Imam Diosesan Keuskupan Ruteng,
Alumnus Pasca Sarjana Sosiologi UI,
Koordinator Parrhesia Institute Jakarta
Ini bukan hanya berhubungan dengan hak politik untuk memilih kepala daerah secara langsung. Lebih jauh, keterlibatan konstruktif publik untuk menyusun kerangka politik pembangunan lokal yang memiliki kinerja positif untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Kita serentak berhadapan dengan pertanyaan penting: Apakah pilkada memenuhi persyaratan mendasar ini?Alumnus Pasca Sarjana Sosiologi UI,
Koordinator Parrhesia Institute Jakarta
Ada waktu satu bulan menjelang pilkada pada sejumlah kabupaten di NTT. Ini kesempatan kedua, publik menentukan secara langsung proses politik di daerah. Rakyat menentukan pilihan politik. Patut dicatat, dalam segala kelemahan dan keterbatasan sistem dan peraturan perundangan politik untuk mewadahi proses politik ini, ini menjadi pencapaian terbaik gelombang demokrasi di Indonesia.
Terlepas dari perspektif politik pemerintahan, pilkada adalah momentum untuk memilih 'dewa' kekuasaan di daerah. Mungkin berlebihan. Namun, ini hendak menggambarkan volume kekuasaan untuk membawa perubahan signifikan di daerah. Tentu, kemiskinan perlahan tidak mengakrabi kita, jika dewa kekuasaan yang muncul selalu menggalang dukungan kepada kehidupan dan kemanusiaan. Namun, jika yang muncul dari kotak pilkada adalah dewa kekuasaan yang rakus dan haus darah, maka kesengsaraan akan terus menjalar ke mana-mana.
Selebihnya, ada persoalan penting yang seharusnya menjadi perhatian publik. Selama setahun terakhir ini muncul kegelisahan yang sangat besar berhubungan dengan kenyataan adanya korelasi negatif antara 67,4 dana APBN yang ditransfer ke daerah dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Tidak terbantahkan duit yang amat banyak belum mampu mendongkrak kesejahteraan publik. Konkretnya, kepala daerah yang dipilih dalam proses politik ini mampu memutar balik kecenderungan buruk ini. Artinya, otonomi daerah adalah tambang uang untuk daerah yang semestinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Susahnya, proses untuk memakmurkan rakyat juga harus melewati 'tender' proyek kontroversial. Pilkada menjadi simpul kontemporer untuk menjelaskan sejumlah persoalan klasik dalam ruang pembangunan lokal kita.
Mahal
Perbincangan ini berada dalam konteks fundamental dengan sebuah gugatan etis yang harus diajukan sejak awal, berhubungan antara uang dan politik! Berapa banyak uang yang diperlukan untuk membiayai sebuah proses politik. Joseph Israel Tarte, seorang penggalang dana politik Kanada pada abad lalu mengucapkan kalimat ini, "Pemilihan umum tidak dimenangkan dengan doa!" Dia mengatakan bahwa hanya uang yang mampu memenangkan perang politik. Uang yang menggerakkan politik. Uang membuat politik tetap memesona. Uang adalah energi politik!
Tarte benar. Organisasi politik dan kampanye pemilihan umum memerlukan sumber-sumber keuangan yang jelas. Uang yang banyak. Tidak boleh dalam jumlah 'pas-pasan'. Soalnya, politik membutuhkan uang. Ada tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam politik. Konco politik harus diaktivasi. Para lawan menjadi target penaklukan. Kelompok netral harus 'dirayu' untuk menjadi suporter sekaligus voter yang menguntungkan. Semuanya butuh uang!
Di sini sekali lagi benar apa yang diungkapkan pemikir politik dari Huron University College, Paul Nesbitt-Larking (2005), bahwa uang adalah 'susu ibu' dari politik! Namun, ada maksud yang tidak terbantahkan. Para pelaku politik yang 'memboroskan' belanja propaganda politik akan berusaha meraup kekuasaan yang kemudian menyediakan 'profit' ekonomi melimpah.
Namun, sesungguhnya, biaya mahal dalam proses politik tidak serta-merta mendorong setiap kandidat untuk menguras uang sekian banyak yang kemudian akan dibayar kembali dengan merampok dana pembangunan. Untuk memenangkan pertarungan politik, bukan hanya modal uang (ekonomi) yang menentukan. Seorang kandidat yang kaya raya tetapi tidak memiliki modal moralitas, juga sulit meraih dukungan politik. Seorang kandidat yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal intelektual dan jaringan sosial yang luas tentu mampu menawarkan pendekatan yang lebih segar dalam politik pembangunan lokal. Pilkada yang hanya mengandalkan 'uang' adalah pilkada setengah jadi yang menyimpan bahaya untuk masa depan demokrasi lokal.
Asimetris
Kebutuhan uang tanpa batas dalam pilkada menyebabkan proses politik menjadi tunggangan para pemilik modal. Ini yang kemudian dikenal dengan proses konglomerasi politik. Kapitalisasi kekuasaan. Para pemilik modal yang berorientasi pada keuntungan finansial melalui imbal balik pengerjaan proyek pembangunan menjadikan kekuasaan sebagai 'kuda tunggangan' meraup madu kekuasaan yang ada.
Itulah yang menyebabkan mengapa proses politik sangat ditentukan para calon yang mengawinkan banyak kekuatan ekonomi di dalamnya. Di Indonesia, ambil contoh, industri tambang sedang menjadi primadona yang menawarkan kenikmatan. Ada asumsi populer di sini. Amat mudah dukungan dan modal ekonomi mengalir dari jalur ini dalam perhelatan politik pilkada yang akan datang. Kemungkinan bisa terjadi, kekuatan politik yang memiliki afiliasi dengan kekuatan ekonomi ini akan menciptakan 'lubang-lubang' baru di pulau kecil dan sempit itu.
Asumsi ini berangkat dari sinyalemen Irma Adelman & Cyntia Taft Morris dalam buku Economic Growth & Social Equality in Developing Countries (1983) bahwa proses politik bisa menghasilkan struktur kekuasaan anti demokrasi (baca: rakyat). Yang kaya makin kaya! Lalu, yang memiliki uang akan berkuasa dan yang berkuasa akan merampok uang rakyat! Pola politik asimetris akan mencelakakan prospek demokrasi lokal di kemudian hari. Arus eksploitasi tidak bisa dihentikan karena dukungan kebijakan dari penguasa yang juga diwadahi kekuatan ekonomi korporasi.
Akal sehat
Sesungguhnya masyarakat kita sudah banyak diberitahu tentang perilaku para penguasa lokal kita. Banyak ukuran dan variabel yang dapat dipergunakan untuk menentukan pilihan politik. Publik (rakyat) mempunyai kekuatan untuk menentukan pilihan politik, yang di kemudian hari membuat masyarakat lokal bisa 'menggigit roti' kemakmuran ketimbang 'gigit jari' kekecewaan.
Publik harus mampu membangun negosiasi politik konstruktif dalam pilkada. Publik harus bisa mengadili para pemimpin yang terus memelihara keterbelakangan pendidikan di daerah. Sangat aneh membanggakan keberhasilan pembangunan infrastruktur ketika tingkat kelulusan anak-anak kita tenggelam dalam kubangan keterbelakangan. Publik harus berani meninggalkan para pemimpin yang memuluskan proses 'pelubangan' banyak tempat melalui komprador dan mesin tambang masif. Para akademisi dan cendekiawan harus berani memberikan informasi yang tepat tentang asas-asas pilihan politik yang sesuai dengan kehidupan kerakyatan.
Publik harus mengutamakan rasionalitas. Publik harus menentukan pemimpin yang mengerti ukuran-ukuran dan target pembangunan. Pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual. Pilkada yang cenderung mahal dan 'setengah jadi' seperti sekarang harus diimbangin negosiasi moral politik publik di dalamnya. Sebab, jika ini tidak dipergunakan sepenuhnya dalam pilkada, maka kita akan bertemu dengan bupati jadi-jadian selama lima tahun. Pilkada adalah momentum untuk menyegarkan ingatan publik atas pengalaman penderitaan sosial dan ekonomi. Ingatan yang mengundang evaluasi politik menuju pilihan politik yang lebih baik untuk kemakmuran sosial.
Sumber: Pos Kupang, 25 Mei 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!