Headlines News :
Home » » Tanaman Sirih: Adat dan Sandaran Ekonomi

Tanaman Sirih: Adat dan Sandaran Ekonomi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, October 08, 2010 | 12:04 PM

Tradisi makan sirih adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan orang Timor di Nusa Tenggara Timur. Termasuk juga dalam sejumlah ritual adat di kampung tua, As Manulea, di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu.

Mengunjungi kampung tua, As Manulea, tidak bisa langsung menerobos. Jika masuk dari pintu timur, pengunjung akan disambut tetua yang disebut Uim Neno Teukanak (Penjaga Pintu Matahari Terbit). Apabila melalui pintu sebelah barat, pengunjung akan disambut Uim Neno Nunbain (Penjaga Pintu Matahari Terbenam).

Tak lama berselang, muncul tetua lain, Nikodemus Nikan (58), yang berperan sebagai a’aat atau juru bicara adat kampung kuno itu. Selanjutnya, atas panduan a’aat, pengunjung diajak mengikuti ritual halon yang bermakna memberi tahu sekaligus memohon restu para leluhur agar berkenan berkeliling kampung.

Bentuk ritualnya berupa prosesi ke empat sonaf (istana raja), makam dua ratu, dan sejumlah rumah adat lainnya dalam kompleks kampung yang tumbuh di puncak Bukit Fatuk Liurai itu. Ketika prosesi itulah, pengunjung dari titik satu ke titik lainnya selalu bersentuhan dengan kabi, wadah anyaman berisi sirih, pinang, dan kapur.

Kabi diletakkan di kaki tiang sesajen yang disebut ni monef di depan setiap sonaf dan rumah adat. Pengunjung dipersilakan mengambil dan mulai makan sirih bersama tetua kampung. Bagi mereka yang tak biasa tidak dipaksa, tetapi setiap pengunjung diharapkan meninggalkan uang —berapa pun adanya dan sesuai kerelaan— di kabi itu, sebelum memasuki inti ritual halon. Dalam ritual itu, para pengunjung dan para tetua secara bersama menyentuh tiang ni monef disertai doa mistis yang dibawakan a’aat Nikodemus Nikan.

”Ritual halon itu pada intinya, selain memohon restu berkunjung, memohon rahmat dan kelimpahan rezeki dari para leluhur. Warga setempat masih berkeyakinan kuat kalau kampung ini adalah titik awal dari setiap langkah usaha dan perjuangan hidup lainnya. Semuanya harus berawal dan memohon restu di kampung ini sebelum memulai usaha atau perjuangannya,” papar Romo Maxi Un Bria Pr, Pastor Paroki Gereja Katolik Penfui di Kota Kupang, yang berasal dari kampung tua As Manulea.

Setidaknya ada tujuh titik yang dilalui dalam prosesi adat tersebut. Di setiap titik dengan ritual sama dan masing masing juga tersedia kabi di kaki ni monef. Keberadaan kabi itu adalah simbol keberadaan secara adat orang Manulea atau orang Timor umumnya yang tidak terpisahkan dengan sirih bersama paketnya, pinang dan kapur atau gambir.

Selain terkait acara adat, makan sirih adalah media pembuka dalam hubungan kemasyarakatan di lingkungan orang Timor. Jika bertamu di pedesaan —termasuk di As Manulea— makan sirih adalah suguhan awal bagi sang tamu sebelum minuman ringan, seperti kopi, teh, atau suguhan lainnya.

Tanaman merambat

Sirih adalah jenis tanaman yang batangnya mirip tali dan bergantung pada pohon lain sebagai tempat perambatan. Ada dua jenis sirih yang lazim digunakan dalam ”menu” makan sirih, yakni sirih daun yang dikenal luas di Flores dan sirih buah untuk sebagian masyarakat pemadatnya di Timor.

Khusus di Manulea dan sekitarnya, semuanya adalah jenis sirih buah. Sirih yang mereka konsumsi dalam segala urusan adat dan pergaulan sehari-hari, bukan dari pembelian di pasar atau di kios-kios. Semuanya dihasilkan dari kebun sendiri. Berkebun sirih buah di kawasan itu bahkan merupakan sandaran utama kehidupan ekonomi keluarga.

”Perkampungan kami beserta lahan usaha di daerah ketinggian dan kering. Tak ada lahan yang bisa diolah menjadi sawah. Kalau mau berladang, hanya tanaman jagung atau padi lahan kering. Namun, lebih dari itu, rata rata warga kampung kami mengandalkan sirih sebagai sumber hidupnya,” tutur Paulus Soel (35), petani tanaman sirih di Balibo, salah satu anak kampung Desa As Manulea, akhir Juni lalu.

Balibo atau As Manulea berjarak sekitar 270 kilometer sebelah timur Kota Kupang, atau lebih kurang 65 kilometer sebelah barat Atambua, kota Kabupaten Belu—kabupaten yang tepi timurnya berbatasan langsung dengan negara baru, Timor Leste.

Di Balibo, As Manulea, Paulus Soel memiliki dua kebun yang ditumbuhi sekitar 120 pohon sirih usia panen. Kegiatan panennya dilakukan setiap dua mingguan. Hasil panenan berupa buah sirih langsung dijual di tempat; kini seharga Rp 20.000 per ikat (berisi 60-70 buah). Sekali panen, kebun Paulus Soel bisa menghasilkan sedikitnya Rp 600.000 atau lebih kurang Rp 1,2 juta per bulan (dua kali panen), standar penghasilan yang tergolong tinggi untuk ukuran pedesaan kering seperti As Manulea.

Paulus Soel tidak menyebutkan harta apa saja yang dia punya dari hasil panen tanaman sirih. Namun, secara kasatmata, petani ini telah memiliki rumah permanen dilengkapi antena parabola, dua sepeda motor, dan mesin listrik genset pribadi. ”Ya, hasilnya cukup untuk hidup sehari-hari, menyekolahkan anak, dan kebutuhan lainnya,” ujar ayah tiga anak itu.

Aleks Metom (33), petani lain di kampung yang sama, menambahkan, pasaran sirih harganya melonjak tajam saat kemarau. Itu terjadi karena tanaman sirih buahnya berkurang banyak akibat kekeringan. (Frans Sarong)
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2010
Ket foto: Tanaman sirih merupakan sandaran utama ekonomi keluarga Desa As Manulea dan sekitarnya di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger