rohaniwan Katolik di Flotim
KPUD Flotim telah menetapkan paket Calon Bupati-Calon Wakil Bupati Flotim Simon Hayon-Fransiskus Diaz Alfi (paket Mondial) tidak lolos seleksi karena tidak memenuhi persyaratan administrasi. Paket ini dicalonkan pertama oleh Partai Golkar kemudian bergabung pula Partai Karya Peduli Bangsa dan Partai Gerindra dalam bentuk koalisi Gewayan Tana Lamaholot.Keputusan KPUD sungguh menggemparkan, di luar dugaan atau pun perhitungan banyak pihak. Siapa sangka? Pendukung utama paket ini adalah Partai Golkar, partai pemenang pemilu di Flotim yang membuahkan lima kursi di DPRD Flotim sekarang. Simon Hayon, si calon bupati adalah seorang politisi kawakan. Dia masih tengah menjabat sebagai Bupati Flotim. Fransiskus Diaz Alfi, si calon wakil bupati bukanlah anak kemarin sore. Dia seorang birokrat yang telah kenyang makan asam garam penyelenggaraan pemerintahan. Terakhir menjabat sebagai Sekretaris Daerah Flores Timur. Kok bisa ya?
Karuan saja keputusan KPUD ini menyulut berbagai reaksi dan tanggapan: setuju bahkan gembira ria, tapi juga ada protes, bahkan kecaman.Yang setuju mungkin mereka yang menilai bahwa Kebupatian Simon Hayon dalam periode ini gagal, tidak memenuhi harapan, mengecewakan, tidak mengakomodir kepentingan mereka. Asal tahu saja, ada yang sudah bersikap Asal Bukan Simon (ABS).
Mungkin juga kelima pasangan lain yang lolos dan para pendukungnya punya 'kegembiraan' tersendiri: Seorang pesaing potensial sudah ditewaskan lebih dulu sebelum pertarungan sebenarnya dimulai. Apalagi Simon yang lagi menjabat diperkirakan didukung kuat oleh massa akar rumput. Sebaliknya, mereka yang protes yakni pasangan calon bupati-calon wakil bupati, partai-partai koalisi pendukung dan para pendukungnya merasa telah dicurangi oleh KPUD. Bahkan sementara pihak menilai keputusan KPUD manipulatif, mengada-ada, sebuah rekayasa yang sudah diskenariokan. Simon Hayon sendiri menilai keputusan tersebut aneh (Pos Kupang, Sabtu 17 April 2010, hal 1).
Tetapi di atas segala-galanya keputusan KPUD sungguh berani dan sangat menantang. KPUD pun tetap bersikukuh tak mau mengakomodir paket Mondial biarpun leputusan KPU Pusat 'meminta' dibuatkan revisi keputusan. Sebuah permintaan tidak harus dituruti. Begitu kata orang di KPUD. Apakah tidak terpikir bahwa kata 'meminta' dalam dunia birokrasi adalah perintah yang disamarkan/dihaluskan untuk menjaga wibawa KPUD? KPUD tetap yakin bahwa apa yang dilakukannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Berarti mengubah keputusan sama halnya melanggar aturan. Kekukuhan sikap KPUD ini patut diacungi jempol, dan bisa menjadi bahan pembelajaran demokrasi dan politik yang tak ternilai. Justeru di alam Indonesia saat ini tatkala hukum dan aturan gampang saja dibijaksanakan dan ditundukkan kepada kehendak penguasa dan pengusaha, ketegaran KPUD menyentak kesadaran kita bahwa masih ada yang berani memegang prinsip dan tidak gampang saja mau 'diintervensi'.
Tak ada teka-teki pada pihak KPUD. Lugas saja dijawab protes para pihak. Aturan mesti ditegakkan. Harian Pos Kupang yang mengutip Ketua KPUD Flotim Bernardus Boro Tupen, S.Pd, menulis bahwa paket Mondial tidak memenuhi syarat, karena dokumen yang diserahkan pada masa perbaikan 1 April 2010 adalah dokumen kesepakatan bersama Koalisi Gewayan Tana Lamaholot Nomor 02/PG-PKPB-Gerindra /Flotim/III/2010 untuk mencalonkan bakal pasangan calon, padahal seharusnya juga disertai keputusan parpol/atau gabungan parpol yang mengatur mekanisme penjaringan bakal calon kepala daerah dan bakal calon wakil kepala daerah yang dilengkapi berita acara proses penjaringan sesuai Peraturan KPUD Nomor 68 Tahun 2009, Pasal 13 ayat 2 huruf a dan l. Yang diserahkan hanya 'kesepakatan' sesuai ketentuan UU Nomor 12 tahun 2008 Pasal 15 ayat 5 huruf b dan Peraturan KPU tersebut di atas huruf a saja. Itu soal.
Lalu apa dasar penolakan kubu Mondial? Menurut Simon Hayon, sesudah penyerahan perbaikan 1 April 2010, diberikan waktu 10 hari untuk penelitian dan perbaikan. Kalau masih ada yang kurang atau tidak lengkap, KPUD wajib menyampaikan secara tertulis. Kenyataannya tidak (Pos Kupang, Sabtu, 17 April 2010). Lantas, begitu saja diledakkan bom itu: Paket Mondial tidak lolos. Sejumlah petinggi Golkar menerangkan bahwa pada masa perbaikan, KPUD hanya minta pernyataan kesepakatan koalisi dan nomor rekening. Sudah diberikan. Drs. Ibrahim A Medah, Ketua DPD Partai Golkar NTT malah menduga KPUD menghilangkan berkas berita acara proses penjaringan calon yang sudah dimasukkan. Buktinya, ada berita acara tanda terima berkas dari KPUD Flotim, check-list penerimaan berkas, dan pada kolom keterangan tertulis 'lengkap' disertai paraf dan tanggal terima berkas (Pos Kupang, Minggu, 18/4-2010 hal. 1)
Jelas terdapat dua jenis keterangan yang berbeda, malah bertentangan. Yang benar mana? Tetapi jelas kita semua berharap jangan ada dusta di antara kita. Di tengah beda pendapat ini, KPUD menyarankan supaya pihak paket Mondial dan koalisi partai-partai pendukungnya menempuh jalur hukum. Lebih elegan, kata Juru bicara KPUD Kosmas Ladoangin, SE. Tetapi yang dipilih ialah mengadukan soal ke KPUD NTT dan KPU Pusat sebagai instansi yang secara hirarkis lebih tinggi di atas KPUD Flotim.
Ternyata begitu cepat juga pengaduan kubu Mondial dan partai pengusungnya disikapi KPU Pusat. Dengan surat keputusan Nomor 234/KPU/IV/2010 tanggal 23 April 2010, KPUD Flotim diminta mengakomodir paket Mondial untuk menjadi calon Bupati-Wakil Bupati Flotim periode 2010-2015. Ketua KPU Pusat, Abdul Hafiz Anshary, malah menilai KPUD Flotim telah keliru menafsirkan peraturan KPU (Pos Kupang, Jumat 30 April 2010). Tentu Kosmas Ladoangin, si Juru bicara KPUD menolak, karena menurut sang sarjana ekonomi itu, kalau bicara aturan, tidak ada penafsiran tapi bagaimana mengikuti apa yang sudah tertulis (Pos Kupang, Selasa, 27 April 2010, hal. 1). Masyaallah, mungkin dia hanya robot saja. Ketika membaca aturan, otak dengan sendirinya bekerja dan dengan sendirinya terjadi proses menafsir. Tidak bisa tidak.
KPUD Flotim memang tetap bersikukuh tidak mau mengakomodir Surat Keputusan KPU. Itu berarti KPUD secara tahu dan mau telah menolak Surat Keputusan KPU Pusat. Hal ini berarti KPUD telah melanggar undang-undang karena ada kewajiban KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota untuk menaati ketentuan yang sudah digariskan KPU Pusat dan Undang Undang. Demikian perrnyataan Ketua KPU Pusat Abdul Hafiz Anshary (Pos Kupang, Jumad, 30 April 2010, hal. 1). Sebaiknya KPUD Flotim menggugat KPU Pusat, daripada hanya menolak mengeksekusi keputusan KPU Pusat. Adalah lucu kalau menyuruh KPU Pusat menempuh jalur hukum (menggugat KPUD) karena KPU Pusat sebagai instansi atasan punya kewenangan atas KPUD. Kewenangan itu sudah digunakan. Kalau salah, silahkan KPUD menggugat hukum KPU Pusat. Itu memang sangat elegan.
Sikap KPU Pusat dalam hal ini bisa saja dibaca sebagai campur tangan, intrik politik yang dimainkan oleh orang atau kelompok tertentu (siapa?), seperti juga orang/pihak lain bisa saja menuduh bahwa KPUD Flotim tidak independen, bekerja atas pesan sponsor, yang ujung-ujungnya apalagi kalau bukan uang, mungkin juga janji pangkat atau jabatan dalam kabinet bupati berikut nanti atau apalah sesudah pemilu kada.
Situasi politik di langit Flores Timur memang sedang tidak cerah karena beda pemahaman dan tafsir atas undang-undang dan peraturan yang berlaku. Tetapi pastilah semua sepakat bahwa secara hirakis, undang-undang lebih tinggi dari Peraturan KPU. Maka manakala terjadi perbedaan pengaturan oleh undang-undang dan oleh Peraturan KPU, ketentuan undang-undang yang diikuti. Pasal 13 ayat 2 huruf l Peraturan KPU nomor 68 Tahun 2009 memang menetapkan bahwa "Surat pencalonan dilampiri dengan Keputusan Partai Politik atau gabungan partai politik mengenai mekanisme penjaringan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah disertai berita acara penjaringan", tetapi UU Nomor 12 tahun 2008 pasal 59, ayat 5 huruf b (hanya) menetapkan bahwa "Partai Politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan calon partai politik wajib menyerahkan kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untuk mencalonkan pasangan calon."
Diperhatikan secara cermat, Peraturan KPU Nomor 68 tahun 2009 pasal 13 ayat 2 yang mengatur tentang surat pencalonan, kurang lebih sama dengan ketentuan UU Nomor 12 tahun 2008 pasal 59 ayat 5, dari huruf a sampai k. Persyaratan pada huruf l hanya ada pada Peraturan KPU. Berarti untuk hal yang sama KPU mengatur berlebih. Peraturan KPU juga hanya menyebut tentang keputusan, bukan surat keputusan. Siapa pun yang paham hukum tentunya mengerti bahwa antara keputusan dan surat keputusan berbeda. Keputusan bisa mengambil bentuk kesepakatan, ucapan lisan, surat biasa, tetapi sebuah surat keputusan tidak bisa lain dari bentuk baku: Menimbang, Mengingat, Memutuskan. Menetapkan...
Akhirnya, pendapat boleh berbeda malah bersilang sengketa, tetapi pemilu kada harus terus berproses secara benar dan adil mengikuti tahapan tahapan yang sudah digariskan. Berbagai argumentasi boleh dibangun, rasionalisasi boleh disusun sekian rapi dan cemerlang, tetapi hendaknya diingat bahwa KPUD punya tanggung jawab teramat luhur terhadap rakyat Flores Timur. Maka jangan main-main, jangan memainkan, jangan juga mau dimainkan. Keputusan KPUD menggugurkan paket Mondial bisa benar. Tetapi seandainya salah, lebih-lebih kalau dibuat dengan sengaja, hasil sebuah pesanan atau buah sebuah konspirasi licik memuluskan jalan paket tertentu atau untuk menggugurkan paket tertentu karena antipati dan dendam politik, berarti merampok hak (asasi) rakyat untuk memilih pemimpin yang mereka mau, dan membuat mereka terpaksa memilih paket lain karena paket pilihannya sudah ditewaskan sebelum bertanding. Di sini kita sudah memasuki ranah moral.
Politik harus bermoral. Tanpa moral politik itu busuk, jahat. Dan politisi tanpa moral sama saja dengan penjahat politik, politisi busuk. Jika demikian, maka apa yang kita lakukan sekarang ini bukan lagi sebuah pembelajaran demokrasi dan politik tetapi sebaliknya sebuah pembodohan yang konyol. Lalu yang coba kita bangun bukanlah demokrasi tetapi democrazy.
Sumber: Pos Kupang, 4 Juni 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!