Mendung yang menggayut tak menghalangi ratusan manusia mengantar Mangombar Ferdinand Siregar ke peristirahatan terakhirnya di pemakaman umum Petamburan, Jakarta Pusat, Selasa dua pekan lalu. Di antara pelayat tampak pasangan peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992: Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma.
M.F. Siregar wafat di usia 82 tahun, meninggalkan lima anak serta sembilan cucu. Istrinya, Darliah Nasution, telah lebih dulu tutup usia beberapa tahun lalu. Siregar mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, setelah dirawat selama 34 hari akibat stroke. Jenazahnya sempat disemayamkan di rumah duka, Jalan Kemanggisan Ilir Nomor 15, Jakarta Barat.
Para atlet yang pernah diasuhnya mengenang M.F. Siregar sebagai pembina penuh disiplin di tempat latihan, tapi banyak canda dan keakraban di luar lapangan. "Opung sudah saya anggap bapak sendiri," kata Rosiana Tendean, juara ganda putri bulu tangkis Indonesia Super Series 1987. Opung adalah panggilan akrab para atlet kepada Siregar.
Tangan dingin M.F. Siregar mulai terlihat saat menangani tim renang di Pekan Olahraga se-Asia Tenggara di Kuala Lumpur, 1977. Kontingen Indonesia semula dipandang sebelah mata oleh negara lain. Favorit saat itu adalah Filipina, Thailand, dan tuan rumah Malaysia. Tapi di hari pertama, atlet-atlet Indonesia langsung merebut enam dari tujuh medali emas yang dipertandingkan. Selanjutnya, kontingen Indonesia tak terbendung merebut gelar juara umum.
Salah satu penyumbang medali terbanyak adalah atlet-atlet renang. Kristiono Sumono, Gerald H.P. Item, Lukman Niode, dan Naniek Juliati adalah nama-nama yang merajai kolam renang di stadion Kuala Lumpur. M.F. Siregar melatih mereka secara sistematis dan modern mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi keolahragaan kiwari.
Para atlet dikirim berlatih ke San Diego, Amerika Serikat. Kemudian pelatih asing didatangkan ke Indonesia. Postur tubuh perenang Indonesia yang kecil diatasi dengan perbaikan gizi serta dilaksanakan konsep renang tujuh jam sehari serta lomba renang secara berkala.
Puncak prestasi M.F. Siregar adalah saat diminta menjadi Kepala Proyek Barcelona merangkap Ketua Bidang Pembinaan Prestasi di Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia. Padahal saat itu dia sama sekali tak mengerti bulu tangkis dan cara menghitung skornya. Kepada Tempo dia pernah mengaku tak malu belajar dan bertanya kepada para pelatih serta pemain selama enam bulan pertama.
Setelah paham bulu tangkis, dia mulai memberikan masukan secara intensif. Dia juga mendatangkan ahli fisik dan psikologi dari Amerika dan Belanda untuk meningkatkan kemampuan pemain. Hasil pembinaan itu berbuah manis. Indonesia merebut dua medali emas pertama Olimpiade melalui Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma.
Di masa itu, bulu tangkis kembali mengharumkan nama bangsa. Indonesia tak pernah kehabisan stok pemain karena berhasil menyiapkan enam lapis pemain berdasarkan umur di setiap nomor. Mereka berasal dari pemusatan latihan di daerah dan klub. Cara membina atlet secara sistematis dan metodologis seperti itulah yang membuatnya mendapat julukan teknokrat olahraga.
"Beliau bukan cuma memberikan perintah dari atas, melainkan terjun langsung membina dengan hati," ujar Susi Susanti. Dengan nada serius, Susi mengatakan M.F. Siregar merupakan contoh pembina yang tak mendahulukan kepentingan pribadi atau segelintir orang. "Beliau membina tanpa pamrih. Dia hanya ingin melihat olahraga Indonesia maju."
Pengabdian M.F. Siregar tanpa henti di bidang olahraga tak hanya diakui di dalam negeri. Komite Olimpiade Internasional memberikan penghargaan emas L'Ordre Olympique kepadanya pada 1986. Dia adalah orang ketiga di Indonesia yang menerima penghargaan itu setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan bekas Menteri Olahraga R. Maladi.
Ket foto: alm. Mangombar Ferdinand Siregar
Sumber: Tempo edisi 33/39 tanggal 11 Oktober 2010
Sumber: Tempo edisi 33/39 tanggal 11 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!