imam diosesan Keuskupan Ruteng
POS Kupang.Com (4/8/2010) menyebutkan kunjungan pastoral Uskup Ruteng, Flores Barat, NTT, Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr, sebagai salah satu berita paling populer. Perayaan ekaristi 'ekologis' yang dipimpin Uskup Hubertus pada wilayah tambang menarik perhatian banyak kalangan. Ini menjadi kisah pertama di kawasan ini, di mana seorang gembala umat menjejakkan kaki di kawasan tambang, yang selama puluhan tahun, terindikasi menciptakan akumulasi penderitaan pada masyarakat lingkar tambang.Dari sekian banyak kontrol sosial (publik) terhadap politik pembangunan lokal (NTT), barangkali kunjungan kegembalaan Uskup Hubertus menjadi salah satu contoh paling penting sekarang ini. Aksi pastorasi gereja berangkat dari keprihatinan akan kehancuran kemanusiaan dan ekologi. Sesuatu yang belum terbukti mampu dibayar secara sepadan dalam hitungan keuntungan pengelolaan sumber daya alam di kawasan ini.
Berita ini persis ada di titik berlawanan dibandingkan dengan apa yang ditempuh pimpinan wilayah NTT. Pos Kupang.com (5/8/2010) menulis demikian "Gubernur NTT terbitkan 20 izin sementara pengangkutan dan penjualan kepada 20 investor yang melakukan eksplorasi mangan." Gubernur berangkat dari logika hukum. Ada UU yang mengatur kewenangan kepala wilayah untuk mengambil langkah pemberian izin kepada investor tambang. Basis hukum menjadi medan perwujudan kekuasaan seorang gubernur. Lalu, izin sementara yang dikeluarkan Gubernur NTT akan menjadi ruang ekspresi pemilik modal industri mangan. Kombinasi 'super power' yang bergerak di kawasan kecil NTT.
Disparitas
Ada salah satu sebab yang mengawali semua ini. Ekspansi ekonomi global sedang tidak memilih lawan. Besar maupun kecil. Banyak ataupun sedikit. Di mana terdapat kandungan kekayaan ekonomi baik di atas maupun di bawah tanah, mesin globalisasi akan bergerak secepat kilat untuk merebutnya. Tentu, dengan segala motif yang mendorongnya. Hanya kawan yang dipilih-pilih. Tentu yang menjadi perangkat dan wadah beroperasinya globalisasi.
David Held (2004) menjelaskan bahwa globalisasi berisikan pergeseran kekuasaan ekonomi, politik dan sosial. Pada satu dekade terakhir, pergeseran ini dapat dijelaskan dalam relasi populer antara negara (state), korporasi (corporate) dan komunitas (local community). Agak umum bahwa apa yang disebut 'lokal' (komunitas) menjadi arena kontestasi ketiga kekuatan ini.
Itu pula yang mendorong sebuah paradigma baru bahwa penguatan basis lokal menjadi salah satu alternatif perlawanan terhadap arus besar globalisasi. Di sebelahnya keberhasilan kooptasi kekuatan utama lokal ke dalam jaringan ekonomi global memberikan pengaruh paling mencolok pada setiap gerakan perlawanan lokal.
Gordon Smith (2000) memaknai hubungan ketiga kekuatan ini sebagai penjelasan untuk struktur ekonomi politik yang merujuk pada akumulasi keuntungan pihak dominan. Negara kehilangan aspek-aspek penting dalam hubungan ini karena sebagian peran regulatif ditentukan kekuatan modal (corporate). Operasi korporasi biasanya membawa akibat luas bagi komunitas lokal.
Keterkucilan akan membahasakan posisi komunitas lokal dalam relasi 'asimetris' ini. Politik ekonomi yang dilakukan korporasi dengan dukungan negara sebagian besar untuk menyenangkan diri dalam pusaran keuntungan. Anonimitas peran dan kehadiran negara akan memperparah sirkulasi keuntungan yang terjadi dalam konteks investasi korporasi pada masyarakat lokal.
E Downing Theodora, Cs (2002) yang melakukan banyak studi di Afrika dan Amerika Latin mengungkapkan mekanisme penguasaan sebagai penjelasan atas dominasi 'state-corporate' terhadap komunitas lokal. Sistematisasi penguasaan akan memuluskan eksploitasi masif terhadap sumber daya yang memiliki korelasi langsung dengan komunitas lokal. Terdapat tiga persoalan penting yang menjelaskan disparitas antara elemen 'lokal' dan 'state-corporate'.
Pertama, persoalan kedaulatan. Komunitas lokal memiliki kedaulatan atas kawasan maupun sumber daya alam (SDA). Ini merujuk pada kedudukan komunitas lokal berkaitan dengan 'kemerdekaan' pengaturan diri sendiri. Perspektif lokal seharusnya melandasi politik pembangunan yang sebagian besar mengacu pada peran 'state-corporate'.
Kedua, berapa besar volume kesejahteraan yang dapat dinikmati komunitas lokal dari segenap mekanisme pengelolaan SDA. Pertanyaan mendasar ini tidak hanya berkaitan dengan keadilan pengembalian 'ekonomis' SDA yang diambil dari 'lokal' melainkan berhubungan dengan aspek-aspek sosial, politik dan kultur komunitas lokal.
Ketiga, penguasaan pada ujungnya memunculkan multi-kemiskinan pada komunitas lokal. Hilangnya hak atas tanah, risiko kesehatan, terancamnya sumber makanan, hilangnya hak-hak sipil menggambarkan pola kemiskinan pada masyarakat lokal.
Spesifik
Perubahan sosial politik yang semakin tidak menentu menyebabkan kesejahteraan ekonomi semakin menjauh. Tidak terbantahkan, banyak persoalan spesifik yang tiba-tiba mendera komunitas lokal. Kebijakan pembangunan yang dikendalikan politik yang tiba-tiba muncul dari ranah demokrasi prosedural menitipkan pesan kematian untuk masyarakat lokal. Alih-alih menyelenggarakan demokrasi langsung, kebijakan politik semakin jauh dari jangkauan perhatian dan kontrol politik publik.
Politik pembangunan humanistik di tingkat lokal adalah sesuatu yang harus diproses dan diperjuangkan. Penting apa yang dijelaskan Nadkarni MV (2000) berkaitan dengan aspek-aspek yang menentukan keberlangsungan hidup masyarakat lokal Pertama, berkaitan dengan aspek fisik komunitas lokal. Ini menunjuk pada materi biologik lingkungan. Aspek ini menjelaskan kontak antara komunitas lokal dengan alam dalam kawasannya. Masyarakat tidak hanya menggantungkan hidup pada segepok kemakmuran ekonomi. Mereka juga membutuhkan kemakmuran sosial, budaya, spiritual dan ekologis. Penjungkirbalikan tanah tempat mereka menemukan kemakmuran multi-aspek akan mengirim masyarakat ke kawah penderitaan.
Kedua, secara psikologis komunitas lokal mempunyai standar penerimaan terhadap nilai-nilai dan agen perubahan baru yang masuk ke dalam struktur komunitas. Kepekaan psikologis membantu komunitas lokal menyusun kerangka budaya baru ketika melakukan perlawanan terhadap 'state-corporate' yang mengucilkan kelangsungan masyarakat lokal.
Ketiga, komunitas lokal memiliki nilai-nilai budaya yang menjadi sumber kebenaran hidup. Nilai-nilai budaya ini menjadi dasar komunitas lokal melakukan dialog dan negosiasi kepentingan berhadapan dengan kekuatan 'state-corporate'. Kekuatan yang teridentifikasi sebagai sumber persoalan di tingkat lokal. Pelibatan aspek-aspek lokal akan meluputkan politik pembangunan dari jebakan perusakan kehidupan.
Kunjungan pastoral seorang uskup ke kawasan tambang, area yang steril dari kontrol publik selama ini, menceritakan banyak harapan. Pertama, indikasi kuat bahwa respons atas persoalan sosial sudah menyentuh kekuatan-kekuatan utama di level masyarakat sipil. Kedua, institusi agama (gereja) di daerah kita memiliki kecakapan yang semakin spesifik dan praktis dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang mengurung masyarakat. Ini sangat menggembirakan. Hal ini berarti bahwa kemampuan teknis mengurus persoalan sosial kemanusiaan akan membentangkan pencapaian positif sejak sekarang.
Ketiga, ini yang sangat substansial, bahwa agama (gereja) menegaskan keberadaan sebagai simpul utama gerakan perlawanan terhadap setiap kebijakan dan politik yang menistakan manusia dan lingkungan. Menjadi tempat bergantung. Naungan. Sumber air kesegaran bagi peradaban yang sedang salah arah. Itulah alasannya mengapa rintisan Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr, Uskup Keuskupan Ruteng, sudah sepantasnya mendapatkan bukan saja apresiasi publik, tetapi dan terutama gelombang energi sosial. Sebab, tanpa dukungan publik lokal, front perlawanan ini kembali akan mengempis, menggelembung dalam buih-buih sorak-sorai sesaat, sebelum datangnya era perusakan yang lebih kejam. Ini berkaitan dengan semua kebijakan pembangunan yang malah menjauh dari kepentingan asasi rakyat.
Sumber: Pos Kupang, 13 Agustus 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!