anggota Kaukus Papua di DPR RI;
pernah tinggal di Pegunungan Tengah Papua
AKHIR pekan di awal bulan itu, Distrik Wasior tak berdaya. Kota Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, itu terpenjara dalam banjir bandang setinggi tiga meter, meluluhlantakkan kota kecil di Teluk Cenderawasih itu. Banjir kali ini memangsa penghuninya dibandingkan banjir serupa yang terjadi tahun 1955. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, 3.000 orang mengungsi. Para pengungsi tersebar di Kabupaten Nabire 650 orang, di Manokwari, Kota Provinsi Papua Barat 850 orang, dan sisanya bertahan di tiga daerah di Teluk Wondama.pernah tinggal di Pegunungan Tengah Papua
Namun, data pengungsi yang kami peroleh dalam kunjungan kerja di Wasior pada tanggal 8 Oktober 2010 berbeda dengan laporan BNPB. Setidaknya ada dua ribu berada di Wasior, Manokwari 1.859 jiwa, dan Nabire 233 jiwa. Jumlah ini belum terhitung yang dirawat di sejumlah rumah sakit. Laporan BNPB tersebut perlu dijelaskan agar tidak banyak korban yang dibiarkan terlantar.
Banjir bandang kali ini menyapu segala sesuatu di Distrik Wasior menyusul meluapnya Kali Sanduai, Kali Rado, Sungai Anggris dan Sungai Manggurai. Wasior bagai kota mati. Di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung di Wasior, Kamis 14 Oktober 2010, Bupati Teluk Wondama Alberth Torey menyampaikan laporan terkini para korban. Sebanyak 159 orang meninggal. Mereka terkubur di tanah sendiri. Sebanyak 128 orang luka berat dan 660 orang luka ringan. Sebagian lain hilang tak diketahui rimbahnya.
Kerusakan hutan merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir bandang. Pantas, semua pihak menyampaikan rasa dukacita, rekuiem, atas kematian orang-orang terkasih sekaligus hutan yang (dirusakkan) rusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Beda Pendapat
Pembalakan liar menjadi biang kerok bencana banjir bandang, dan sempat diamini Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan. Namun, tidak demikian dengan Andi Arief dan Velix Wanggai, dua Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menteri Zulkifli terang-terangan mengatakan pembalakan liar (illegal logging) menjadi penyebab banjir di Wasior, meski belakangan pernyataannya itu diralat. Di sela-sela kegiatan penanaman pohon di Kawasan Tambang Newmont, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Kamis (7/10), ia membenarkan banjir terjadi karena pembalakan hutan.
Menurutnya, bencana banjir bandang di Wasior terjadi akibat tingginya pembalakan liar di kawasan tersebut. Warga setempat cenderung melakukan eksploitasi berlebihan sehingga berdampak pada kerusakan alam.
Ia menegaskan, (banjir) itulah dampak dari illegal logging yang berlebihan, penebangan yang tidak terkendali. Pembalakan liar banyak ditemukan di kawasan Papua Barat seperti Sorong Selatan dan Wasior meski sudah mulai berkurang (VIVAnews, 7/10/2010).
Dalam keterangan pers di Jakarta (12/10), Zulkifli menegaskan, tidak ada Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Wasior. Saat ini, ada 22 HPH yang aktif di Papua Barat dan ada dua HPH yang masanya habis dan tidak diperpanjang lagi. Kedua HPH itu adalah PT Intimpura Timber Co seluas 220.000 hektar dan PT Dharma Mukti Persada seluas 110.000 hektar.
Namun, pendapat sang menteri malah bertolak belakang dengan Andi Arief dan Velix Wanggai. Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menjelaskan, penyebab banjir bandang bukanlah penebangan hutan. Justru, intensitas hujan yang tinggi selama satu minggu dan letak Wasior yang berada di dataran rendah, di bawah kaki gunung.
Mengkhawatirkan
Praktek pembalakan liar di Papua Barat jauh sebelumnya sudah terendus kalangan aktivis yang concern bidang lingkungan hidup. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan masa depan hutan di tanah Papua, yang bukan tidak mungkin bisa punah suatu saat.
Ada sejumlah koperasi pemegang ijin dan mitra usaha kegiatan pengumpulan hasil hutan kayu di wilayah Teluk Wondama yang diduga kuat ikut merusak hutan. Misalnya, KSU Keroweni, KSU Imanuel (CV Mitra Samudera), Koperasi Ngkoiveta (CV Mitra Samudera), Kopermas Almendo (PT Prima Multindo Jaya), Koperasi Dusner Mandiri (PT Kutai Wahana Indah), Kopermas Wawoi (PT Nabire Permai Indah), Kopermas Waropa (CV Mitra Samudera), Koperasi Port Wahana (PT Papua Wahana Karya), Kopermas Simiei (PT Makmur Abadi), Koperasi Simiei (PT Makmur Abadi), Koperasi Simiei III (CV Ladang), dan Koperasi Mitra Perdana. Domisili mitra kerja pemegang ijin itu kebanyakan di Manokwari dan Jakarta.
Kepala Bapedalda Papua Barat Jack Manusaway mengakui, Papua Barat menjadi sasaran utama bagi investor. Jack menyebut, provinsi ini dalam kepungan investasi. Tak ayal, hutan Papua akhirnya berada dalam bayang-bayang kerusakan. Pada 2005-2009, kerusakan hutan di provinsi itu mencapai 1.017.841,66 ha atau 254,459,41 ha per tahun. Sedangkan laju deforestasi secara nasional per tahun mencapai 1,17 juta ha. Jika menggunakan asumsi laju deforestasi 1,17 juta ha per tahun, maka kontribusi deforestasi Papua Barat sekitar 25 % dari total nasional (www.papuabaratnews.com, 3/5 2010).
Juru Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia M Islah juga mencatat duka hutan di Wasior. Pembalakan liar di Wasior dimulai awal 1990-an. Sempat terhenti 2001, pasca kasus pelanggaran HAM berat di Wasior.
Pelanggaran HAM berat itu juga masih berhubungan dengan pembalakan liar. Kasus pelanggaran HAM itu berawal dari konflik akibat penebangan hutan secara ilegal. Kini, aksi pembalakan hutan oleh berbagai pihak berlanjut. Akumulasi kerusakan hutan itu yang melahirkan banjir bandang.
Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia (IHI) mencatat, perusakan hutan terjadi secara legal melalui penerbitan izin pemanfaatan kayu (IPK). Pada 2009, pemerintah menerbitkan IPK di Papua Barat seluas 3,5 juta hektare, termasuk izin menebang 196.000 hektare di Kabupaten Teluk Wondama.
Riset yang dilakukan IHI dan Yayasan Penguatan Partisipasi dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) awal 2010 mengungkapkan informasi yang sangat menyeramkan. Laju kerusakan (deforestasi) hutan di Papua Barat pada 2005-2009 mencapai 1 juta hektar atau berkisar 250.000 hektar per tahun. Sejumlah 6,6 juta hektar hutan primer dan sekunder Papua Barat terkepung HPH, tambang, dan perkebunan.
Pasca banjir bandang, tak ada pilihan lain bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan moratorium penerbitan HPH, IPK atau sejenisnya agar hutan di tanah Papua kembali perawan. Sekaligus membangun infrastrukur dan fasilitas pemerintahan untuk memulihkan kembali wajah Teluk Wondama seperti sediakala dengan komitmen anggaran yang tidak setengah hati, termasuk memulihkan kembali hutannya.
Perlu diingat, selama ini masyarakat di tanah Papua (Papua dan Papua Barat) masih berkubang dalam genangan lumpur kemiskinan sekalipun teriakan keras selalu diarahkan ke Jakarta dan tak pernah (mau) didengar. Kemiskinan masyarakat di dua provinsi ini sejak lama terjadi, tetapi masyarakatnya seperti dibiarkan melihat kemiskinan sebagai kenikmatan mereka sendiri.
Data BPS sebagaimana dikutip Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah menunjukkan, tahun 2005 dan 2006, dari 10 kabupaten/kota termiskin di Indonesia, mayoritasnya berasal dari tanah Papua, khususnya Propinsi Papua dan Irian Jaya Barat. Sisanya dari Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Tahun 2005, misalnya, ada tujuh kabupaten dari Provinsi Papua, yaitu Puncak Jaya (53,21 persen), Paniai (52,72 persen), Pegunungan Bintang (50,33 persen), Jayawijaya (49,82 persen), Yahukimo (48,28 persen), Biak Numfor (47,36 persen), dan Nabire (45,89 persen). Tahun 2006: Provinsi Irian Jaya Barat terdiri atas Kabupaten Teluk Wondama (54,95 persen) dan Manokwari (49,75 persen). Provinsi Papua: Kabupaten Puncak Jaya (54,21 persen), Teluk Bintuni (53,75 persen), Supiori (53,35 persen), Paniai (52,45 persen), Pegunungan Bintang (51,26 persen), dan Jayawijaya (50,65 persen). Data ini tentu sudah mengalami perubahan, namun setidaknya menggambarkan bahwa kesejahteraan adalah masalah serius rakyat Papua.
Banjir Wasior dan kemiskinan yang menganga lebar setidaknya menjadi momentum refleksi bagi pemerintah pusat dan daerah serta elemen-elemen masyarakat yang merasa memiliki Papua agar lebih bertanggung jawab untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat di tanah Papua. Jika tidak demikian, tembang duka bakal terulang kembali.
Sumber: Suara Pembaruan, 18 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!