Headlines News :
Home » » Ironi Pembangunan Papua

Ironi Pembangunan Papua

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, February 06, 2010 | 1:49 PM

Memprihatinkan. Setelah sekian lama arus investasi dan modal mengalir di Papua, ternyata kehadiran itu tidak berbanding lurus dengan pesatnya peningkatan kesejahteraan warganya, terutama masyarakat asli Papua. Yang lebih menyedihkan, sebagian dari mereka justru tersingkir dan menjadi penonton, bahkan korban.

Jika menilik Kajian Ekonomi Regional Triwulan II Tahun 2009 yang dilakukan Bank Indonesia di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, kinerja ekonomi makro dan mikro di kedua wilayah tersebut dinilai cenderung membaik. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua mencapai angka mendekati 4 persen dan Provinsi Papua Barat mendekati 6 persen.

Salah satu penopang kinerja makroekonomi itu adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah yang cenderung meningkat. Hal itu memang terbukti, misalnya jalan dan jembatan banyak dibangun di wilayah pedalaman, puskesmas baru banyak didirikan di distrik-distrik, demikian juga gedung-gedung sekolah.

Di perkotaan, ruko banyak dibangun meski belum semua penuh terisi. Geliat sektor jasa pun turut berderak dengan didirikannya banyak hotel baru. Semua itu menunjukkan aktivitas belanja infrastruktur yang gencar di kedua provinsi tersebut.

Selain itu, kinerja industri pertambangan—khususnya di Papua—menyumbang hingga 60 persen lebih produk domestik regional bruto Provinsi Papua yang mencapai Rp 18,94 triliun (data Badan Pusat Statistik Papua, 2009). Untuk Provinsi Papua Barat diperkirakan pada masa mendatang laju pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat seiring dimulainya pengapalan gas alam cair dari lapangan Tangguh di Bintuni.

Juli tahun lalu sebanyak 136.000 meter kubik gas alam cair telah dikirim ke Korea Selatan dan itu menandai cikal bakal lahirnya industri strategis di wilayah Indonesia bagian timur. Kehadirannya diharapkan mampu memberikan efek domino bagi kinerja perekonomian di wilayah tersebut. Tahun ini, dua provinsi itu akan mengelola total lebih dari Rp 31 triliun dana yang berasal dari APBN.

Capaian itu tentu tidak mengherankan. Apalagi di Papua, PT Freeport Indonesia memang memberikan kontribusi ekonomi luar biasa. Juru bicara PT Freeport Indonesia, Mindo Pangaribuan, mengatakan, nilai investasi perusahaan tambang itu mencapai 6 miliar dollar AS lebih.

Tercatat, kontribusi ekonomi tahun 2008 mencapai angka 1,2 miliar dollar AS, yang terdiri dari pembayaran pajak, royalti, dan dividen. Total sejak penandatanganan kontrak karya kedua pada tahun 1992, kontribusi ekonomi perusahaan tersebut kepada Pemerintah Indonesia mencapai lebih dari 8 miliar dollar AS.

Itu belum termasuk manfaat langsung yang dinikmati lebih dari 12.000 karyawan lokal di Timika atau mencapai 20.000 karyawan jika ditambah dengan karyawan dari perusahaan subkontrak yang bekerja di PT Freeport Indonesia.

Di Provinsi Papua Barat, kehadiran British Petroleum di Tangguh dengan nilai investasi mencapai 5 miliar dollar AS dan menyerap 10.000 tenaga kerja juga dinilai akan mampu menggerakkan efek domino terhadap kinerja ekonomi lokal.

Miskin

Namun, di tengah membaiknya kinerja ekonomi itu dan derasnya arus investasi di Papua dan Papua Barat, data Badan Pusat Statistik Provinsi Papua tahun 2009 menunjukkan, hingga Maret 2009 tercatat jumlah penduduk Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 760.000 lebih atau setara dengan 37,53 persen total jumlah penduduk Papua.

Jumlah itu meningkat lebih dari 27.000 jiwa jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2008 yang mencapai 733.000 orang lebih. Meskipun dalam empat tahun terakhir data Survei Sosial Ekonomi Sosial menunjukkan penurunan, persentase penduduk miskin di Papua masih dalam kisaran 30 hingga 40 persen. Tidak hanya itu, indeks pembangunan manusia di Papua pun berada di urutan ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia.

”Arus investasi, modal, dan pembangunan di Papua belum sepenuhnya mengangkat taraf hidup masyarakat Papua. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka justru makin miskin karena kehilangan aset penopang hidup, yaitu hutan,” kata Lindon Pangkali dari Forum Kerja Papua yang merupakan gabungan dari sejumlah aktivis yang mengadvokasi hak-hak adat, kehutanan, dan hak asasi manusia.

Di sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit yang menerapkan sistem inti dan plasma, umumnya masyarakat asli Papua berhadapan dengan gegar budaya, terutama dalam pola bercocok tanam. Mereka yang sebelumnya hidup dalam pola meramu tiba-tiba dihadapkan pada pola bercocok tanam baru dengan orientasi industri.

Di beberapa wilayah perkebunan, seperti di Kabupaten Keerom, Papua, dan Klamono, Kabupaten Sorong, Papua, masyarakat asli perlahan-lahan tersisih dan kehilangan lahan garapan. Hal itu tak hanya melahirkan kesenjangan ekonomi dengan kelompok pendatang, tetapi juga marjinalisasi. Apalagi jika perkebunan itu dibuka tanpa plasma.

Hutan-hutan ulayat terus dibabat dan masyarakat asli kian terasing dari tanah mereka sendiri. Pokok-pokok sagu diganti dengan tunas-tunas kelapa sawit dan masyarakat menjadi buruh di tanah mereka sendiri.

Dengan rencana pemerintah pusat menjadikan Papua sebagai lahan terakhir sumber lumbung pangan Indonesia dan dunia, kepekaan terhadap masalah sosial yang mungkin timbul harus lebih tinggi. Bukan hanya dilihat sebagai lahan yang subur dan kaya, bumi Papua harus diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh antara alam dan masyarakatnya. Sebelum muncul ekses lebih jauh dan mumpung masyarakat Papua masih membuka ruang dialog, kepentingan masyarakat asli harus masuk dalam prioritas pembangunan. (B Josie Susilo Hardianto)
Sumber: Kompas, 5 Februari 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger