Headlines News :
Home » » Nenek-nenek Ikut Rekoleksi Bersama

Nenek-nenek Ikut Rekoleksi Bersama

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, November 03, 2009 | 1:07 PM

Sebanyak seratus lebih umat, Minggu (14/12) mengadakan rekoleksi bersama di Gereja Paroki Santu Joseph Boto, Keuskupan Larantuka, NTT, Minggu, (14/12). Sebelum rekoleksi, umat mengikuti Misa yang dipimpin Pastor Paroki Boto Romo Piet Dua Maing, Pr.

Misa yang dimulai pukul 08.00 WITA, diikuti umat stasi Boto dan stasi-stasi sekitarnya seperti Stasi Liwulagang, Atawai, Puor, dan Lamalewar. Usai Misa dilanjutkan dengan rekoleksi bersama ibu-ibu anggota Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Mater Dolorosa Lewoleba, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka, NTT.

Juga para anggota Konfreria Santa Maria (KSM), Santa Ana, Orang Muda Katolik (OMK), dan umat Paroki Boto. Tak ketinggalan beberapa umat yang sudah sepuh alias nenek-nenek dan kakek-kakek di stasi Boto. Kakek-kakek dan nenek-nenek ini ingin sharing bersama peserta lainnya dalam kehidupan iman. Rekoleksi dipimpin Romo Piet Dua Maing, Pr.

Menurut Romo Dua Maing, Pr, anggota WKRI dan umat hendaknya bergiat seperti Yohanes Pembaptis yang berseru tentang pertobatan, terutama kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Seruan itu mestinya dimulai dari lingkup yang terkecil yaitu keluarga, kelompok basis grejani (KBG), lingkungan, dan masyarakat.

“Saya mengimbau agar anggota WKRI bersuara aktif sesuai visi-misi organisasi untuk ikut membangun gereja dan bangsa,” kata Pastor Dua Maing, Pr di hadapan kurang lebih 110 peserta yang berasal dari Lewoleba dan Boto.

Bentuk WKRI

Pada kesempatan itu, peserta yang kebanyakan umat stasi Boto mengharapkan agar WKRI bisa dibentuk di desa stasi dan paroki sehingga menjadi wadah bagi kaum wanita berdiskusi dan melakukan kegiatan-kegiatan produktif bagi keluarga dan gereja.

Umat stasi Boto juga sangat tertarik dengan desa dan tempat-tempat wisata setempat yang memiliki daya tarik tersendiri. Tempat menarik itu antara lain obyek wisata Waikating desa Desa Belabaja dan Labalimut atau kampung Liwulagang, Desa Ile Boli yang berada di lereng Gunung Ile Boli. Juga air terjun Lodofavo yang sudah mulai diminati wisatawan asing karena memiliki ketinggian kurang lebih 50 meter.

“Ada peserta yang mengusulkan agar Liwulagang difoto kemudian dibuat kalender untuk dibagikan kepada umat. Kampung itu sangat unik karena masyarakatnya hidup sederhana dan tetap mempertahankan kekhasan desanya. Atau juga obyek wisata air panas Waikating yang tak jauh dari Boto,” ujar Ketua WKRI Mater Dolorosa Lewoleba, Ny Agnes Patty Klobor.

Masalah lain yang terungkap dalam rekoleksi itu yakni hadirnya rumah-rumah bordir yang dijadikan tempat prostitusi di kampung Pada, tak jauh Lewoleba, kota Kabupaten Lembata. Masalah hadirnya “rumah-rumah merah” di Pada dan café di sekitar Pantai SGB (Sekolah Guru Bawah) Bungsu di kota Lewoleba yang ditengarai ada praktek prostitusi, dikemukakan Kristo Boli Labaona dari OMK Paroki Boto.

“Penyakit sosial ini tentu juga menjadi perhatian bersama, terutama WKRI yang merupakan bagian tak terpisahkan dari gereja dan masyarakat. Keberadaan lokalisasi WTS di Lembata itu sudah bukan rahasia lagi sehingga perlu dipikirkan bersama agar Lembata tetap menjadi pulau tempat persemaian benih panggilan imam, biarawan-biarawati, suster, dan bruder bagi dunia,” ujar Kristo Boli Labaona.

Menurut pendamping WKRI Mater Dolorosa, Mien Diaz, kehadiran rumah bordir tempat praktek prostitusi illegal di Pada merupakan penyakit sosial. Wanita malam yang melayani nafsu lelaki hidung belang berasal dari Pulau Jawa dan Makassar. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian semua pihak.

“WKRI Cabang Lembata dan organisasi ranting sudah bekerja sama dengan dinas dan instansi terkait seperti Dinas Kesehatan dan BKKBN melakukan penyuluhan bahaya HIV/AIDS, kesehatan reproduksi, dan kesehatan, dan keselamatan kerja (K-3) untuk para penghuni rumah bordir,” kata Mien Diaz, anggota seksi Kesejahteraan WKRI Cabang Lembata.

Alhasil, berkat usaha dan kerja keras mereka, satu rumah bordir berhasil ditutup. Selain itu, mereka juga meminta agar rumah-rumah bordir lain harus ditutup. Para wanita penjaja cinta itu harus dipulangkan ke daerah asalnya atau diberikan pekerjaan lain guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Ulang Tahun

Menurut Ny Agnes Klobor, Misa dan rekoleksi bersama WKRI Mater Dolorosa diadakan dalam rangka ulang tahun ke-2 tanggal 3 Oktober dan Pesta Maria tak Bernoda tanggal 8 Desember. Anggota WKRI Mater Dolorosa menempuh jarak 25 kilo meter menuju Boto di wilayah selatan Pulau Lembata. Jalanan yang becek dan menguji nyali tak menyurutkan niat berekoleksi bersama umat Paroki Boto dan stasi-stasi lainnya.

“Seharusnya rekoleksi bersama sekaligus peringatan ulang tahun 3 Oktober lalu. Tapi, karena berbagai pertimbangan dan kendala yang kami hadapi maka rekoleksi bersama sekaligus ulang tahun baru terlaksana di Boto,” kata Ny Agnes Klobor, bidan yang hampir 20 tahun lebih bertugas di RS St Carolus Jakarta.

Seorang peserta, Andreas Ua Assan, merasa bangga bisa mengikuti rekoleksi untuk berbagi cerita dan sharing dalam rangka meningkatkan kualitas hidup agar makin baik dan berarti di hadapan Tuhan. Umat di paroki aktif dalam kegiatan hidup menggereja dan sosial kemasyarakatan. Misalnya, aktif dalam koor atau doa bersama di KBG masing-masing.

“Rekoleksi ini membantu kita untuk menyadari diri bahwa kehidupan iman mulai tumbuh dari setiap pribadi, keluarga, KBG, stasi, dan paroki. Kita harus aktif mengambil bagian dalam kegiatan seperti ini agar nama Tuhan dimuliakan,” kata Andreas, yang sudah berstatus kakek-kakek.

Wakil Ketua Dewan Stasi Boto Frans Pati de Ona merasa bangga dengan inisiatif WKRI Mater Dolorosa mengadakan rekoleksi bersama umat di stasi Boto dan stasi-stasi lainnya. Ia mengharapkan agar kegiatan seperti ini menjadi agenda rutin.

“Kita tahu, umat sangat merindukan kebersamaan terutama dalam kegiatan-kegiatan kerohanian seperti ini. Saya sebagai pengurus stasi berterima kasih kepada ibu-ibu yang sudah jauh-jauh datang dari kota untuk Misa dan sharing bersama,” kata Frans, yang juga guru SD di Boto. (Ansel Deri)
Ket foto: Guru-guru SMP dan SMA Notre Dame selama empat hari menjalani “gladi rohani” atau lebih dikenal dengan retret bertema Berlayar Bersama (gbr 1). Tak hanya orang muda, nenek-nenek di Paroki St Joseph Boto pun tak kalah seru mengikuti retret. Ketua WKRI Mater Dolorosa Lewoleba Agnes Patty Klobor (gbr 2). Foto: dok. www.notredamehighxjktxid.wordpress.com & dok. Ansel Deri
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger