Peneliti
Senior
SEGERA setelah
keluar dari penjara yang dijalani selama 27 tahun di Capetown, Mandela
berseru untuk menenangkan para pendukungnya, "Saya berdiri di depan Anda,
penuh kebanggaan dan sukacita. Kami telah bebas."
Sebelum beranjak pergi dari tempat ditahan, Mandela
telah mengampuni sipir penjara yang memperlakukannya secara tidak manusiawi.
Tak hanya itu, ia telah mengampuni rezim yang telah memenjarakannya sekian
lama. Baginya, keluar dari penjara tanpa pengampunan di hati berarti belum
keluar dari penjara.
Banyak hal
yang diteladani dari Mandela, selain dia adalah pemakai kain
batik yang bersemangat sehingga mempromosikan batik kepada dunia. Warisan
terpenting Mandela bagi Indonesia adalah keberhasilan untuk melakukan
rekonsiliasi nasional yang menjadi fokus di awal pemerintahannya.
Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses
pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan dalam rangka menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk terciptanya perdamaian dan
persatuan bangsa. Bersama Uskup Agung Desmond Tutu, upayanya untuk rekonsiliasi
suku dan ras di Afrika Selatan dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(TRC) untuk menangani kejahatan apartheid berhasil dengan gemilang.
Politik apartheid amat melukai bangsa Afrika Selatan.
Mandela berhasil mengatasi sikap permusuhan, dendam kesumat, saling tidak
percaya, dan curiga dengan sikap pengampunan karena saling percaya pada
kebenaran. Kalau dalam alam pikiran Jawa, Mandela memiliki keyakinan pada filosofi, "Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti", yang berarti
"Segala ilmu kedigdayaan serta kejahatan akan lenyap berhadapan dengan
kebenaran (atau kasih sayang)".
Rekonsiliasi Indonesia
Keyakinan itu menimbulkan kekuatan moral sehingga
mampu membongkar sistem apartheid tanpa pertumpahan darah sebagai ekses pembalasan
dendam oleh korban sistem itu. Pengorbanan diri yang besar selama di penjara
puluhan tahun menunjukkan keyakinan dan keberaniannya untuk membangun negerinya
berdasarkan dialog dan rekonsiliasi. Bagi Mandela, perjuangan mengakhiri
apartheid bukan monopoli dirinya, melainkan kontribusi banyak orang.
Indonesia juga memiliki banyak luka dalam proses perjalanannya.
Luka masih mendera dan menimbulkan sekat-sekat atau pemisah (apart) yang
mengganggu kesatuan dan persatuan sebagai bangsa yang amat majemuk, baik etnik, budaya, suku maupun golongan. Jika
dibiarkan, luka-luka itu dapat menggerus sikap saling percaya, saling menerima,
saling bersatu antarsuku, antaragama, dan antargolongan yang sejatinya
merupakan kesatuan bangsa. Peristiwa G30 S tahun 1965, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa
Trisakti, Semanggi I-II, penculikan para aktivis, dan pembunuhan Munir melukai persatuan
dan kesatuan bangsa.
Niat bangsa ini untuk menyembuhkan luka-luka itu dengan
UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi belum membuahkan hasil. Langkah komisi itu kandas karena Mahkamah
Konstitusi membatalkan UU itu. Sudah saatnya pemerintah membuat kembali atau
memperbaiki kembali dengan fokus pada keadilan
korban dan siapa saja sehingga pelanggaran dan konflik keras pada masa lalu itu
dapat diungkapkan dan diselesaikan dengan rekonsiliasi.
Keadilan
dapat disebut sebagai roh pemersatu yang menyatukan seluruh elemen
bangsa ini. Akan tetapi, seperti Mandela, rekonsiliasi itu bukan monopoli satu orang
atau satu golongan, melainkan proyek bersama anak bangsa. Pasti bukan langkah
yang mudah, melainkan harus ada keberanian untuk mulai. Bukankah kita juga
percaya: Suradira jayaning rat lebur dening pangastuti?
Sumber:
Kompas, 13 Desember 2013

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!