Kawasan perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia memang menjadi daerah ”tak bertuan” meski negara ini sudah merdeka selama 65 tahun. Sepanjang pantauan Kompas dalam tiga tahun terakhir hingga pertengahan Oktober 2010, tidak banyak kemajuan infrastruktur, yang menjadi syarat pertumbuhan ekonomi, terlihat di perbatasan Indonesia yang rajin dibahas oleh elite politik di Jakarta.
Perbatasan darat di Kalimantan, seperti di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, ”disentuh” pembangunan seadanya. Sementara perbatasan laut, seperti di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Atambua di Nusa Tenggara Timur, kondisinya lebih parah dan nyaris jalan di tempat.
”Itu gedung kantor bupati, katanya termegah di Indonesia,” kata Mayor Imam Wibowo, perwira dari Dinas Penerangan Kodam XII Tanjung Pura, saat mengantar rombongan meninjau perbatasan darat.
Gedung megah kantor Bupati Landak, Kalbar, itu berdiri menjulang di tengah daerah yang infrastruktur jalannya masih hancur. Sungguh berbeda dengan jalan darat di Sarawak dan Sabah, Malaysia. Apalagi, jalan raya di Brunei Darussalam dari Pos Perbatasan Sungai Tujuh hingga Bandar Seri Begawan, yang mirip jalan tol di Indonesia. Tak ada sentra agrobisnis modern tumbuh di Kalbar atau Kaltim, yang masyarakatnya hidup dari bercocok tanam.
Memang, kalaupun ada pembangunan, bisa dibilang hanya sebatas ”proyek” pembangunan gedung megah kantor bupati di wilayah perbatasan. Kondisi serupa terlihat di Kabupaten Nunukan.
Kemegahan fisik dan bukannya kecerdasan akal-budi dan perekonomian yang dibangun di wilayah perbatasan. Anak muda warga perbatasan sedikit saja yang bisa bersekolah di perguruan tinggi ternama di dalam negeri. Jangan mimpi generasi muda perbatasan bisa bersekolah di universitas terkenal di Eropa, misalnya.
Setiap pagi, ketika pos lintas batas di Entikong ataupun Nunukan dibuka, yang terlihat adalah lautan manusia, yang sebagian besar didominasi tenaga kerja Indonesia (TKI). Mereka berjejalan memasuki wilayah Malaysia di Sarawak dan Sabah.
Lagi-lagi ironi mengingat komoditas yang menjadi tulang punggung ekonomi di Sarawak dan Sabah tidak jauh berbeda dari Kalimantan wilayah Indonesia, yakni kelapa sawit, lada, karet, dan sejumlah hasil bumi lainnya. Belum lagi sektor pembangunan infrastruktur selalu dibangun di Sabah-Sarawak. Jalan layang dan bendungan pembangkit listrik Bakun Dam-Sarawak—yang bisa memasok kebutuhan listrik di Semenanjung Malaya—tumbuh di Malaysia Timur yang dalam ukuran Malaysia merupakan wilayah terluar.
Belum lagi industri manufaktur skala kecil dan kebutuhan sehari-hari juga berkembang di Sabah-Sarawak. Walhasil, kebutuhan domestik dua negara bagian itu tidak tergantung pasokan dari Semenanjung Malaya. Biaya pengiriman barang dari Semenanjung Malaya ke Malaysia Timur pun dapat ditekan karena adanya muatan return cargo dari Sabah-Sarawak.
Sungguh berbeda dengan kondisi Kalbar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kaltim. Hasil bumi dijual secara mentah tanpa diolah—sebagian besar ke Malaysia—sehingga tidak memberikan nilai tambah perekonomian lokal.
Pasokan kebutuhan sehari-hari, seperti di Kaltim, sangat mengandalkan kiriman dari Jawa ataupun Sulawesi Selatan. Kondisi serupa terlihat di Kalteng, Kalsel, dan Kalbar. Praktis tidak ada muatan return cargo sehingga ongkos transportasi barang dari Jawa-Sulawesi ke Kalimantan menjadi mahal.
”Banyak produk pertanian organik dari pedalaman Kaltim. Tetapi, masyarakat tidak punya akses ke pasar. Padahal, kalau dilakukan diversifikasi produk, bisa memperkuat ekonomi warga pedalaman,” ujar Carolus Tuah, pemuda Dayak aktivis antikorupsi di Kaltim yang berasal dari hulu Sungai Mahakam.
”Kencing BBM”
Kondisi serupa lagi-lagi terlihat di perbatasan darat Indonesia-Timor Leste di Atambua, Kabupaten Belu, dan perbatasan laut di Atapupu. Alex, warga Atambua, mengaku harga bahan bakar minyak (BBM) kerap melonjak karena langka. ”Premium bisa Rp 6.000 per liter kalau sedang langka,” katanya lagi.
Pasokan minyak di Atambua, Pulau Alor, dan Kabupaten Sikka di Flores berasal dari tanker yang berangkat dari Kupang. Tanker pemasok BBM pertama kali singgah ke Atapupu untuk membongkar muatan. Harga premium yang dijual Rp 4.500 per liter memang jauh lebih murah dibandingkan dengan di Timor Leste, yang dijual sekitar 90 sen dollar AS atau lebih dari Rp 7.000 per liter.
Sejumlah perwira militer yang bertugas di perbatasan NTT-Timor Leste mengakui adanya indikasi ”kencing BBM” di tengah laut yang kemudian diselundupkan ke Timor Leste. Modus tanker ”kencing BBM” pernah juga ditangkap Polda Kaltim, beberapa tahun lalu. Kapal tanker ”kencing BBM” di lepas pantai Kota Balikpapan. Kapal yang menampung terus melaju ke arah Selat Malaka atau ujung utara Selat Makassar memasuki wilayah Sabah-Malaysia dan Filipina selatan.
Adanya dugaan penyelundupan BBM dari NTT ke Timor Leste memang beralasan. Ketergantungan Timor Leste atas pasokan kebutuhan pokok dari Indonesia sangat tinggi. ”Secara keseluruhan, impor Timor Leste dari Indonesia masih tinggi. Ekspor mereka ke Indonesia hanya kisaran 2 juta dollar AS, sedangkan impor Timor Leste dari Indonesia mencapai angka 75 juta dollar AS,” kata Victor Sambuaga, Sekretaris Satu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Dili, yang ditemui akhir tahun lalu.
Itulah potret buram kondisi perbatasan darat Republik Indonesia yang sudah merdeka 65 tahun. TKI yang bertaruh nyawa, bahan mentah, dan penyelundupan BBM menjadi ”komoditas ekspor” dari perbatasan negeri ini! (Iwan Santosa)
Sumber: Kompas, 27 Oktober 2010
Ket foto: Suasana pagi hari saat pintu perbatasan Tebedu, Sarawak, Malaysia, yang bersempadan dengan Pos Lintas Batas Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, dibuka. Sebagian besar warga Indonesia yang mencari kerja di Sarawak melintas pada pagi hari.
Ket foto: Suasana pagi hari saat pintu perbatasan Tebedu, Sarawak, Malaysia, yang bersempadan dengan Pos Lintas Batas Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, dibuka. Sebagian besar warga Indonesia yang mencari kerja di Sarawak melintas pada pagi hari.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!