Seorang putra Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) Thomas Ataladjar diam-diam ternyata sangat paham dengan dinamika kota Jakarta yang dulu bernama Batavia.
Thomas, akhirnya menuangkan pengetahuan dan pengalamannya itu dalam buku berjudul Toko Merah, Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
“Buku itu sudah lama terbit namun sangat menarik sehingga kerap menjadi rujukan bagi wartawan nasional maupun internasional dalam menyelami dan menulis sisi lain sejarah Jakarta tempo dulu. Buku saya itu juga dipajang di gedung-gedung bersejarah di kota Jakarta,” ujar Thomas Ataladjar di rumahnya, Perumahan Bojong Gede, Depok, Jawa Barat belum lama ini.
Judul buku tersebut, terinspirasi oleh Toko Merah yang merupakan salah satu bangunan tua bersejarah. Usianya 300 tahun lebih. Toko Merah, kata gubernur DKI (1996-1997) Ali Sadikin (almahrum) juga merupakan salah satu dari 216 monumen cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta.
“Toko Merah merupakan satu-satunya bekas rumah tinggal elit dari zaman VOC, yang paling utuh dan paling terawat serta terus mempertahankan keasliannya hingga kini. Sebagai salah satu bangunan cagar budaya, bangunan Toko Merah perlu terus dijaga kelestariannya,” ujar Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin.
Sukses menulis buku tersebut bertolak dari pengalamannya menjadi wartawan di sejumlah surat kabar dan majalah terbitan Jakarta. Juga pengalamannya sebagai karyawan di sejumlah kantor swasta di Jakarta.
Thomas pun melirik bangunan Toko Merah untuk menelusuri sisi lain sejarah Jakarta. Bangunan Toko Merah, diceritakan Thomas, berada di kawasan Kota Batavia Lama, Jalan Kali Besar Barat Nomor 11 Jakarta. Baik Thomas maupun Ali Sadikin berpendapat, Toko Merah merupakan salah satu bangunan tua bersejarah dan cagar budaya yang perlu terus dilindungi, dilestarikan, dan dipromosikan.
Hal ini penting karena merupakan aset sejarah budaya dan aset wisata sejarah Jakarta yang bisa mendatangkan nilai ekonomis yang tinggi bila dikelola secara profesional. Tak ayal, masyarakat penghuni kota diingatkan agar jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Menurut Thomas, ada dua hal mendasar ia menulis sejarah Jakarta dengan starting point bangunan Toko Merah. Pertama, sebagai karyawan PT Dharma Niaga yang bertahun-tahun berkantor di bangunan ini teramat sering ia melihat wisatawan asing, mahasiswa, dan wartawan yang mengunjungi gedung ini.
Namun, tak satupun karyawan kantor perusahaan itu yang dapat memberikan keterangan sedikitpun tentang bangunan itu kepada mereka. Kebanyakan karyawan bahkan tidak tahu kalau kantor tempatnya bekerja merupakan sebuah bangunan bersejarah. Katanya bangunan bersejarah, tapi tak ada yang tahu di mana letak kesejarahannya.
Apalagi kisah dan riwayat para penghuninya serta aspek arsitekturnya. Inilah yang merupakan awal pemacu inner-drive Thomas untuk mencoba mencari tahu perihal riwayat kesejarahan gedung ini.
Kedua, setelah membaca buku Historical Sites for Jakarta karya Adolf Heuken, Thomas mulai menemukan sebuah titik terang paling tidak sebagai pijakan awal untuk memulai pelacakan. Keterangan yang diberikan mengenai Toko Merah dalam buku karya seorang imam Katolik dari Serikat Jesuit yang banyak menulis tentang sejarah Kota Jakarta itu pun sangat sedikit.
Dalam bukunya, Thomas mengemukakan bahwa warga Jakarta, khususnya suku Betawi, mungkin tak banyak yang belum tahu sejarah gedung Museum Pusat di Jl Merdeka Barat No. 12 Jakarta atau lebih beken dengan sebutan Gedung Jodoh.
Setelah dirampungkan pembangunan fisiknya pada 1868, gedung ini menjadi tempat mangkal muda mudi Betawi. Kehadiran mereka bukan untuk menontong arca gajah perunggu hadia raja Thailand yang dipajang di halaman depan gedung. Bukan pula menyaksikan ratusan arca bisu di gedung itu. Kehadiran noni-noni Betawi juga bukan sekadar mejeng tetapi mereka berharap bisa dilirik para lelaki yang ngetem di sana.
Bowo, seorang tenaga satpam Toko Merah punya sebuah kisah unik saat berjaga malam di gedung itu. Kisanya, menjelang maghrib semua pintu dan jendela di kantor ini (Toko Merah-pen) telah mereka tutup dan kunci rapat-rapat. Semua ruangan di dalam bangunan ini telah mereka tutup rapat-rapat.
“Gagang pintu itu kutarik. Sialan, terkunci dari dalam. Siapa di dalam?’ Ada suara perempuan merintih,” lanjut Bowo. Satpam itu menyiapkan pentungan. Apa yang ia lakukan? Benarkan para soldadu Kompeni melakukan perkosaan?
Thomas juga menyuguhkan kisah unik yang menyertai perjalanan waktu Toko Merah. Menurutnya, pada masa Kolonial Belanda, ada budak Timor yang pernah menjadi pekerja kantoran. Setelah meninggal, hantu-hantu budak Timor pun bergentayangan di bangunan Toko Merah.
“Kulitnya hitam manis dan rambutnya ikal. Profil wajah pria asal daerah Timor, yang banyak saya kenal di Jakarta. Saya berusaha senyum dan hendak menyapanya, tapi lidah saya kelu,” cerita Isaac Ririmasse, seorang karyawan PT Dharma Niaga yang diwawancarai Thomas Ataladjar.
Menurut Prof Dr Adrian B Lapian, buku karya putra Lembata ini membawa pembaca kepada suatu jaman yang masih mengenal perbudakan. Di samping gambaran tentang pemilik gedung yang banyak berperan dalam panggung sejarah kolonial, di samping tokoh-tokoh sejarah yang termasuk high society di Batavia, kita dapat membayangkan penghuni-penghuni lainnya yang berstatus budak yang berasal berbagai penjuru nusantara, India, Sri Langka, Taiwan bahkan Afrika.
“Pendeskripsian dengan gaya jurnalistik yang ringan namun mendalam membuat buku karya Thomas sangat penting digunakan bagi siapa saja yang mau mengetahu lebih banyak dan mendalam tentang Jakarta tempo doeloe. Dengan demikian dapat memperkaya khasanah penghetahuan tentang Jakarta,” katanya.
Ansel Deri
Ke foto: Thomas B Ataladjar (gbr 1), putra Lembata penulis buku Toko Merah yang melukiskan sisi lain sejarah Jakarta tempo dulu dan (gbr 2) buku Toko Merah karyanya.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!