Anggota Komisi X DPR asal Papua
UNTUK menciptakan situasi politik yang kondusif bagi pembangunan Papua, Habibie memprakarsai dialog dengan pimpinan Papua yang diwakili oleh Tim Seratus pada Februari 1999.
Tujuh bulan setelah dialog dengan Tim Seratus, Pemerintahan Habibie mengeluarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya. UU tersebut mengatur pemekaran Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, serta pemekaran Kabupaten Paniai, Mimika, Jayapura, dan Kota Sorong, pada 4 Oktober 1999. Semua ini bertujuan untuk menciptakan kondisi politik yang lebih kondusif untuk pembangunan di Papua.
Namun tujuan ini jauh panggang dari api. UU Nomor 45 Tahun 1999 justru membangkitkan oposisi masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Pengesahan UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut dilihat sebagai payung untuk kebijakan yang memecah belah Irian Jaya pada masa itu.
UU tersebut akhirnya tidak dapat dijalankan mengingat resistensi tidak hanya berasal dari masyarakat tapi juga dari pemerintah daerahnya. Tawaran otonomi saja tidak cukup. Tuntutan kemerdekaan Papua semakin kuat dalam masyarakat. Akhirnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) meminta kepada pemerintah agar memberikan otonomi khusus kepada Papua, yang kemudian ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor 4 Tahun 1999.
Untuk menidaklanjuti Ketetapan MPR No. 4 Tahun 1999 tersebut, maka pada masa Presiden Megawati Soekarnoputeri terbitlah UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, sebagai hasil kompromi politik pemerintah dengan para pemimpin dan intelektual Papua moderat, dalam upaya mencari solusi bagi berbagai persoalan di Papua secara menyeluruh.
Hampir semua agenda politik yang dirumuskan dalam Kongres Rakyat Papua 2000, diakomodir dalam UU tersebut, kecuali tuntutan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu yang terpenting berkaitan dengan pembangunan di Papua adalah pengakuan negara pada bagian “Menimbang UU Otsus huruf (F), bahwa peneyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum mendukung tegaknya hukum dan keadilan serta belum menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia.”
UU Otsus berlaku sejak awal tahun 2002. Hingga Otsus diberlakukan, model pembangunan yang diterapkan tidak banyak berubah. Perubahan yang mencolok sejak Otsus diberlakukan adalah meningkatnya dana pembangunan yang masuk ke Papua. Tak ada hal yang lain. Pembangunan ekonomi yang capital intensive masih sangat dominan sehingga masyarakat baik yang di kampung maupun di perkotaan tetap menjadi penonton. Meski UU Otsus dengan jelas mengatakan, “memberdayakan ekonomi berbasis masyarakat adat”, belum ada kebijakan yang benar-benar mengarah kepada kepentingan masyarakat adat.
Pemerintah pusat dan elite politik lainnya di DPR menutup peluang dan pengaruh para separatis dan simpatisannya, dengan mendorong pemekaran, baik provinsi maupun kabupaten. Langkah konroversial pertama adalah pemekaran Papua menjadi tiga provinsi, melalui Inpres No. 1 Tahun 2003. Meskipun menimbulkan komplikasi hukum yang rumit, memperburuk hubungan pendukung Otsus dengan pemerintah pusat, dan memperburuk citra Indonesia sebagai negara hukum, langkah ini dianggap secara politis berhasil melemahkan kontrol kelompok separatis atas akses-akse anggaran dan kekuasaan pemerintah di Papua.
Pemekaran semakin tak terkendali karena pemekaran juga mengilhami banyak elit lokal di Papua untuk terus menerus membuat kampung baru, kecamatan baru, kabupaten baru, dan provinsi baru. Telah tercatat pada tahun 2008, dari 14 kabupaten di bawah satu Kota Administratif (Jayapura), sekarang ini telah menjadi 37 kabupaten dan dua Kota Administratif (Jayapura dan Sorong). Alasan yang belum pernah terbukti dari pemekaran adalah mendekatkan pemerintah dan akses pelayanan publik. Pada praktiknya, unsur-unsur perilaku pejabat daerah baru yang mengarah pada pelayanan yang lebih terjangkau dan dekat belum bisa ternilai. Kenyataan sementara ini menunjukkan bahwa anggaran baru untuk daerah otonomi baru diserap sebagian besar untuk pembangunan fasilitas baru aparatur pemerintahannya.
Berkaitan dengan pelaksanaan UU Otsus, timbul beberapa masalah yang harus menjadi perhatian. Pertama, belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman tentang Otsus itu sendiri. Sejak awal terbentuknya UU Otsus, sudah ada perbedaan persepsi dan kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkam perbedaan ini hingga terjadi pada masyarakat. Pemerintah pusat belum memiliki komitmen untuk mendorong pembangunan di Papua sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Otsus. Tindakan inkonsistensi ini mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat provinsi maupun kabupaten menjadi sangat pragmatis. Bahkan ada ketakutan pada pemerintah pusat bahwa Otsus akan dijadikan sasaran antara untuk agenda separatis. Dengan demikian pemerintah pusat justru mendorong agar pemekaran wilayah Papua harus terus ditingkatkan.
Kedua, kegagalan pemerintah pusat dalam membuat peraturan pelaksanaan, baik untuk pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten, berkaitan dengan UU Otsus. Kegagalan ini mengakibatkan baik pemerintah pusat maupun daerah, menjalankan UU Otsus sesuai dengan penafsiran sendiri dan disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan yang lainnya sesuai keinginan dan kepentingan masing-masing. Dampak negatif selanjutnya adalah terjadi berbagai persoalan administrasi dan keungan daerah yang pada gilirannya menciptakan korupsi di kalangan pemerintah daerah dan pusat, serta proses operasional pemerintahan menjadi sangat pragmatis.
Ketiga, restrukturisasi wilayah yang justru mendatangkan berbagai persoalan baru. Alasan rentang kendali dan peningkatan pelayanan publik justru digunakan oleh kelompok elit baru untuk mengejar berbagai kepentingan pribadi dan kelompok kekuasaan. Realitas sosial menunjukkan bahwa restrukturisasi dan pemekaran wilayah tidak didukung dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Semua wilayah pemekaran tidak siap dan belum memiliki pusat pelayanan publik yang memadai. Sampai pada titik ini, perlu diakui bahwa pemekaran wilayah justru mendatangkan beberapa persoalan seperti, (i) terjadi akumulasi kekuasaan oleh pemerintah daerah sengan menciptakan ‘raja-raja kecil’ di daerah, (ii) tidak jelasnya pendelegasian tugas dan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah hingga ke tingkat distrik, (iii) dana pembangunan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat sebagaimana amanat UU Otsus, justru digunakan untuk kepentingan pembangunan prasarana dan sarana fisik bagi para pegawai negeri di daerah pemekaran.
Keempat, pemekaran yang tidak dilandasi dengan persyaratan-persyaratan administratif dan ketentuan UU yang berlaku menimbulkan persoalan baru di kemudian hari seperti batas wilayah. Ambil contoh kasus Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Asmat. Kemudian, Kabupaten Puncak Papua dengan Kabupaten Mimika dan Kabupaten Mimika dengan Kabupaten Paniai. Tak hanya itu, tetapi muncul juga konflik bernuansa etnis terutama soal perebutan kekuasaan dalam proses pemilu baik legislatif maupun bupati/wakil bupati. Dengan demikian, substansi dari tujuan pembangunan memajukan dan mensejahterakan rakyat hanya semu.
Keempat, Otsus sebagai tata bahasa (gramatika) politik pemerintah pusat dengan menggunakan instrumen politik pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah Papua yang sekarang sedang giat dilaksanakan oleh pemerintah pusat dengan alasan rentang kendali dan akses terhadap pelayanan publik, justru oleh orang asli Papua dinilai sebagai politik ‘devide et impera’ secara laten. Penilaian orang asli Papua terhadap kebijakan pemekaran wilayah sebagai politik laten ‘devide et impera’, instrumen politik yang menghilangkan rasa persatuan dan kesatuan di antara orang asli Papua.
Sumber: Mimbar Politik, edisi 6-12 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!