Headlines News :
Home » » Franciscus Xaverius Seda: "Hukum, Demokrasi dan Moral Penguasa Masih Lemah"

Franciscus Xaverius Seda: "Hukum, Demokrasi dan Moral Penguasa Masih Lemah"

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, January 06, 2010 | 11:30 AM

Franciscus Xaverius Seda (70), lelaki kelahiran Maumere, Flores, mantan Menteri Keuangan di awal pemerintahan Orde Baru, mengaku tidak pesimis walaupun banyak penyimpangan terjadi setelah 51 tahun Indonesia merdeka.

Mantan Ketua Umum Partai Katolik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri empat kali ini menegaskan bahwa negara tidak akan hancur karena penyelewengan penguasanya.

"Tetapi negara akan tidak punya masa depan kalau rakyatnya pesimis, " kata lulusan fakultas ekonomi dari sebuah Universitas Katolik di Tilburg, Belanda ini. Untuk itulah Frans Seda meluncurkan buku yang berjudul Moral dan Kekuasaan bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke 70. "Untuk memberi informasi pada generasi yang sekarang," kata ayah dari dua orang anak perempuan, Ery dan Nessa.

Melihat jam terbang Frans Seda di dalam sistem politik Orde Lama dan Orde Baru, memang sangat layak bagi lelaki yang mencintai laut itu mengungkapkan uneg-uneg-nya tentang republik ini. Berikut wawancaranya dengan Bina Bektiati dari TEMPO Interaktif di kantornya, Kamis, 17 Oktober 1996.

Bagaimana pandangan Anda tentang Indonesia setelah 51 tahun proklamasi kemerdekaan?
Kalau kita lihat kondisi umum, kita masih tetap merdeka dan berdaulat. Malahan dalam 51 tahun kita sudah mengalami pertumbuhan politik dan ekonomi. Kedua-duanya melalui proses pergolakan yang besar. Satu hal yang harus kita sadari bahwa apa-apa yang dicapai oleh Indonesia itu selalu melalui proses pergolakan. Itu salah satu ciri khas bangsa kita setelah proklamasi kemerdekaan.

Tetapi itu gambaran secara umum. Seperti seorang peladang yang berdiri memandang kebunnya, dilihat padinya subur dan menguning. Tetapi kita bukan sekedar sebagai pengamat, kita juga pelaku. Sehingga sebagai pelaku, kita tidak saja melihat padi yang menguning tetapi juga rumput liar yang tumbuh di sela-selanya, ada duri-duri dan ada pagar yang roboh ditabrak rusa.

Sehingga untuk menilai 51 tahun Indonesia, tergantung tolok ukur yang kita pakai. Mengacu pada proklamasi, ada tiga tolok ukur yang jelas. Pertama, dorongan kita memproklamasikan kemerdekaan adalah untuk mencapai peri hidup kebangsaan yang bebas. Bukan saja terbebas dari penjajah tetapi juga dari ketakutan, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan tekanan kekuasaan.

Kalau kebebasan menjadi salah satu tolok ukur, maka kita bisa menilai apa yang kita capai setelah 51 tahun merdeka. Apakah kita sudah memiliki kebebasan. Ternyata belum semua kebebasan hidup bangsa yang merdeka dapat kita nikmati. Malah sekarang ini banyak ketakutan bermunculan dalam masyarakat.

Kedua, setelah kita memproklamasikan kemerdekaan, lalu membentuk suatu negara. Negara macam apa yang kita proklamasikan? Pertama, negara kebangsaan yang ber-Pancasila, kedua negara republik yang berkedaulatan rakyat, dan ketiga negara kesatuan yang berotonomi daerah. Apakah kita sudah dapat memenuhi tiga bentuk negara yang kita proklamirkan? Bagaimana dengan negara kebangsaan yang berdasarkan Pancasila? Gejala yang nampak, kita sudah mulai dikotak-kotakkan lagi. Pancasila itu kan seharusnya menggambarkan pluralisme, tetapi sekarang malah dicari dasar untuk meng-uniform-kan.

Kedua, negara republik yang berkedaulatan rakyat. Nah, sekarang yang terjadi malah seperti monarki. Dalah kedaulatan rakyat, yang menjadi pilar adalah demokrasi. Sementara kita selama 51 tahun malah tidak tahu bagaimana menangani demokrasi. Kita telah bereksperimen dengan bermacam-macam demokrasi.

Dalam masa demokrasi terpimpin, Bung Karno menegarakan semuanya, apakah itu sektor ekonomi, kehidupan sosial, demokrasi dinegarakan, dan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan negara. Situasi diperburuk dengan hidupnya PKI yang merangkul Bung Karno, dan Bung Karno pun merangkul PKI.

Lalu timbul Orde Baru yang mengkoreksi Orde Lama. Ada tiga ciri Orde Baru. Pertama, pengganyangan pada PKI; kedua, demokrasi dan ketiga, pembangunan ekonomi. Tetapi sekarang yang terjadi adalah Orde Baru hanya berisi pembangunan ekonomi dan ganyang PKI. Justru yang terpenting dalam Orde Baru adalah demokrasi. Kembalikan demokrasi pada rakyat. Kan pada masa demokrasi terpimpin, demokarsi di negarakan, maka sekarang harus dikembalikan kepada rakyat.

Seharusnya Orde Baru berkewajiban mengembalikan kedaulatan yang telah diserahkan pada negara pada masa Demokrasi Terpimpin. Tetapi sampai saat ini belum kembali kepada rakyat dan kita tidak tahu sampai kapan prosesnya selesai.

Tapi bukankah sudah ada elemen pembentuk demokrasi?
Kalau dikatakan bahwa kita sudah melakukan pemilu, sudah ada DPR, itu sekedar formalitas demokrasi saja. Tetapi kita tidak berhenti di formalitas, tetapi harus ke substansinya. Supaya hak dan kewajiban rakyat bisa berlangsung secara demokratis.

Bagaimana dengan otonomi daerah?
Bentuk negara kita menurut proklamasi adalah negara persatuan yang berdasarkan pada otonomi daerah. Tetapi yang terjadi justru semua kekuasaan masih berada di pusat. Kesenjangan antara pusat dan daerah terjadi karena memang kekuasaan ekonomi dan politik masih sangat terpusat.

Memang ada otonomi daerah, tetapi saya menyebutnya sebagai UU buldozer. Karena UU tersebut justru membuldozer keberagaman masing-masing daerah. Pemerintah Orde Baru justru membuldozer keunikan dan kebhinekaan tersebut. Padahal pengertian otonomi menurut UUD 1945 adalah hak daerah dan masyarakatnya untuk mengembangkan dirinya sendiri, sesuai dengan kondisi daerah tersebut dan aspirasi rakyatnya. Jadi otonomi itu bukan pengertian pemerintahan, tetapi lebih ke hak masyarakat.

Tolok ukur ketiga sesuai dengan cita-cita proklamasi adalah menyusun satu pemerintahan yang mengatasi semua golongan dan seluruh tumpah darah. Pemerintahan itulah yang dimaksudkan oleh UUD 45. Kalau kebangsaan kita adalah kebangsaan pluralisme, maka pemerintah bukan mematikan semua golongan atau menyamaratakan semua golongan, tetapi mengatasi dan menjamin kesatuan seluruh nusantara. Membentuk pemerintahan yang mengatasi semua golongan itu merupakan sesuatu yang serius. Bukan pemerintahan yang condong pada satu golongan. Itu melanggar konstitusi.

Jadi mengapa ada penyimpangan dan kesalahan? Semua berkait dengan penyelenggaraan kekuasaan negara. Kekuasaan negara itu dibatasi oleh tiga tiang, yaitu hukum, demokrasi dan moral. Sedangkan di negara kita sistem hukumnya lemah, sistem demokrasinya juga lemah, moralnya juga lemah. Tiga kelemahan inilah yang menyebabkan penyelenggaraan kekuasaan tidak berjalan dengan semestinya.

Lalu, apa pengertian moral Pancasila menurut Anda?
Bung Hatta membagi Pancasila sebagai dasar negara menjadi dua, yaitu dasar moral: Ketuhanan Yang Mahaesa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Serta dasar politik, yaitu demokrasi, persatuan dan keadilan. Kemanusiaan yang adil dan beradab yang dirumuskan 51 tahun yang lalu, sekarang ini wujudnya adalah hak azasi manusia, yang mendudukkan manusia sebagai manusia. Sementara kejadian-kejadian yang belakangan ini justru membuat kita sering malu, dimana pejabat-pejabat Indonesia dengan seenaknya melanggar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Orde Baru dikatakan sebagai orde koreksi, tetapi kenapa hukum, demokrasi dan moral penyelenggara kekuasaan lemah?
Kuncinya adalah orang-orang yang masih memiliki pikiran baik untuk negara ini jangan berpikir pesimis. Kalau penguasa menyalahgunakan kekuasaan, negara tidak akan hancur. Tetapi negara tidak punya masa depan kalau rakyatnya pesimis.

Koreksi itu memang harus secara terus menerus dilancarkan. Untuk itu sekarang kan banyak pernyataan-pernyataan hati nurani. Ini satu gejala. Karena orang sudah tidak punya lagi mekanisme untuk mengadakan koreksi. Kita punya dua partai dan golongan karya, tetapi mereka lebih banyak mempersoalkan dirinya sendiri daripada kepentingan rakyat. Semua orang kembali ke hati nuraninya, karena itulah satu-satunya yang masih bisa dipercaya.

Bagaimana dengan kritik terhadap penguasa yang tidak menghargai etika politik di sini?
Saya tidak mau menilai etika pribadi orang, tetapi lebih ke etika penguasa dalam menyelenggarakan kekuasaan. Misalnya saya sebagai menteri keuangan, etika kekuasaan saya adalah uang tidak boleh bocor, terutama ke saku sendiri dan mengelola keuangan negara untuk kepentingan rakyat banyak.

Itu gejala lemahnya moral dalam menyelenggarakan kekuasaan negara. Saya tidak mau menanggapi orang yang dimaksudkan. Tetapi kecenderungan penguasa sekarang ini, tujuan menghalalkan segala cara. Ini pelanggaran etika yang paling fundamental. Penguasa berusaha membenarkannya dengan segala cara dan lebih parah lagi, rakyat digiring untuk membenarkannya.

Bagaimana dengan upaya pemerintah untuk menstrukturkan ketakutan seperti melemparkan tuduhan PKI?
Tentang tuduhan PKI itu kan sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari tujuan Orde Baru, yaitu ganyang PKI. Setiap orang yang duduk dalam pemerintahan Orde Baru memang bertugas untuk menyingkirkan PKI. Tetapi hal tersebut bisa juga disalahgunakan, sehingga tuduhan-tuduhan berkesan berlebihan.

Memang kita harus selalu waspada. Karena banyak kesalahan yang dilakukan oleh para penguasa yang dapat memungkinkan hidup kembalinya PKI. Saya memang setuju untuk waspada, tetapi sekarang ini kewaspadaan hanya ditujukan pada rang lain, sementara pemerintah sendiri sepertinya ingin cuci tangan. Sedangkan sering orang bereaksi seperti PKI dulu karena pemerintah yang membuat kesalahan, seperti melanggengkan kesenjangan sosial.

Jadi PKI itu bukan terbatas pada organisasinya, anggaran dasarnya, atau manifestonya, tetapi juga sikap. Nah, sikap seperti PKI itu bukan pada orang-orang yang dituduh itu, tetapi banyak pejabat Orde Baru yang memiliki sikap mirip dengan PKI, yaitu sikap mau benar sendiri, menuduh, menimbulkan kecurigaan, menghasut, rekayasa untuk menjebak orang. Maling menuduh maling. Hal itu juga harus dikikis.

Orde Baru mengutamakan permbangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang mensyaratkan stabilitas politik. Apakah itu masih relevan untuk kondisi sekarang?
Sebenarnya hal itu masih relevan, karena dengan adanya pertumbuhan itu kita meningkatkan kesempatan untuk menjadi makmur. Tetapi yang kurang dewasa ini bukan lajunya pertumbuhan, tetapi tidak adanya kesejajaran dengan pemerataan.

Penyebab tidak terlaksananya pemerataan adalah, pertama, pengangguran yang semakin membesar. Jadi pertumbuhan ekonomi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan tenaga kerja. Karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi dilakukan dengan cara-cara monopoli, oligopoli, kartel, korupsi, dan kolusi.

Kalau syarat stabilitas politik demi pertumbuhan ekonomi itu batasnya sampai dimana?
Stabilitas politik lebih banyak terkait dengan demokratisasi. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia, juga tidak berjalan dengan peningkatan demokrasi. Salah satu pengganjal tumbuhnya demokrasi itu adalah stabilitas politik yang disyaratkan itu. Konsentrasi kekuasaan itu juga yang menghalangi pemerataan dan demokrasi. Pertumbuhan antara ekonomi dan politik yang timpang sering saya analogkan dengan kaki dan sepatu, dimana kaki ekonomi sudah menjadi besar, sementara sepatu politiknya masih sama ukurannya. Yang terjadi adalah kakinya kesakitan.

Bagaimana menurut Anda menilai Widjojonomics dan Habibienomics?
Sebenarnya baik Widjojo maupun Habibie sudah membantah ada aliran semacam itu. Memang nampaknya orang Indonesia suka dengan label, seperti Mafia Berkeley.

Yang terjadi sebenarnya, Widjojo dalam 25 tahun ini memang merupakan tokoh pembangunan ekonomi Indonesia. Dia bersama enam orang lainnya termasuk saya, mendapat tugas dari Pak Harto untuk merancang pembangunan ekonomi. Targetnya adalah kita harus keluar dari kesulitan ekonomi Orde Lama. Dan ternyata ternyata berhasil. Pembangunan berencana berdasar prioritas dan diberlakukannya kembali mekanisme pasar.

Widjojonomics mulai dari suatu situasi ekonomi yang semrawut dan bangkrut. Sedangkan sekarang kan lain, negara sudah kaya. Sekarang ini justru bagaimana mengamankan kekayaan negara supaya tidak masuk ke kekayaan pribadi. Sekarang ini kuenya sudah besar.

Jadi masalah yang dihadapi berbeda. Disinilah orang sering keliru dalam menilai Widjojonomics dan Habibienomics ini. Kalau dahulu kami lebih menekankan untuk menyelamatkan negara dari bangkrut, mengembalikan disiplin penyelenggara kekuasaan negara dan mengembalikan kepercayaan rakyat melalui ekonomi pasar serta mengembalikan kepercayaan luar negeri.

Widjojo menekankan pembangunan pada sektor pertanian dan industri di sekitarnya, serta mengandalkan sumber daya alam. Sekarang masalahnya adalah menangani kekayaan negara. Yang sesuai dengan dinamika sekarang adalah pengembangan sumber daya manusia, bukan bagaimana mengembangkan sumber daya alam. Yang terjadi adalah perubahan eksentuasi pembangunan. Dalam perubahan aksentuasi tersebut, kalau dulu yang berperan Widjojo, sekarang Habibie.

Karena yang dititikberatkan adalah sumber daya manusia maka penguasaan teknologi menjadi penting, terutama untuk bersaing di dunia internasional. Jadi nilai lebih dari sebuah negara, terletak pada teknologi dan sumberdaya manusianya. Disitulah letak aksennya.

Saya setuju sekali dengan perubahan itu. Yang penting, pengguna teknologi apapun, harus dibatasi oleh dua norma. Pertama, harus tetap mengabdi pada kepentingan rakyat dan kedua, harus tetap terikat pada hukum ekonomi. Teknologi memang dibutuhkan, tetapi jangan at the all cost (mempertaruhkan segalanya, red).

Sejarah telah mengajar kita, ketika di masa Bung Karno itu memprioritaskan politik, yang memang diperlukan pada masa itu, tetapi at the all cost. Inilah yang menyebabkan kacau balau. Jaman sekarang teknologi memang penting, tetapi jangan semata-mata semuanya untuk teknologi.

Kita harus memberi kesempatan dari masing-masing yang berkuasa untuk memunculkan idenya masing-masing. Widjojo sudah lewat waktunya dan sudah bisa dinilai. Sekarang ini kan belum bisa dinilai. Habibie punya kesempatan untuk membuktikan. Tetapi sebagai orang yang lebih tua harus memberikan rambu-rambunya, yaitu harus diperhitungkan ongkos ekonomi dan sosialnya.

Tentang konstelasi politik. Mengapa ada label Islam, Kristen dan Katolik untuk memilah-milah kelompok politik tertentu. Gejala apakah ini?
Itu menunjukkan bahwa dengan segala kemajuan yang kita capai, rakyat masih merasa belum pasti. Rasa tidak pasti, rasa takut yang masih mendekam di hati rakyat mendorong mereka lari ke primodialisme. Nah, satu-satunya primodialisme yang masih bisa mengikat adalah agama. Karena disadari bahwa ikatan suku sudah tidak terlalu kuat. Dari segala kemajuan yang ada, rakyat Indonesia masih merasa tidak pasti, hari ini, apalagi hari depan.

Tetapi selain lari ke primodialisme, rasa tidak aman mendorong orang untuk mencurigai orang lain. Ini yang terjadi sekarang. Apalagi sepertinya ada orang yang ingin mendayagunakan menjadi kekuatan politik.

Seperti yang dilakukan ICMI?
Analisa mereka keliru. Mengapa selama ini seolah-olah ada suatu gerakan yang sengaja meng-Kristenkan dan menyingkirkan orang Islam. Selama saya berpengalaman di republik ini, belum pernah mendapati yang demikian. Selama bertahun-tahun saya berkuasa, belum pernah saya merasakan adanya kecenderungan itu apalagi ada dorongan kesana. Yang mengangkat saya jadi menteri itu kan Soekarno dan Soeharto. Saya tidak pernah melamar jadi menteri. Saya jelaskan ke Bung Karno bahwa saya adalah Ketua Partai Katolik yang oposisi.

Jadi kalau ada thesis bahwa ada kesengajaan di masa lalu untuk menyingkirkan umat Islam, itu adalah hal yang keliru. Saya bisa mengerti bahwa orang ingin naik pentas dengan jalan pintas, tetapi jangan melalui mayat orang lain dong. Benny Moerdani juga dituduh semacam itu. Tetapi Benny bertindak itu kan karena dia seorang jenderal bukan karena dia Katolik.

Sumber: TEMPO edisi No. 34 tanggal 01 -19 Oktober 1996
Ket foto: almahrum Frans Seda (gbr 1) dan bersama Kwik Kian Gie dan Megawati Soekarnoputri.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger