Lewoleba, 2009. Suasana malam masih terasa, langit masih gelap, ketika aku meninggalkan rumah menuju Bandara El-Tari Kupang. Ini adalah awal perjalananku ke Pulau Lembata, ‘Surga terakhir di Ujung Timur NTT’.
Bukannya untuk menghindari rutinitas kerja di kota seramai Kupang, sehingga Aku putuskan untuk melakukan field supervision di Pulau Lembata nun jauh di sana. Tapi memang sudah jadwalnya untuk kesana. Teman-teman disana sangat mengharapkan adanya dukungan teknis.
Sejak 15 Oktber 1999 Lembata merupakan kabupaten sendiri, memisahkan diri dari Kabupaten Flores Timur sebagai kabupaten induk. Disahkan melalui UU Nomor 52/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata. Inilah aspirasi warga Lembata yang muncul sejak 1954.
Kabupaten Lembata adalah kabupaten yang terus menggeliat untuk memajukan diri dengan populasi pada tahun 2004 sekitar 98.114 jiwa. Posisi kabupaten ini diapit oleh dua kabupaten, yaitu wilayah Kabupaten Flores Timur di sebalah Barat dan Kabupaten Alor di sebelah Timur, sedangkan sebelah selatan Laut Sawu dan utara dibatasi oleh Laut Flores.
Saat ini ada 8 kecamatan, yakni Bayusari, Omesuri, Lebatukan, Ile Ape, Nubatukan, Atadei, Nagawatun dan Wulandoni, dengan luas wilayah 126.638 hektar. Wah jadi nulis geogarfi nich…..eit stop dulu ach.. infonya.
Eksotisme Lembata
Walaupun seperti kebanyakan daerah di NTT, Lembata tergolong daerah kering dan gersang. Ini juga didukung oleh satu budaya sistem perladangan tebas-bakar dan berpindah-pindah, ditambah kejadian kebakaran yang melanda sepanjang musim kemarau.
Meski begitu, pertanian adalah tumpuan ekonomi warga. Pada 2000, misalnya, dari nilai total kegiatan ekonomi setara dengan Rp 88,7 miliar, pertanian menyumbang hingga 64 persen.
Produksi hasil pertanian belum mencukupi pemenuhan kebutuhan lokal. Sementara jambu mete dan kelapa berkontribusi hingga Rp 5 miliar. Bersama sektor peternakan dan perikanan, juga kerajinan tenun ikat akan menjadi tulang punggung perekonomian Lembata.
Ada eksotisme yang potensi wisata yang belum digarap maksimal. Berburu paus di Lamalera tepatnya di perairan Laut Sawu yang membentang di sepanjang pantai selatan Pulau Lembata. Potensi pantai yang cukup indah, dan wisata laut lainnya. Potensi tambang emas yang menurut infonya mempunyai kadar yang cukup tinggi, namun tidak bisa diekploitasi dikarenakan kendala relokasi penduduk dan penolakan masyarakat lokal
Bagaimana mencapai
Walaupun ada beberapa alternatif untuk bisa menginjakkan kaki di Pulau Lembata, namun saat ini belum sebanyak pilihan dan tidak segampang mencapai kabupaten lain yang ada di Pulau Flores.
Hal yang paling penting adalah harus terlebih dahulu mengatahui skedul penerbangan ke sana bila mau langsung ke Pulau Lembata. Untuk mengetahui info ini bisa melalui internet atau kontak langsung ke Perwakilan Merpati Air Line atau Travel Agent terdekat. Karena satu-satunya “air line” yang melayani rute Kupang–Lembata hanya Merpati Air Line dengan skedul hari Selasa (1 kali perminggu), langsung pergi pulang di hari yang sama.
Dari Kupang jam 09.00 Wita , untuk rute ini perjalanan dapat ditempuh hanya ± 45 menit. Setelah bongkar muat beberapa saat kemudian pesawat tersebut kembali lagi ke Kupang. Jangan membayangkan naek Boing 747, tapi Twin Otter-lah dengan baling-baling yang suaranya merdulah yang ada.
Bagi Anda yang suka berpetualang dengan perjalanan laut beserta alunan ombaknya, bisa menumpang Kapal Feri dari Pelabuhan Bolok Kupang menuju Pulau Lembata, dapat ditempuh selama ± 8–12 jam dengan ongkos Rp 80.000.
Ada lagi alternatif perjalanan yang lebih komplet, seperti yang Aku pilih kali ini, karena ke Lembata tidak bertepatan dengan skedul Merpati. Dari Kupang naek pesawat Merpati ke Maumere, berangkat jam 6.00 WITA waktu tempuh ± 45 menit.
Setelah selesai mengambil bagasi, perjalanan dilanjutkan dengan carter taksi rute Maumare–Larantuka dengan biaya Rp 450.000,- tergantung kepiawaian bernegosiasi. Atau kalau mau irit lagi bisa naik bus reguler dengan ongkos yang lumayan murah. Umumnya pengertian taxi di sini adalah mobil-mobil minibus (Kijang, Panther atau sejenisnya) yang disewakan dan masih berplat hitam.
Dengan moda tranportasi ini perjalanan ditempuh selama 4 jam sampai ke Larantuka. Perjalanan maseh dilanjutkan dengan bus laut. Istilah penduduk lokal untuk menyebut perahu motor (boat kayu) yang melayani rute Larantuka–Lembata, cukup merogoh kocek Rp 30.000 dengan waktu tempuh ± 4 jam sampailah di ‘Surga Terakhir di Ujung Timur NTT’ ini.
Pada malam pertama di Lembata, saya menginap di sebuah hotel sederhana: Hotel Puri. Hotel ini terletak di salah satu sudut Kota Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Walaupun masih sederhana tapi terasa ”the realy lodging” tempat benar-benar untuk beristirahat, tanpa kebisingan.
Bila tidak ada jemputan, untuk mencapai penginapan ini Anda bisa naek ojek dari pelabuhan Lewoleba, cukup dengan membayar Rp 5000 saja. Sampai saat ini belum ada taksi khusus di kota kecil ini.
Sulitnya transportasi untuk masuk dan keluar dari pulau ini tidak akan menjadi kendala berarti, bila tujuannya untuk menangkan diri dan jauh dari hingar-bingar kota di Pulau Lembata-lah tempatnya.
Sumber: www.agoesman120.wordpress.com
Ket foto: Bandara Internasional El Tari Kupang, NTT yang diabadikan pada 11 Juli 2010 (gbr 1). Dua anak nelayan Lamalera berdiri di atas Pledang 'Badha Gole Ile' saat pledang merapat di Dermaga Lewoleba pada 2 April 2010 (gbr 2). Keluarga besar Tapoona di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Lembata (gbr 3) dan anak-anak kecil di Dusun Kluang, Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Lembata. Foto-foto: dok. Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!