pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia;
Aktivis Gerakan Indonesia Bersih
Aktivis Gerakan Indonesia Bersih
Tanggal 20 Oktober seperti angka keramat. Pasalnya, tersiar kabar aktivis prodemokrasi dan akademisi kampus bakal turun ke jalan mengibarkan bendera protes terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai lamban dan gagal.
Ada spekulasi bahwa gerakan ini bermaksud menurunkan Presiden dengan cara radikal dan inkonstitusional. Spekulasi ini berlebihan seperti Protap Anti-anarkisme yang berlebihan merespons gerakan massa, padahal polisi bisa mengantisipasi keadaan kalau fungsi intelijen bekerja dengan benar.
Spekulasi berlebihan sudah terbukti salah ketika terjadi demonstrasi 9 Desember 2009 dan 21 Januari 2010. Anehnya, pemerintah sering kali terjebak dalam spekulasi parsial tak obyektif. Masalahnya bukan pada fungsi intelijen semata, melainkan pemerintah sendiri. Pemerintah terlalu mudah takut, bahkan takut dengan bayangan sendiri.
Setiap aksi protes diterjemahkan sebagai upaya penggulingan kekuasaan. Padahal, substansi protes publik adalah mendorong pemerintah melakukan perubahan konkret. Karena hakikat berkuasa bukan kekuasaan an sich, melainkan kebaikan umum. Implikasinya, energi pemerintah mesti digunakan mengurus rakyat, bukan menyelamatkan diri atau kelompok politik. Kita sedang terjebak dalam kerumitan kompleks. Masalah ada di setiap matra. Dibutuhkan keberpihakan yang berlandaskan komitmen dari para pemegang kekuasaan.
Pesannya, pemimpin harus tahu diri sekaligus tahu situasi masyarakat. Masyarakat terjepit di antara harapan dan kenyataan. Besar harapan bahwa hidup berubah menjadi lebih bermutu, tetapi kenyataannya pemimpin asyik dengan permainan kepentingan sehingga tidak ada penghayatan tentang kesejahteraan rakyat sebagai teleologi fundamental kekuasaan.
Dalam keterdesakan yang kompleks ini, pemimpin seharusnya berdiri bersama rakyat, memerangi ketidakadilan, kemiskinan, dan kekacauan sosial. Ia mesti bertindak sebagai avatar, penjelmaan sejati dari dewa kebaikan yang bekerja melawan kejahatan dan memperbaiki situasi hidup yang tidak adil.
Avatar, dalam tradisi Hindu, adalah penjelmaan Dewa Wisnu untuk kebaikan umat manusia. Konsep mesianis semacam ini ada dalam setiap agama manusia. Substansinya mirip, keselamatan manusia adalah substansi dari keseluruhan peradaban. Andaikan gerakan sipil dipandang dari sudut ini, pesan baiknya bisa ditangkap, sehingga aksi protes tak dilihat sebagai makar, tetapi manifestasi fungsi pengawasan oleh rakyat.
Betul, harmoni mengandaikan nihil konflik. Tetapi, demokrasi tak bisa hadir tanpa konflik. Konflik adalah realitas inheren dari kehidupan sosial (Duverger, 1979). Hanya saja, politik demokrasi punya mekanisme konstitusional dalam mengelola konflik. Maka, tema besar kita seharusnya bagaimana menciptakan harmoni di tengah pertentangan politik antara pemerintah dan kelompok sipil. Tak bisa temanya dikebiri pada arena penggulingan kekuasaan atau percobaan pembunuhan politik, seolah-olah demonstrasi itu inkonstitusional.
Postulat ini bisa dimengerti dengan mudah, tetapi sulit diterapkan kalau tidak disertai keberanian dan kebesaran jiwa pemerintah memahami intensi dari setiap gerakan protes. Selain itu, tentu dibutuhkan juga kecerdasan dan konsistensi dari kelompok sipil untuk bergerak semata-mata demi perubahan sosial-politik, bukan kepentingan parsial.
Sudah kenyataan, setiap aksi besar (fakta pertama), Presiden selalu berada di luar Jakarta (fakta kedua). Tidak perlu indikator khusus untuk mengaitkan fakta pertama dan fakta kedua sehingga dengan memakai logika linear, kita bisa memegang asumsi bahwa Presiden pun bakal ada di luar Jakarta 20 Oktober mendatang.
Kalau itu yang terjadi, jangankan aksi protes, tulisan ini pun tidak penting dibaca. Tesis perubahan yang ada di benak para aktivis tak akan pernah dipahami karena pemerintah sudah mematok batas. Selama ada jarak antara kelompok sipil dan pemerintah, mustahil ada kesepahaman dan dialog. Padahal, kesepahaman dan dialog itu penting untuk perubahan.
Pengharapan dan perubahan hanya bisa menyatu dalam kenyataan apabila pemerintah memegang persepsi positif tentang segala model kritik. Artinya, aksi protes perlu dilihat sebagai partisipasi politik dalam praktik demokrasi. Karena partisipasi publik adalah satu prasyarat utama demokrasi, pemerintah tak memiliki alasan menghindar dari kenyataan apalagi menyalahkan kenyataan (baca: aksi protes).
Bagaimanapun, menjadi avatar memerlukan keberanian. Peringatan setahun periode kedua pemerintahan SBY pada 20 Oktober adalah momentum untuk merapatkan persepsi, bahwa yang dibutuhkan negeri ini adalah sosok avatar, pemimpin mesianis yang bekerja sepenuhnya untuk rakyat. Konsekuensinya, kalau pemerintah serius mau tampil sebagai avatar ke depan, maka patahlah seluruh dalil tentang pembangkangan politik yang selama ini dicurigai hendak menggulingkan pemerintah.
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!