Rohaniwan Katolik (SVD), Doktor Teologi Universitas Innsbruck, Austria, alumnus studi Islamologi dan Arabistik di Kairo dan Roma, bekerja di Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama, Desk Asia di Vatikan
Hari Senin, 27 September 2010 lalu, tepatnya di gedung utama UNESCO Paris, dilangsungkan sebuah muktamar khusus mengenang 150 tahun Peristiwa Damaskus. Mengenang Peristiwa Damaskus 1860 adalah pemaknaan diri dan perjuangan seorang tokoh heroik Muslim berkebangsaan Algeria, Emir Abd el-Kadir. Dia “pahlawan” dalam artian ganda.
Pada saat Aljazair diduduki Prancis sekitar awal abad ke-19 menggantikan imperium Ottoman Turki, Emir Abd el-Kadir hadir sebagai tokoh inspiratif. Ia mempersatukan kekuatan berbagai suku asli sepanjang teritori Barat negerinya untuk mengusir penjajah Prancis melalui berbagai aksi perang gerilya.
Ketika kekuatan Prancis semakin ampuh, el-Kadir dipaksa bertekuk lutut dan dibuang ke pengasingan di Prancis hingga Kaiser Napoleon III membebaskannya dan membiarkannya kembali ke negeri asal. Perjuangannya memerdekakan Aljazair memeterai tapak awal seri perjuangan generasi demi generasi hingga Aljazair bebas dari penjajahan Prancis 1962. Sejak itu, Emir Abd el-Kadir dideklarasi, dipuja, dan dikenang sebagai pahlawan nasional Algeria.
Pahlawan Dialog Agama
Dalam perjalanan kembali ke negeri asal tahun 1855, el-Kadir singgah dan menetap beberapa waktu lamanya di Damaskus, ibu kota Suriah. Kala itu Suriah sedang digoncang konflik antara Muslim Druze dan Kristen sebagai imbas perang saudara antara Kristen Maronit dengan Muslim Druze di Libanon. Dunia mengenal konflik ini dengan sebutan ”krisis 1860”.
Tatkala Dinasti Shehab di Damaskus memeluk agama Kristen, gelombang pengejaran dan penganiayaan terhadap Kristiani minoritas semakin menjadi-jadi. Perang saudara di Libanon yang merembes ke Suriah berubah menjadi konflik bernuansa agama.
Suriah dirasuk sindrom anti-Kristen hingga menelan korban nyawa total tidak kurang dari 10.000 di pihak Kristen. Nah, di antara mayoritas hati yang membenci, Emir Abd el-Kadir malah tampil sebagai pahlawan pembela Kristen. Melalui perjuangannya yang hebat melawan saudara-saudari seiman, el-Kadir menyelamatkan nyawa sekitar 12.000 orang Kristen dan Yahudi dari ancaman maut.
Emir Abdel Kadir melakukan kebaikan besar yang membawa makna khas untuk hubungan Muslim-Kristiani-Yahudi sepanjang masa. Banyak kalangan menyebutnya ”pahlawan dialog agama”.
El-Kader adalah pribadi yang sudah meraih tahap kematangan iman. Dia mampu menjadikan kasih akan Allah sebagai dasar dan orientasi terhadap kasih akan sesama manusia. Kasih model ini merupakan penjelmaan dari ajaran agama hingga hadir sebagai perbuatan kasih yang menggugah.
Kasih akan Allah ini pula sebagai aplikasi iman yang benar memampukan manusia untuk merobohkan tembok-tembok pencipta penyempitan wawasan suku, agama, budaya, dan lain-lain. Kasih itu lebih asli dan transformatif dari toleransi yang sering kabur, mudah dimanipulasi dan bisa semu.
Di mata orang Kristiani, tindakan heroik el-Kadir sekali lagi menggarisbawahi salah satu keyakinan fundamental bahwa “segala jenis ciptaan Allah termasuk kita umat manusia, sejak awalnya mewahyukan “Tangan Sang Khalik” (bdk Ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI).
Dalam konteks ini manusia dianugerahi martabat dan kualitas khusus dengan tugas khusus pula. Hidup manusia masuk wilayah sakral. Iman yang otentik akan Allah secara otomatis menerima kebenaran fundamental ini. Inilah ”sinar kebenaran” (ray of truth di dalam Nostrae Aetate, 2) yang seharusnya mengikat tali persaudaraan global antara Kristen dan Muslim dan disadari oleh semua.
Figur Panutan
Barangkali bukan sebuah kebetulan. Saat nilai-nilai toleransi yang nota bene merupakan salah satu pilar perekat pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini digoyang oleh kisah konflik horizontal antaragama, seperti yang terjadi di Gereja HKBP Pondok Timur, Ciketing, Bekasi, Jawa Barat, 12 September 2010 lalu, nurani kita tergugah.
Kita seakan undur setapak, lantaran memberi tempat kepada egoisme. Malah, bibit perpecahan itu secara tidak sengaja kita biarkan tumbuh di antara kita. Kita butuh pejuang seperti el-Kadir. Tokoh seperti ini tidak berdiri pada tataran doktrinal demi mempertahankan sebuah paham, melainkan rela turun untuk menyelami kerinduan kemanusiaan yang paling dalam.
Figur seperti el-Kadir, bukan tak ada. Mereka hadir dengan hati untuk berdialog. Bagi mereka, tidak ada terminologi mayoritas-minoritas. Sebaliknya, mereka lebih mengerucutkan setiap ajaran kepada praksis. Artinya, agama manapun, akan disebut kerdil atau ’minoritas’ ketika lalai membumikan ajaran ke dalam tindakan kasih, seperti dilakukan el-Kadir 150 tahun lalu.
Paham seperti ini sangat penting, seperti mengingkatkan kita akan kata-kata Sri Paus Benediktus XVI. Dalam tatap muka dengan pemimpin-pemimpin Kristiani dan Muslim di Koeln, Jerman, 2005, ia mengajak semua umat Kristiani dan Muslim untuk bekerja sama mengatasi segala krisis masa lampau, memetik hikmah dari peristiwa-peristiwa itu dan membersihkan diri dari rasa benci.
Di sini terlihat bahwa peristiwa konflik yang nota bene terjadi pada masa silam, sebaiknya tidak perlu diulang.
Sumber: Suara Pembaruan, 2 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!