kandidat doktor sosiologi di University of Birmingham &
Anggota Forum Academia Nusa Tenggara Timur
IRONIS sekali nasib jemaah Ahmadiyah pada era reformasi. Pada era yang diasumsikan sebagai era pembaruan, mereka malah diancam dibubarkan oleh Menteri Agama dan telah menjadi target penyerangan sporadis. Sebaliknya, pada era penguasa otoriter kelas berat (baca: Soeharto), nasib mereka malah tidak sampai seterpuruk ini. Kenyataan ini membuat orang menelusuri ulang strategi pemerintah dari zaman ke zaman.Anggota Forum Academia Nusa Tenggara Timur
Benar kata pepatah bahwa setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Pertanyaan susulannya, bagaimana agar "mereka yang lain" tidak disingkirkan hanya karena berbeda. Secara khusus perlu dikaji ulang, bagaimana demokrasi bisa diluputkan dari tirani orang banyak. Tindakan totaliter ditandai dengan pemahaman untuk meletakkan kelompok lain sebagai obyek yang diatur.
Ruang publik
Bagaimana menyelesaikan persoalan keyakinan di ruang publik merupakan persoalan terbaru. Sebab, dinamika global menunjukkan kebangkitan institusi keagamaan, yang pernah dianggap surut seiring dengan kuatnya sekularisme di Eropa. Pertanyaannya, bagaimana kita sebagai warga negara Indonesia menyikapi persoalan ini.
Persoalan Ahmadiyah tidak bisa hanya diletakkan sebagai perkara partikular semata. Sebab, di aras yang paling dasar partikularisme yang dimaksud tidak bisa menggantikan dasar negara. Pada era Orde Baru, Soeharto menggunakan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat sebagai elemen istimewa dalam mengelola negara. Bagi warga di luar TNI Angkatan Darat, suaranya menjadi kurang penting. Posisi TNI Angkatan Darat sendiri merupakan elemen istimewa dalam barisan nasionalis.
Kini, jika perlakuan terhadap Ahmadiyah diletakkan sebagai isu yang partikular, lantas siapakah yang dianggap memiliki wewenang dalam menyelesaikan perkara ini? Era otoritarianisme Soeharto kita lewati dengan susah payah dalam tiga dekade. Sebaliknya, pada era reformasi, kita tidak memiliki elemen koersif yang mampu melindungi semua golongan secara sama dan adil. Bagaimana posisi institusi negara dalam memberikan perlindungan bagi warga negara yang berbeda-beda masih merupakan tanda tanya besar.
Retorika mayoritas-minoritas menghadirkan status masyarakat kelas dua. Dengan sendirinya dalam logika ini, kita diposisikan ada dalam struktur masyarakat vertikal. Strata sosial baru yang sedang tumbuh pun menggunakan institusi negara yang semula sekuler untuk menghilangkan yang berbeda. Jelas tidak mudah menentukan benar atau salah jika menyangkut keyakinan, dengan sendirinya legitimasi untuk menghancurkan merupakan klaim pencipta. Padahal, dengan menurunkan status pencipta ke bumi, dengan sendirinya menghilangkan pengertian Yang Maha Kuasa. Sebab, amat sulit melihat wajah pencipta dalam naluri kematian.
Retorika tentang sekularisme di Indonesia umumnya disederhanakan sebagai turunan ide dari Eropa tentang tidak mengenal Tuhan atau ateis. Sebaliknya, pengertian sekuler sebagai ruang yang amat sementara untuk bertemu dan berdialog dengan mengasumsikan bahwa kita tidak paling benar, cenderung dipinggirkan.
Tentu pertanyaannya bukan lagi pada benar dan salah. Tapi, dalam persoalan yang amat pelik berkaitan dengan persoalan keyakinan yang silang sengketanya lebih panjang dua milenium, kita wajib bertanya bukan dengan cara memurnikan kebenaran, melainkan apakah ini yang terbaik. Apa gunanya melekatkan kebenaran dalam sebuah tindakan jika itu bukan yang terbaik.
Persoalan keyakinan, khususnya menyangkut agama dengan akar Nabi Abraham atau Ibrahim, jangkauannya jelas bukan seumur keberadaan negara. Umurnya jelas lebih panjang dari 2.000 tahun. Tantangannya, bagaimana kita di Nusantara saling bertemu untuk berdialog dalam perbedaan.
Tentu persoalan keyakinan tidak untuk dikompromikan, tapi bagaimana kita sebagai manusia bisa hidup berdampingan dalam ruangan yang sama, bukanlah persoalan keyakinan. Perbedaan memang bukan untuk ditiadakan dalam langgam sekularisme yang ketat, melainkan sebaliknya dicarikan jalan keluar agar kita yang berbeda ini bisa saling berbagi ruang hidup dengan tetap berbeda.
Dua milenium
Seberbeda apa pun kita, manusia, masihlah tinggal di bumi yang sama. Meskipun berbagai institusi diciptakan dan dianggap menjadi pembatas. Berita penemuan planet baru serupa bumi, tidak dengan sendirinya memberi kemungkinan agar manusia mampu memilih ruang khusus agar bisa tinggal dengan kaum yang serupa.
Sebaliknya, hingga kini bumi masihlah satu-satunya planet yang layak huni dengan keberadaan manusia yang amat berbeda. Di titik ini, sengketa persoalan keyakinan pun bisa ditatap dari angkasa luar. Entah apa refleksi seorang yang beriman ketika berziarah ke angkasa luar dan melihat spesies manusia di bumi. Sebab, jagat yang gelap dan ujung tak pernah bisa dipijak, lantas mengapa persoalan keyakinan diperlakukan seperti pasir dalam genggaman yang setiap butirnya bisa dihitung?
Menimbang persoalan keyakinan yang sifatnya transnasional atau melampaui batas negara memang sudah tidak memadai lagi jika hanya diletakkan sebagai persoalan manusia di kawasan yang bernama negara. Sebaliknya, pada abad ke-21 ini, dengan naiknya kembali berbagai institusi agama dalam percaturan dunia, maka kita diajak untuk melihat persoalan keyakinan dalam teropong seorang astronot yang sedang memandang planet bumi. Dalam hal keyakinan, negara memang bukan merupakan batas nyata, namun negara hanya merupakan kawasan hidup bersama. Menemukan kesepakatan untuk mampu hidup bersama merupakan tantangan manusia abad ke-21 yang tinggal di satu kawasan yang disebut Indonesia.
Sumber: Koran Tempo, 9 Oktober 2010
Sebuah ironi demokrasi di Indonesia...
ReplyDelete