguhnya tidak tahu apa-apa tentang politik. Di Amerika Latin, sangat terkenal kasus Alberto Fujimori di Peru (1990) dan Fernando Collor de Mello di Brasil (1989), dua amatir politik, yang tiba-tiba suara perolehannya melejit dalam pemilihan ronde kedua, meskipun partai masing-masing merupakan minoritas di lembaga legislatif. Jadi, videopolitics praktis telah menggandakan sisi buruk presidensialisme.

Indonesia kini telah mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial. Maka kita pun harus terbiasa dengan salah satu sifat bawaannya: personalisasi politik. Kehadirannya dalam pemilihan 2004 boleh jadi masih akan banyak diwarnai-berjalan seiring atau justru bersaing-dengan pola-pola tradisional yang kuat melekat dalam sistem politik, khususnya dalam sistem kepartaian. Tapi personalisasi politik tak dapat tiada. Partai-partai politik, jika masih ingin berperan secara berarti, perlu menanggapi perkembangan baru ini, dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dan sejauh mungkin mengikis segi-segi negatif personalisasi politik itu.
Sumber: Tempo, 24 November 2003
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger