budayawan & wartawan senior
Sebuah klise: What is in a name?
Sejak lakon Romeo and Juliet dipentaskan di tahun 1597, kata-kata itu diulang dalam berjuta-juta percakapan. Tiap kali orang kerepotan karena soal nama, dikutiplah Juliet (atau persisnya Shakespeare) di adegan itu: nama bukan soal penting. Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, meskipun Capulet dan Montague lain bermusuhan.
What's Montague? It is nor hand, nor foot, Nor arm, nor face, nor any other part Belonging to a man.
Nama, buat Juliet, hanya tempelan. Nama bukan tangan, kaki, lengan, atau wajah. Romeo, doff thy name!, katanya kepada sang pacar agar menanggalkan tempelan itu. Juliet sedang mabuk kepayang. Baginya cintanya tak akan buyar kalaupun Romeo Montague menamakan diri "Johny Puyol."
Tapi klise terjadi karena repetisi dan, dalam hal ini, repetisi terjadi karena ternyata orang berkali-kali dibikin repot oleh nama. Romeo and Juliet jadi sebuah tragedi (yang dikenang terus selama hampir 500 tahun) justru karena Juliet salah berteori; ia tak tahu ada banyak hal yang terdapat dalam sebuah nama.
Terutama di Indonesia. Di negeri ini, pemberian nama adalah sebuah kehebohan. Di masa kecil, Bung Karno diganti namanya dari "Kusno" jadi "Sukarno". Ayahnya berharap anak laki-laki itu tak akan sakit-sakitan lagi. Malah dengan nama baru itu ia diharapkan akan seperti Karna, tokoh cerita wayang itu. Menurut penuturan Bung Karno sendiri, ayahnya menganggap Karna seorang patriot; semangatnya mudah-mudahan akan diteruskan si anak.
Keputusan sang ayah menunjukkan bahwa nama bukan sekedar tempelan. Nama punya daya performatif.
Ya, Juliet salah.
Bung Karno, seperti Pak Sukemi, ayahnya, juga tak sembarangan memberi nama anaknya. Yang laki-laki: "Guntur", "Guruh", Taufan" -- kata-kata yang punya daya sugestif tentang kedahsyatan alam. Yang perempuan: "Mega" dan "Sukma". Kedua kata itu menimbulkan asosiasi kepada apa yang halus dan lembut. Tentu saja selain makna dan daya asosiatif, faktor bunyi penting: "Guntur" dan "guruh" dipilih karena lebih bagus terdengar ketimbang "gledek". Bung Karno & segenap bangsa Indonesia akan malu seandainya di Istana Merdeka ada seorang anak bernama "Gledek Sukarnoputra".
Tapi tampak, nama seorang anak lebih mencerminkan hasrat (dan sifat) orang tua ketimbang nasib si anak. "Guntur", "guruh", "taufan", "mega" menunjukkan kesukaan Bung Karno akan hal-hal yang sublim, yang tak statis, dan terkait dengan langit.
Pelukis Djoko Pekik - seorang perupa Lekra yang datang dari sebuah desa Jawa Tengah yang miskin - melihat ke arah lain. Nama anak + cucunya dipinjamnya dari benda sehari-hari yang tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril ("paku rel kereta api"), Lugut ("miang pada bambu"), Drejeg Lalang ("umbi alang-alang"). Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sadar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.
Anak-anak memang tak memilih namanya sendiri. Mungkin ini bagian dari kolonisasi orang tua. Maka tak jarang ketika jadi dewasa dan mandiri, seorang anak Indonesia mengubah namanya yang ia rasakan tak cocok lagi buat dirinya: Yapi Panda Abdiel Tambajong jadi "Remy Silado", sastrawan tenar. Almarhum wartawan Budiman S. Hartojo lahir sebagai Munawir. Apalagi di Jawa Tengah: orang lazim meninggalkan nama muda dan memakai jeneng tuwa: Harjowiryo, dulu Sukidi.
Nama, dengan demikian, sebuah pengukuhan diri dan penanda transisi.
Tapi yang ditandai tak hanya transisi pribadi. Indonesia pernah menyaksikan politik penamaan bergerak dalam skala besar - satu bukti bahwa bahasa, yang punya kekuasaan atas diri kita, juga terlibat dengan benturan kekuasaan di masyarakat luas. Untuk memperkuat ke-Indonesia-an, elite politik mendesak orang Indonesia keturunan Cina mengubah namanya agar tak terasa "Cina" lagi. Peng-Indonesia-an juga ditujukan ke yang lain. Bung Karno memberi nama baru kepada bintang film Lientje Tambayong - karena bunyi "tje" itu adalah warisan Belanda - dan jadilah "Rima Melati."
Politik penamaan bisa dilakukan berbeda. Di Jawa, nama menunjukkan kelas: "Suryo Sumirat" nama khas bangsawan; "Paidin," "Kromo" umumnya petani. Sebagai satu sikap politik, para tokoh PKI menyebut diri seperti kaum bawah itu: Njoto, Njono, Rewang. Njoto dan Njono tak memakai sebutan "Su-," karena sering yang pakai "Su" di awal namanya adalah priyayi.
Tapi akan salah untuk menyimpulkan bahwa kita selalu memberi bobot politik pada sebuah nama. Orang Tapanuli tak jarang memberi nama anak dengan hal yang tak luar biasa: "Radio", "Kantor", "Sutradara", misalnya. Di Jawa Barat, ada ayah yang memberi nama mirip merk mobil: "Fia Fiati" atau "Honda Impalawati."
Nama juga dipakai untuk pengingat-ingat. Seorang pelukis Bali menamai anaknya "I Made Waikiki", diambil dari nama Pantai Waikiki, Honolulu. Anak peremuan itu lahir ketika sang ayah berpameran di Hawaii. Ada yang bernama "Amagapa": untuk mengingat kapal Amagapa yang membawa ayah ibu ke Manado. Ada "Delanov": ia lahir 8 November. Ada "Ampeno Herlino". Artinya, "Ampek Nopember Hari Lahirnyo" (dia orang Minang).
Jika kita amati, sumber yang dipakai untuk menemukan nama di Indonesia tak terbatas ragamnya. Bisa pangkat militer: "Kapten", "Letnan", atau tokoh sejarah: "Gandhi", "Kennedy", "Mussolini".
Ada juga judul buku. Saya beri nama anak saya pertama "Hidayat Jati". Seorang teman di Amerika bertanya apa maksud kata-kata itu. Saya jawab, saya tak tahu; saya cuma mengambilnya dari judul buku Ronggowarsito, sastrawan Jawa abad ke-19. Teman saya terbelalak: "Kamu sampai hati menamai anakmu seperti judul buku?" (Dia pasti tak akan memberi nama anaknya "Gone With the Wind").
Tapi orang Indonesia tak mudah terbelalak dalam soal ini. S. Prinka almarhum, desainer grafis Majalah TEMPO, mendapatkan namanya dari akronim: "Prinka" adalah "Perjuangan Republik Indonesia Merdeka"; maklumlah, ayahnya seorang perwira polisi di masa revolusi. Teman saya, Choki Sapta Wanusi, hasil akronim yang lain: "Sapta" berarti "tujuh", dan "Wanusi" dari "Pahlawan Revolusi". Bisa diperkirakan ia lahir kapan.
Begitu beragamnya sumber yang dipakai, hingga terkadang sulit kita melacak "etimologi" sebuah nama Indonesia. Ada seorang yang punya nama "Marmorita-rita stell taurantia gutata". Saya tak tahu apa artinya dan kenapa dipilih. Tampaknya ada semacam anggapan, dahsyatnya nama tergantung dari panjangnya. Misalnya (ini benar-benar ada): "Buyung Abdurahman Nanda Aria Megat Sambat Elang di Laut." Orang tak perlu cemas bagaimana memanggilnya. Toh akhirnya si anak cuma dipanggil dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Si Marmorita-rita stell taurantia gutata, misalnya, dipanggil "Muning".
Tapi nama juga bisa dipilih tanpa mau terdengar dahsyat, bahkan tanpa ornamen. Ada anak yang dinamai "Disiplin Pribadi" (dipanggil "Ipin"). Penyanyi Melly Goeslow dan suaminya Anto Hoed punya anak yang mereka beri nama yang lugas: "Anakku Lelaki".
Lucu? Bagi saya, charming. Dalam hal menciptakan nama, saya kira bangsa Indonesia paling inovatif, dan paling bebas, di dunia. Dan dalam suasana jengkel kepada Malaysia kini, saya bisa menghibur anda bahwa kita lebih kaya dalam perkara ini. Di Malaysia, variasi nama Melayu tak jauh beranjak dari Anwar, Badawi, Harun, Muhammad, Musa...
Sebenarnya Malaysia tak aneh. Di Amerika, Eropa, dan dunia selebihnya, yang ada hanya varian nama baptis yang itu-itu juga: John, Paul, Tom, James, William. Di Amerika bisa disusun buku pedoman memberi nama bayi. Di Indonesia itu mustahil.
Maka bagi orang Amerika & Eropa, nama-nama Indonesia membingungkan. Ada satu pasangan Jerman yang memberi nama bayinya "Lilian Ayu". Ketika didaftarkan untuk administrasi penduduk, si petugas tak mau menerima; "ayu" itu bukan nama, katanya. Tak menyerah, si ayah pun membeli novel Saman, dengan foto Ayu Utami di sampul. Buku itu ditunjukkan ke sang birokrat. Baru ia tahu, "Ayu" bukan sayur-mayur.
Kebingungan yang lebih terkenal menyangkut apa yang disebut surname. Umumnya di Indonesia orang tak memakai "family name" - atau tak ada ketentuan yang pasti tentang itu. Ketika Ahmad Sahal mendaftarkan anaknya, Sri Mulyani, ke sebuah sekolah di Inggris, ia dipanggil "Mr. Mulyani". Orang Inggris tak tahu, di Indonesia, orang tak selalu mengikuti nama suami atau ayah.
Kita sering repot tentang itu, tapi sebenarnya kita bisa bangga. Sebab diam-diam di sini tersirat pengakuan bahwa tiap orang tak mesti tergantung identitasnya dari kepala rumah tangga.
Qori Sandioriva, misalnya. Ia muncul sebagai dirinya, Miss Indonesia Universe 2010, bukan sebagai anggota sebuah keluarga; "Sandioriva" itu "Qori". Bukan wakil sebuah puak. Dari nama itu, tak tampak dari "suku" apa atau dari agama apa dia. Ia wakil Indonesia.
Sebagaimana Rima Melati. Bung Karno telah meneladani ke-Indonesia-an dengan memilih nama itu, sebagaimana ia memberi nama putrinya "Megawati", bukan "Waljinah". Bung Karno menghindari nama yang tipikal Jawa (atau kelompok suku dan etnis lain), dan dengan demikian menunjukkan: tanahair ini bukan hanya multi-kultural, melainkan "inter-kultural".
Jika di Malaysia atau Singapura ada garis yang jelas antara "Harun" dan "Stephen", di Indonesia kita bisa bersua dengan "Stephen Harun" dalam diri satu orang. Jika di Semenanjung Muhammad Ali pasti orang yang masuk dalam kategori Melayu, di sini belum tentu. Tigapuluh tahun yang lalu seorang teman punya kenalan bernama Muhammad Islam. Agamanya Kristen.
Juliet salah, tapi ada bagusnya dia bertanya., What is in a name? Sebab ternyata banyak cerita dalam sepotong nama. Terutama jika kita tak anggap nama sebagai tanda identitas yang mengungkung, melainkan sebagai tanda bahwa manusia adalah pribadi-pribadi. Merdeka. Bukan sebuah eksemplar dari sebuah himpunan. Bukan sebuah angka.
Sumber: Tempo edisi 28/39 tanggal 6 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!