Headlines News :
Home » » Kepala BP Migas Priyono: Kita Terengah Kalau Hanya Membicarakan Minyak

Kepala BP Migas Priyono: Kita Terengah Kalau Hanya Membicarakan Minyak

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 30, 2010 | 10:25 AM

SELAMA tujuh tahun belakangan keran produksi minyak seperti tersendat. Tahun ini, produksi minyak hanya 800 ribuan barel. Saat membacakan Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011, Presiden Yudhoyono hanya mematok target di bawah sejuta barel tahun depan, tepatnya 970 ribu barel per hari.

Indonesia terakhir mengecap produksi minyak di atas sejuta barel pada 2003. Toh, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Priyono mengatakan produksi justru telah membaik, asal gas ikut diperhitungkan. "Harus fair," ujarnya.

Produksi minyak nasional memang turun, tapi temuan di sumur justru memperlihatkan gas melimpah. Bila produksi minyak dan gas bumi digabung, angkanya setara dengan pencapaian 2003. Priyono mengatakan semua negara penghasil minyak dan gas selalu berbicara tentang oil equivalent.

Di sela kesibukannya, Priyono menerima Nugroho Dewanto, Yandi M. Rofiyandi, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo di kantornya, Rabu pekan lalu. Bekas direktur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini menjelaskan berbagai masalah di lapangan, termasuk soal Lapindo dan konsep bright and green, untuk merangkul masyarakat di sekitar lokasi penambangan minyak.

Apa kendalanya sehingga produksi minyak kita sulit ditingkatkan?
Kita cerita dari awal dulu. Minyak dan gas bumi pernah menjadi andalan pemerintah. Penerimaan dari minyak dan gas bumi mencapai 60 persen dari APBN ketika zaman Soeharto. Pada 1980-an, sejumlah pengusaha minyak mengatakan Indonesia akan beralih ke industri gas karena dalam beberapa penemuan lebih banyak ketemu gas, misalnya di Balikpapan dan Tangguh.

Mengapa waktu itu temuan gas tak dikembangkan?
Ketika itu komoditas gas memang tak menarik karena minyak murah. Apalagi subsidi pemerintah cukup besar untuk bahan bakar minyak sehingga enggak ada yang peduli terhadap masalah itu. Ada penemuan gas dalam jumlah besar di Sumatera Selatan oleh ConocoPhillips, tapi susah ditawarkan ke dalam negeri. Orang lain lebih jeli melihat bahwa gas akan menjadi komoditas primadona karena lebih bersih dan murah.

Jadi produksi gas itu malah dijual ke luar negeri?
Iya. Mulai 1997 sampai 2001, kondisi politik Indonesia sangat luar biasa. Tak ada investasi baru. Lalu keluar Undang-Undang Migas 2001 sehingga market melihat positif. Namun mereka belum yakin pelaksanaannya. Undang-undang bagus, tapi bisa saja implementasinya tidak investment friendly. Jadi butuh tiga tahun lagi untuk sosialisasi. Jadi selama 1997-2004 hampir dikatakan tak ada investasi baru. Mereka yang sudah di sini juga tak melakukan investasi baru karena menunggu arah pemerintah yang terlihat belum stabil.

Mengapa perusahaan minyak besar yang sudah di sini juga tak mau investasi?
Sampai 2004 memang investasi sangat kecil. Perusahaan besar juga mengalami penurunan. Naiknya berat sekali karena tidak dijaga sejak 1998 sampai 2004. Investornya bingung dengan situasi itu. Berat untuk mendorong investasi baru. Seandainya ada penemuan besar pada 1998-2004, bisa kita pelihara sekarang. Lantaran eksplorasi terlambat, penemuan besar cuma di Cepu.

Sebetulnya Cepu kan sumur lama?
Iya, Pertamina puluhan tahun di sana dan aktivitasnya lumayan. Lalu Exxon kembali dan ketemu. Mereka hanya memperdalam lubang yang sama.

Bagaimana mencapai target pemerintah menaikkan produksi minyak hingga 970 ribu barel per hari?
Kita terengah-engah kalau hanya membicarakan minyak. Tapi, bila bicara tentang minyak dan gas bumi, kita masih bisa bernapas. Saat ini produksi minyak dan gas kita sudah sama dengan 2003. Jadi sudah pulih. Gas seharusnya diperhitungkan sehingga mendapat profil lebih fair. Jadi jangan ngomong barel terus. Negara penghasil minyak dan gas selalu ngomong-nya oil equivalent.

Bila melihat potensinya, apakah industri minyak Indonesia masih menarik bagi investor asing?
Data PricewaterhouseCoopers mengatakan daya tarik terbesar di Indonesia adalah geologinya. Jadi resource-nya masih sangat menarik. Tapi hal lain, seperti kepastian hukum, masih mengganjal. Setelah pemerintahan mapan, mereka kembali berinvestasi. Tapi, ketika muncul masalah cost recovery dua tahun lalu, mereka stop lagi.

Bagaimana BP Migas membantu mendorong iklim investasi?
BP Migas sebenarnya dibentuk bukan seperti Direktorat Jenderal Migas. Anggarannya saja tak masuk APBN, tapi dari minyak yang dihasilkan. Kami mendapat alokasi satu persen dari minyak yang dihasilkan. Kami mengelola kontrak dengan perusahaan minyak sehingga bila ada sengketa, tidak menyeret pemerintah. Jadi seperti bumper. Fungsi BP Migas pengawasan dan pengendalian manajemen operasi.

Mestinya pemerintah yang lebih berperan dalam menciptakan iklim yang lebih kondusif untuk investor?
BP Migas tak membuat kebijakan umum. Hanya mengurus kebijakan operasional, misalnya tumpang-tindih lahan. Sebenarnya itu juga bukan tugas BP Migas, karena ketika pemerintah memberikan lahan, seharusnya bebas masalah. Tapi kejadiannya tak begitu. Dari gubernur oke, tapi dihalangi di tingkat kabupaten sehingga berhenti, seperti yang terjadi di Aceh. Jadi informasi akan dibuka lahan itu tak sampai kepada aparat terendah.

Apa yang dilakukan BP Migas agar pengawasan lebih efisien?
Pengawasan migas larinya ke masalah prosedur operasi dan efisiensi. Dan efisiensi larinya ke cost recovery. Sebenarnya sistem pengawasan sudah bagus. BP Migas sudah mengawasi saat mereka mengajukan program kerja. Kami melihat keuntungan pemerintah dari program kerja itu. Kalau sudah oke, baru dilihat efisiensinya. Setelah pemerintah aman dan harganya memper, baru kami setujui. Sekarang proyek besar di atas sepuluh triliun akan melekat ke grup pengawasan proyek. Sebelumnya tak ada, jadi kita percaya saja.

Bagaimana cara mengaudit jumlah produksi minyak yang dikelola asing?
Perusahaan asing itu yang punya banyak. Exxon di dalamnya ada perusahaan lain dan biasanya mereka terdaftar di bursa luar negeri. Kalau ada mekanisme kerja yang merugikan perusahaan itu, pasti sahamnya jatuh. Semua orang mengawasi, bukan hanya Exxon-nya, melainkan pemegang saham. Kecil kemungkinan mereka mau main di situ.

Apa kecurangan yang masih mungkin mereka lakukan?
Bukan curang, tapi mencuri kesempatan. Adu pintar. Jadi bukan maling dan kriminal. Misalnya proyek pengadaan barang dari teman-temannya sendiri. Mereka, misalnya, membawa dari Amerika dengan spek lebih hebat. Padahal bisa saja tak perlu alat hebat.

Apakah ada ketentuan menggunakan kandungan lokal dalam pengadaan barang?
Muatan lokal menjadi parameter dalam pemenangan tender. Bobotnya 35 persen dan sekarang yang kita kelola sudah 70 persen.

Apakah BP Migas ikut mengawasi operasionalisasi Lapindo yang bermasalah?
BP Migas tak diberi tanggung jawab mengawasi dan memberikan izin berkaitan dengan kepentingan publik, misalnya kerusakan lingkungan dan potensi kecelakaan. Pemerintah yang pegang. Saya juga tak ingin berpolemik soal Lapindo, tapi sejak awal sudah terlihat ada jalur patahan. Kalau bergerak dan ada aktivitas, akan muncul kejadian.

Kalau diketahui ada patahan, mestinya kan tak boleh ada kegiatan pengeboran....
Ketika memberikan daerah eksplorasi, seharusnya pemerintah tak memberikan daerah patahan. Memang bencana alam enggak bisa diprediksi. Selama ratusan tahun memang tak terjadi apa-apa di jalur patahan.

Bagaimana penanganan sumur lama yang tak masuk skala ekonomi perusahaan minyak besar, tapi sesungguhnya ekonomis bagi perusahaan kecil?
Saya sudah bikin gambaran ketika masih di Ditjen Migas. Seumpama jalan, kita mengatur jalur bus, mobil, motor, sepeda, dan jalan kaki. Undang-undang mengatakan bahwa industri ini bisa dikelola koperasi dan badan usaha milik daerah. Tinggal bagaimana membuat jalurnya. Pemerintah harus segera membuat dan melaksanakan jalur-jalur ini.

Berapa potensi semua sumur kecil itu dibanding produksi nasional?
Kalau seluruh Indonesia, secara volume metrik tak lebih dari 10 ribu barel dari ribuan sumur yang ada.

Sekarang banyak sumur itu telantar....
Betul, karena tarik-tarikan lahan Pertamina begitu besar. Pertamina tak mengelola, tapi juga tak melepas lahan itu. Seharusnya ada mekanisme saling menguntungkan, misalnya harga. Saya pernah mengatakan jual saja dengan harga crude international. Pertamina enggak rugi, kok. Nanti pengusaha wajib memelihara lingkungan. Jadi fee-nya dari harga minyak, bukan 10 persen dari harga minyak.

Apakah ada pembatasan pengelolaan sumur oleh perusahaan asing?
Karena financial engineering kita sangat lemah. Perusahaan minyak biasanya meminjam uang untuk mengelola sumur. Masalahnya, perusahaan minyak Indonesia, termasuk Pertamina, tak memiliki rating hebat sehingga mendapatkan uang pinjaman dengan bunga tinggi. Jadi tak ekonomis.

Bagaimana peluang perusahaan lokal untuk mengambil alih sumur yang sudah habis masa kontraknya?
Pertama, harus diperhitungkan biaya operasi yang tinggi karena bunga tadi. Kedua, perusahaan nasional sekarang tak memiliki research and development yang canggih untuk minyak dan gas. Dengan kondisi ini, ada pertanyaan apakah mereka akan seefisien perusahaan asing. Kepentingan BP Migas hanya menjaga agar produksi minyak jangan sampai turun. Silakan diambil siapa saja. Tentu kita mendukung Pertamina. Tapi jangan sampai sudah dikasih, malah produksinya turun. Setelah itu, saling menyalahkan. Penyakit bangsa kita kan saling menyalahkan.

Bagaimana peran perbankan nasional dalam industri migas?
Saya pernah bicara dengan asosiasi perbankan. Saya ngomong proyek perusahaan minyak di Indonesia, seperti Exxon US$ 4 miliar, di Makassar US$ 7 miliar, dan Blok Masela US$ 17 miliar. Saya bersemangat memperlihatkan potensinya. Jawaban mereka: "Pak Pri ngomong gede banget. Tahu enggak, sirkulasi semua perbankan di Jakarta hari ini cuma US$ 2 miliar."

Mengapa bank tak pernah bergandengan dengan industri migas?
Pertama, perusahaan minyak belum percaya pada perbankan kita. Kedua, bank kita takut masuk ke perusahaan minyak karena dianggap satu paket dengan eksplorasi. Memang aneh, ada industri subur makmur, tapi tak nempel ke perbankan. Ketika krisis global 2008, suasana psikologis perbankan jelek. Tapi industri migas ternyata tak jadi masalah karena pembiayaannya dari luar negeri.

Bagaimana supaya bank nasional bisa turut dalam industri migas ini?
Seharusnya bank melekat di eksploitasi. Saya meminta perusahaan minyak memakai perbankan nasional, paling tidak dalam transaksinya. Dengan kawin paksa ini uang mengalir. Bank kita basah terus sehingga kuat. Sekarang cash management perusahaan minyak juga sudah di bank nasional. Lebih lanjut, saya ingin mereka menaruh dana perbaikan lahan di bank kita. Uang ini dulu enggak tahu di mana, sekarang harus di bank nasional.

Bagaimana perkembangan formula cost recovery setelah menjadi bahan perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat?
Cost recovery ribut karena ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan ada 33 item di wilayah abu-abu karena perusahaan membebankan biaya yang tak jelas. Tidak ditulis dalam kontrak, tapi juga tak dilarang. Temuan itu dispute, bukan penggelembungan biaya. Jadi tidak ada tindak pidana yang merugikan negara. BP Migas mengeluarkan 17 item dari 33 temuan BPK itu.

Bagaimana mengatasi kendala berupa penolakan penduduk dan pemerintah setempat terhadap kegiatan eksplorasi minyak?
Penyakit daerah tak merasa diuntungkan oleh industri migas. Migas tak memiliki produk menarik yang dijual ke publik. Untuk itu, kita membuat produk yang diinginkan daerah, yakni listrik. Biasanya di area proyek terang, tapi di kampung sebelah gelap. Dengan listrik, roda ekonomi tumbuh. Kita sudah mulai di Jambi. Perusahaan juga harus memperhatikan sanitasi, air, dan kerusakan lingkungan. Kita namakan produk ini bright and green.

Apakah produk bright and green itu masuk dalam corporate social responsibility (CSR)?
CSR kan tak masuk dalam cost recovery, produk ini masuk. Produk ini menunjang program pemerintah. Kami harapkan ada perubahan ekonomi. Kalau rakyat sudah diuntungkan, pasti fasilitas produksi akan dijaga.

R. Priyono
Tempat dan tanggal lahir:
Pati, Jawa Tengah, 12 September 1956

Pendidikan:
Sarjana Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, 1976

Karier:
Kepala BP Migas, 2008-sekarang
Direktur Pembinaan Usaha Hulu, Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006-2008
Kepala Subdirektorat Pengelolaan Wilayah Kerja, Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2003-2006
Kepala Subdirektorat Eksplorasi, Direktorat Jenderal Migas, 2001-2003.
Sumber: Tempo, 30 Agustus 2010
Ket foto: R. Priyono
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger