Headlines News :
Home » » Barter Warga Pantai dan Gunung di Wulandoni

Barter Warga Pantai dan Gunung di Wulandoni

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, May 11, 2010 | 10:49 AM

"Kami orang pantai. Pekerjaan kami menangkap ikan. Penjual padi dan jagung orang dari gunung. Setiap hari Sabtu kami bertemu di Pasar Wulandoni untuk menukar hasil usaha masing-masing.”

Kalimat itu terlontar dari mulut Nyonya Gelu Umar, warga Desa Pantai Baru di Wulandoni, Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (1/5).

Masyarakat Lembata menyebut mereka yang berdiam sekitar 3 kilometer dari pesisir pantai sebagai orang gunung. Sementara mereka yang tinggal di sepanjang pesisir disebut sebagai orang pantai.

Desa yang termasuk pesisir adalah Wulandoro, Leworaja, Atakera, Pantai Baru atau Kehi, dan Lamalera. Desa yang berada di perbukitan atau lereng gunung dan bukit adalah Puor, Uror, Lewuka, Boto, Labala, Udak, dan Posiwatu. Desa-desa itu berada di Kecamatan Wulandoni, Nagawutung, Nubatukan, dan Atadei. Mereka datang ke pasar menggunakan truk, berjalan kaki, atau naik ojek sepeda motor.

Pasar barter telah berlangsung bersamaan dengan tradisi penangkapan paus di Lamalera, sejak ratusan tahun silam. Awalnya, hanya barter daging, minyak, tulang, dan kulit paus dengan beras, jagung, singkong, ubi jalar, sayur, dan buah-buahan. Saat ini meluas ke berbagai jenis ikan dan barang-barang hasil pabrikan seperti gula pasir, beras, pakaian, dan perkakas dapur.

Wulandoni merupakan pasar barter terbesar di Lembata. Pasar ini sangat membantu masyarakat dari pesisir dan gunung yang memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.

”Pasar ini warisan nenek moyang ratusan tahun silam. Di sini, kami tidak hanya menukarkan barang hasil usaha, tetapi juga membangun persaudaraan, kerukunan antara warga pantai yang sering diidentikkan dengan warga Muslim dan orang gunung yang sering dikategorikan dengan orang Kristen,” tutur mandor Pasar Wulandoni, Markus Wuwur.

Informasi dari pantai ke gunung atau sebaliknya tersebar melalui para pengunjung pasar. Termasuk juga soal pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, pemilihan kepala desa, transportasi, lowongan kerja, pendidikan, sampai berita amoral.

Nyonya Theresia Ose (53) dari Desa Lewuka (gunung) sudah 31 tahun memiliki seorang pelanggan tetap dari Desa Kehi (Pantai Baru), Ny Halima Peni (55). Biasanya, mereka saling memesan kebutuhan untuk kegiatan pasar pekan depan.

”Kalau saya butuh ikan jenis apa atau garam ukuran berapa pun, saya pesan lewat dia. Demikian juga, kalau dia butuh beras merah, pisang, mangga, nanas, atau hasil pertanian apa saja, dia pesan kepada saya,” kata Ose.

Jika salah satu pihak tidak datang ke pasar karena sakit atau urusan lain, barang itu dititipkan kepada orang lain. Jika salah satu pihak membawa jenis barang atau ukuran tidak sesuai dengan kesepakatan, akan ditambahkan dengan jenis barang lain. Kemungkinan lain, barang masing-masing pihak dibarter dengan barang orang lain terlebih dahulu.

Peserta pasar sudah tahu takaran dan ukuran yang pas dalam sistem barter itu. Misalnya, empat bungkus kecil bumbu masak merek Ajinomoto ditukar dengan satu buah alpukat, tiga buah pisang ditukar dengan satu kotak kecil korek api, satu ekor ikan kering sebesar telapak tangan orang dewasa ditukar dengan 10 buah singkong, dan satu cangkir garam dapur ditukar dengan 10 buah pisang.

Tidak ada yang merasa rugi atau untung dalam proses barter itu. Takaran sudah diketahui hampir semua peserta pasar. Setiap jenis barang yang dibawa dari rumah sudah diketahui hasil penukaran yang bakal dibawa pulang.

Jenis barang yang dilarang masuk dalam kategori barter adalah barang hasil pabrik seperti sandal, sepatu, pakaian, perkakas dapur, rokok, dan gula pasir. Jenis barang ini harus dibeli dengan uang.

Barter dimulai setiap pukul 11.00 atau 12.00 Wita setelah mendengar bunyi peluit mandor pasar. Begitu peluit dibunyikan, peserta mulai beraksi. (Kornelis Kewa Ama /Semuel Oktora)
Sumber: Kompas, 11 Mei 2010
Ket foto: Nelayan menjemur potongan ikan pari di tepi Pantai Lamalera, Wulandoni, Lembata, Selasa (4/5). Sepotong ikan pari yang telah dikeringkan laku dijual Rp 15.000. Masyarakat nelayan Lamalera membagi ikan pari dalam tiga jenis, yakni jenis ikan pari kecil atau dalam bahasa setempat disebut mokku, ikan pari sedang (bou), dan ikan pari besar (blela). Foto: Wawan H Prabowo
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger