Headlines News :
Home » » Menjaga Harmoni, Mendobrak Tirani

Menjaga Harmoni, Mendobrak Tirani

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, September 15, 2010 | 3:15 PM

Oleh: Said Aqiel Siradj
Ketua Umum PBNU

Indonesia kembali berduka. Di saat umat Islam merayakan Idul Fitri yang menyimbolkan kembalinya manusia ke fitrahnya yang baik, justru kekerasan terjadi. Kasus penganiayaan terhadap jemaat HKBP Pondok Timur Indah Bekasi menjadi saksi telah membuncahnya kembali kekerasan. Wajar bila muncul amatan bahwa peristiwa tersebut bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan rentetan kasus sebelumnya. Banyak juga yang melihat bahwa sumber persoalan yang menyebabkan sering terjadinya konflik antarumat beragama adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Izin Pembangunan Rumah Ibadah. Pemerintah sudah seharusnya menjamin kebebasan umat beragama apa pun untuk beribadah.

Tampaknya, tren konflik antarumat beragama terus meningkat. Bahkan, ada tengara toleransi antarumat beragama belakangan mulai sedikit luntur. Angka perusakan rumah ibadah dan tindak anarkistis antarumat beragama meningkat. Konflik sejenis itu agaknya masih sangat mungkin terjadi di negeri yang pluralis seperti Indonesia. Celakanya, konflik tersebut kerap diwarnai tindak kekerasan. Apa pun alasannya, kekerasan yang berbau agama harus dihindari. Negara kita adalah negara hukum. Konstitusi menjamin kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama kepercayaannya.

Kesatuan umat manusia

Keberadaan beragam agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di Bumi. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan dapat berkembang. Oleh karena itu, upaya penghancuran suatu komunitas dan simbol-simbol agama merupakan hal yang sangat dilarang dalam agama Islam. Dalam Alquran surah Al-Hajj ayat 40 menyatakan bahwa gereja, sinagoga, masjid, dan rumah ibadat lainnya merupakan tempat banyak orang mengagungkan dan membesarkan nama Tuhan.

Panduan Alquran itu yang mestinya menjadi dasar bagi umat Islam dalam mengembangkan semangat pluralis di Indonesia. Ajaran Islam jelas-jelas meneguhkan semangat menghargai kemanusiaan yang tidak terbatas oleh sekat-sekat primordial dan agama.

Nabi Muhammad sudah banyak memberikan teladan. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi Muhammad segera memobilisasi dana masyarakat untuk kemudian diberikan kepada pihak keluarganya. "Barang siapa yang membunuh nonmuslim, ia akan berhadapan dengan saya," tegas beliau. Ketika melaksanakan haji, Nabi Muhammad berkhotbah di hadapan sekitar 15.000 orang Islam di Mekah. Yang menarik, dalam khotbah itu, seruan Nabi Muhammad ditujukan kepada seluruh umat manusia (ya ayyuhan naas), bukan muslim saja.

Dalam khotbah tersebut, Nabi Muhammad menandaskan kesatuan semua manusia, tanpa memandang agama, suku, dan atribut primordial lain. Semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka pembunuhan, gangguan atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap penciptaan mereka.

Jelaslah, membunuh orang karena alasan beda keyakinan berarti sama dengan membunuh muslim, karena pencipta mereka adalah sama. Membakar gereja sama dengan membakar masjid, karena semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia.

Tirani fikih

Konsep hubungan muslim dan nonmuslim pada masa lampau--sebagaimana terlihat dari berbagai kitab klasik--didasarkan pada hukum perjanjian perlindungan. Maka, lahirlah istilah ahl al-dzhimma. Dalam perjanjian tersebut, ahl al-dzhimma wajib membayar pajak (jizyah) sebagai substitusi untuk melindungi mereka. Di satu sisi, perjanjian ini tidak dibatasi waktu dan berbeda dengan, misalnya, perjanjian gencatan senjata yang mensyaratkan waktu tertentu. Akan tetapi, di sisi lain, perjanjian ini tidak memberikan akses kepada nonmuslim untuk menjadi kepala negara.

Al-Shaybani, misalnya, menjelaskan bahwa larangan membangun gereja baru hanya berlaku apabila kaum muslimin merupakan mayoritas di wilayah tersebut. Alasannya, di daerah itu, kaum muslimin melakukan ibadah salat Jumat dan Idul Fitri serta hukum hudud diberlakukan. Mengizinkan mereka membangun gereja berarti memperlemah dan melawan kaum muslimin secara formal. Namun, bila mereka mayoritas sehingga salat Jumat dan hukum hudud tidak diberlakukan, maka tentu saja mereka tidak dilarang membangun gereja baru.

Al-Sarakhsi menuturkan bahwa para ahli fikih klasik ada yang berpendapat bahwa ahl al-dzhimma tidak dilarang sama sekali membangun gereja baru di desa. Sebab adanya larangan didasarkan pada alasan (illat) bahwa kota merupakan tempat munculnya simbol-simbol Islam seperti salat Jumat, Idul Fitri, dan hukum hudud.

Nah, selintas paparan pandangan fikih klasik tersebut, yang menarik dicatat di sini, faktanya dari bahasan fikih klasik tentang hubungan muslim dan nonmuslim, betapa pun para ahli fikih klasik mengakui keberadaan agama lain, mereka cenderung menempatkan agama lain dalam kedudukan inferior dan dalam konteks keadaan perang, kecuali bagi ahl al-dzhimma yang berkewajiban membayar pajak sebagai pengganti perang.

Pandangan-pandangan fikih klasik tersebut rasanya masih melingkupi benak umat Islam saat ini. Ini menjadi 'duri dalam daging' dalam membangun harmoni antaragama dan yang membuat tirani mayoritas. Sudah waktunya ada upaya rekonstruksi.

Pandangan fikih klasik tersebut pada dasarnya dilatari berbagai faktor. Pertama, secara historis, pengaruh-pengaruh kumulatif sebagai akibat pertentangan antara muslim dan nonmuslim (terutama dengan umat Kristiani) telah menciptakan sikap dan perilaku superioritas terhadap yang lain.

Kedua, mode berpikir atomistik yang mendominasi kebudayaan Islam masa lampau telah menghadang para ahli fikih klasik untuk melakukan kontekstualisasi atas teks. Para ahli fikih klasik masih sangat terwarnai oleh teologi superior.

Ketiga, pada umumnya sebuah sistem nilai yang normatif entah itu agama atau ideologi tak dapat mengelakkan sumber yang bersifat eksklusif. Setiap sistem normatif menuntut komitmen pada pengikutnya dan memberikan sanksi bagi pembangkangan terhadap doktrin. Dasar komitmen itu adalah keyakinan bahwa ketaatan terhadap sistem akan membawa pada keuntungan moral dan material yang tak dapat dicapai tanpa menaati pada sistem normatif.

Sebab itulah, perlu kembali pada prinsip umum ajaran Islam (maqhashid al-syari'ah) tentang eksistensi agama lain, yakni pengakuan terhadap keesensialan kemanusiaan mereka dan keabsahan de facto dan de jure sebagai bagian integral dari suatu komunitas tunggal. Hubungan muslim dengan pemeluk agama lain wajib dipandang sebagai anggota yang memiliki tanggung jawab terhadap keutuhan komunitas.

Walhasil, kebutuhan untuk melakukan rekonstruksi dan kontekstualisasi terhadap pandangan fikih klasik mengenai hubungan muslim dan nonmuslim sudah tak dapat dihindari. Dulu, para ahli fikih klasik membangun keputusan hukumnya di tengah situasi antagonistik Islam dan agama lain. Dan kini dunia sudah berubah menuju penguatan kebersamaan. Ini demi meneguhkan kembali misi substansial Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Esensi agama sesungguhnya adalah mengajarkan manusia untuk menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan menjunjung tinggi rasa cinta kasih dan keadilan tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan etnis. Bila itu tak menjasad dalam agama, agama hanya menjadi selilit bagi relasi kemanusiaan.
Sumber: Media Indonesia, 15 September 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger