penguasa langit, dan bumi gerakkanlah mereka ke hadapan kami
agar kami bisa menangkap dan membawa pulang
untuk menghidupi seluruh kampung.
(Lagu tradisional nelayan Lamalera)
PADA 21 April 2010 Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, sebuah lembaga yang berdedikasi memajukan pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia, menggelar pertunjukan musik Jazz for Harmony di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Malam itu dihadapan para cendekiawan, budayawan dan tamu undangan lainnya Dira Sugandi dengan iringan musik Dwiki Dharmawan & Friends membawakan lagu berjudul Lamalera. Sebuah lagu tentang desa kecil di ujung selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Sebagai sebuah desa, Lamalera terbilang istimewa. Bukan hanya karena desa yang berpenduduk 1000 KK tersebut telah melahirkan banyak akademisi, profesional, doktor, wartawan bahkan menteri namun terutama karena tradisi penangkapan ikan paus yang telah turun-temurun.
Mereka memburu ikan paus dengan peralatan tradisional, tempuling atau tombak bambu sepanjang empat meter dengan mata besi di ujungnya dan perahu peledang yang biasanya diisi dua belas orang.
Nenek moyang mereka telah mewariskan keterampilan berburu ikan paus sekaligus mengajarkan kearifan tradisional untuk memilah-milah ikan paus mana yang boleh ditangkap dan mana yang harus dibiarkan hidup. Ikan paus betina yang lagi menyusui atau masih anak-anak pantang ditangkap.
Ikan paus yang mereka tangkap di perairan Laut Sawu bukanlah ikan paus anonim. Warga percaya koteklema, sebutan lokal untuk ikan paus, merupakan kiriman dari para leluhur. Ada aturan main yang harus diikuti oleh para pemburu, terutama bagi seorang lamafa atau juru tikam.
Seorang lamafa harus bersih lahir batin ketika pergi berburu ikan paus. Bila ada masalah di darat, misalnya ada pertengkaran dengan anggota keluarga lainnya, harus dibereskan lebih dulu. Sebelum menikam seekor koteklema, lamafa wajib bertanya kepada anak buah apakah ini memang ikan milik kita.
Bila jawabannya iya maka lamafa akan berdoa sebentar lalu dengan sigap melompat menghujamkan tempulingnya. “Tapi bila paus mengangkat ekornya ketika hendak ditikam, seorang lamafa mana pun akan mengurungkan niatnya menikam ikan tersebut,”ujar Aloysius Tapoona. “Paus tidak mau memberikan dirinya”.
Namun sebaliknya bila semua berjalan lancar. Ikan paus mau memberikan dirinya untuk ditikam lalu para nelayan dengan penuh sukacita menarik hasil buruannya ke darat sambil menyanyi bersahut-sahutan, ”Para janda, yatim piatu dan fakir miskin telah menunggu di darat”. Koteklema menjadi berkat bagi seluruh warga Lamalera.
Akhir April lalu, saya mengunjungi Lamalera. Dari Lewoleba, Ibukota Kabupaten Lembata, menuju Lamalera membutuhkan waktu sekitar tiga jam dengan ojek. Atau bisa juga naik oto, sebutan lokal untuk moda transportasi berupa truk Dyna 110PS yang bak-nya dimodifikasi sedemikian rupa, dengan terpal sebagai atapnya, dan tempat duduk penumpang berupa papan kayu memanjang berhadap-hadapan.
Oto model begini dapat muat orang banyak dan apa saja bisa dimasukan ke dalamnya. Sayangnya, oto berangkat sekitar pukul satu siang dari Lewoleba. Dalam sekali perjalanan tiap penumpang dikutip Rp 25 ribu perak. Sedangkan naik ojek waktunya bisa kapan saja dengan ongkos Rp 150 ribu. Tapi pagi itu saya sedikit beruntung. Ada kenalan menawarkan tumpangan ke Lamalera.
Hujan tercurah dari langit ketika kami meninggalkan Lewoleba. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di kejauhan barisan penggunungan dengan lembah berwarna hijau tua tampak murung tersaput kabut.
Di kanan-kiri jalan banyak tumbuh pohon kemiri berukuran raksasa dengan sesekali diselingi rumpun bambu. Tak lama kemudian desa pertama mulai terlihat. Jalan aspal yang tadi halus kini mulai bopeng-bopeng di beberapa tempat bahkan sebagian ruas jalan, terutama di sekitar Desa Belabaja dan Labalimut (Boto), lebih tampak menyerupai sungai kering.
Batu-batu dengan berbagai ukuran terserak di jalanan. Sangat membahayakan bagi pengendara sepeda motor. Bila tidak hati-hati bisa terjadi kecelakaan bahkan yang paling apes terperosok ke jurang.
Hari masih siang ketika kami tiba di Lamalera. Angin laut berhembus ringan menyapu dahi. Saya menginap di rumah keluarga Tapoona. Sebuah rumah yang sederhana namun tertata apik, bersih dan rapi. Bagian beranda dibikin agak menjorok ke arah laut. Tidak jauh dari situ, belasan potong kulit ikan paus seukuran telapak tangan orang dewasa tertata rapi dijemur di bawah selembar seng. Sinar matahari membuat seng menjadi panas. Tetes demi tetes minyak ikan paus pun jatuh ke dalam jerigen yang berfungsi sebagai tempat penampungan.
Bagi masyarakat Lamalera, koteklema atau ikan paus menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menyekolahkan anak-anaknya, membeli obat bila sakit atau sekadar mendapatkan beras atau hasil bumi lainnya dari hasil barter daging ikan paus dengan warga pegunungan di sekitar Lamalera.
Hubungan koteklema dengan nelayan Lamalera lebih dari sekedar hubungan antara pemburu dengan sang terburu. Nelayan Lamalera tidak ngoyo berburu koteklema. Mereka sendirilah yang datang menghampiri perairan Desa Lamalera.
“Orang akan teriak baleo-baleo sebagai pertanda bahwa ada koteklema di laut,” ujar Marsel, Ketua Yayasan Gerbang Lembata. Warga meyakini para leluhurlah yang mengiring koteklema bagi nelayan Lamalera.
Inilah musim panen koteklema yang paling ditunggu-tunggu. Dari awal bulan Mei hingga akhir Oktober, warga Lamalera hidup penuh pengharapan untuk mendapatkan ikan paus. Sebab seperti petani di pegunungan yang mengharapkan hasil bumi dari ladangnya, bagi Lefo Lamalera laut menjadi satu-satunya andalan bagi kelangsungan hidupnya.
Musim Lefa sendiri diawali dengan ritual adat Iyegerek yang digelar di suatu tempat yang disebut batar. Suku Fujon, sebagai tuan tanah Desa Lamalera, meyakini batar sebagai tempat tinggal nenek moyang mereka.
Di tempat ini para tetua adat Suku Fujon dengan mengenakan singlet putih, kepala dihiasi mahkota dari dedaunan, mereka membakar tembakau, menuang tuak, menabur beras jagung giling serta memecah telur ayam sambil melantunkan syair adat dengan iringan dua gong.
Dari batar mereka berjalan menuju Wato Koteklema. Sebuah batu hitam berukuran panjang 10 meter, lebar 2 meter dan tinggi 1,5 meter. Bentuknya menyerupai sosok ikan paus. Di sini mereka juga menaruh sesajen. Mereka meyakini koteklema di laut sebenarnya merupakan perwujudan nenek moyang yang memberikan diri dalam bentuk ikan paus bagi warga Desa Lamalera.
Dari ritual adat di bukit, mereka berjalan menuju laut. Sambil merapalkan syair adat secara bersahut-sahutan, mereka berjalan tanpa menoleh ke belakang. Suasana terasa mistis. Beberapa saat kemudian, sebelum tiba di laut, mereka singgah di rumah adat Suku Fujon di Dusun Lamanu, Desa Lamalera A dan lango kelake, rumah milik Suku Bataona di Desa Lamalera B. Mereka meyakini rumah-rumah tersebut merupakan tempat peristirahatan nenek moyang. Di situlah mereka makan sirih pinang sembari menegak tuak.
Rangkaian ritual adat tersebut ditutup dengan menceburkan diri ke laut sebagai ritual memanggil koteklema. Kemudian setelah keluar dari laut, mereka berkumpul di depan Kapel Santo Petrus dan Paulus yang terletak persis di bibir pantai. Selanjutnya sore harinya akan dipersembahkan Misa Pembukaan Musim Lefa.
Selama satu minggu penuh di Lamalera, saya berharap mendengar teriakan warga desa bersahut-sahutan ‘baleo-baleo’ sebagai pertanda koteklema muncul di perairan Desa Lamalera. Saya membayangkan betapa desa kecil di ujung selatan Pulau Lembata ini menjadi sangat hidup; para pria lari berhamburan ke pantai mendorong perahu pledang mereka menuju laut dan pulang membawa seekor koteklema berukuran belasan meter.
Namun sampai detik terakhir saya meninggalkan Desa Lamalera, teriakan itu tidak pernah saya dengar. Tapi saya pernah melihat ikan paus biru, yang pantang diburu nelayan Lamalera, dalam jarak yang relatif dekat dengan semburan air yang keluar tegak lurus dari kepalanya. (Laporan langsung wartawan 'EVENGUIDE' Cahyo Adji dari Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur, Akhir Maret - April 2010)
Sumber: EVENGUIDE, June 2010
Ket foto: Koteklema menjadi berkah bagi Lefo Lamalera (gbr 1), Menampung minyak ikan paus (gbr 2), Penulis naik oto di Desa Belabaja (Boto) menuju Lamalera (gbr 3), Semburat jingga mentari pagi (gbr 4), dan Bocah Yakobus Lako Mudaj alias Kobus di dusun Kluang, Belabaja: tiada hari tanpa ikan (gbr 5)
Ket foto: Koteklema menjadi berkah bagi Lefo Lamalera (gbr 1), Menampung minyak ikan paus (gbr 2), Penulis naik oto di Desa Belabaja (Boto) menuju Lamalera (gbr 3), Semburat jingga mentari pagi (gbr 4), dan Bocah Yakobus Lako Mudaj alias Kobus di dusun Kluang, Belabaja: tiada hari tanpa ikan (gbr 5)
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!