Headlines News :
Home » » Obituari: Berakhir Diantar Sunyi Pagi

Obituari: Berakhir Diantar Sunyi Pagi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, August 23, 2010 | 1:33 PM

DI ruang Elizabeth 407 Rumah Sakit Panti Rapih, Rabu pekan lalu itu, yang tinggal hanya mereka berdua. Anak-anak dan para kerabat sudah pulang, setelah berjaga semalaman. Yogyakarta sedang menyongsong pagi.

Entah mengapa, Barbara Maria Susanti, perempuan itu, tergerak meraba nadi pria yang terbaring di depannya, mencari detak jantungnya, dan melacak embusan napasnya. Semuanya negatif. Demikianlah perupa Lian Sahar berpulang dalam sunyi, didampingi istri yang dinikahinya pada 1968. "Tepat pukul setengah enam," kata Susanti, menahan tangis.

Lian Sahar, yang lahir di Kutacane, Aceh, pada 2 Januari 1933, menjalani kembara panjang di jagat seni rupa Indonesia. Menyelesaikan pendidikan sekolah menengah lanjutan atas di Medan, ia pindah ke Jakarta, mengambil kuliah di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia.

Hanya sebentar, Lian hijrah ke Yogya, mulai belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia-kini Institut Seni Indonesia. Mantan anggota Tentara Pelajar Aceh yang gelisah itu kemudian bergerak ke Bandung, masuk Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Ternyata panggilan Yogya jauh lebih kuat. Lian kembali ke kota lesehan dan pelesetan itu, jatuh cinta dan beranak-pinak-sampai akhir hayatnya.

Lukisan-lukisan Lian sarat dengan penjelajahan batin dan perambahan gagasan. Ada masanya dia menghasilkan karya-karya sketsa yang tidak mengandalkan garis, tapi semata-mata warna dan komposisi. Ada pula saatnya dia menggambar hanya dengan spidol hitam, terkesan sama sekali tidak mempertimbangkan bidang.

Sebagai penata artistik untuk pementasan-pementasan Bengkel Teater Rendra, Lian menunjukkan ketangkasannya bermain dengan ruang, cahaya, dan gerak tubuh. Ia pekerja keras dan pengamat yang teliti. Dalam lukisan-lukisan abstraknya yang terkesan "liar" itu selalu bisa ditemukan kesidikan yang cermat, bahkan yang mengesankan "pertimbangan". Dengan keempuan seperti itulah Lian dua kali berturut-turut memenangi Biennale Seni Lukis Indonesia-prestasi yang bisa dibilang langka.

Lian sebetulnya bukan tipe orang sakit-sakitan. Tapi, sekitar setahun lalu, ketika melukis, ia salah duduk di kursi kosong: tulang ekornya retak. Gangguan itu merambat ke sistem saraf dan mengundang penyakit lain. Tubuhnya setengah lumpuh dan bergantung pada kursi roda dan bantuan orang lain. Laki-laki yang biasa aktif ini seperti patah semangat.

Ketika saya bersama Goenawan Mohamad dan perupa Djoko Pekik menjenguknya, Februari lalu, Lian sudah tampak parah. Kesadarannya terombang-ambing, meski ia masih mengenali kami. Ketika saya membisikkan, kami berencana mempersiapkan pameran tunggalnya, Lian hanya mengucapkan sepatah kata, "Takut."

Lian, yang juga rajin menulis sajak, memang seorang perfeksionis. Ia mengikuti berbagai pameran bersama di Asia, Eropa, dan Amerika, termasuk pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, tapi-kalau tak salah-hanya sekali menggelar pameran tunggal di Singapura.

Gempa politik 1965 sempat mengirim Lian Sahar ke penjara Wirogunan, Yogyakarta, dengan tuduhan yang sungguh absurd. Pelukis abstrak itu dicurigai sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat, padahal Lekra dikenal sangat memusuhi kesenian abstrak. Keluar dari penjara, ia malah ditanggap mendekorasi Musabaqah Tilawatil Quran Tingkat Nasional di Banda Aceh.

"Saya tidak akan berhenti melukis selagi Tuhan memberi kekuatan untuk bergerak," kata Lian sekali waktu. Menjelang hari-hari akhirnya, "kekuatan" itu tampaknya mengajak Lian berdamai seraya mengakhiri perjalanan yang sungguh panjang itu.

Diantar para sahabatnya, perupa dan pekerja kebudayaan Yogya, jenazah Lian Sahar dibaringkan di Pemakaman Seniman Giri Sapto di Imogiri, sekitar 17 kilometer dari Yogya arah tenggara. Pensiunan dosen Institut Seni Indonesia itu meninggalkan empat anak dan tiga cucu. "Kami akan menjadikan rumah ini galeri," kata Susanti, lulusan Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada, menunjuk rumah mereka bersama di kawasan Pogung Baru, Yogya. (Amarzan Loebis)
Sumber: Tempo edisi 26/39 tanggal 23 Agustus 2010
Ket foto: Lian Sahar

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger