Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia
Dalam pidatonya ketika menunda kunjungan ke Negeri Belanda pada 5 Oktober lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan: akhir-akhir ini ada gerakan yang mengajukan persoalan hak asasi manusia ke pengadilan Den Haag, dan menuntut agar Presiden RI ditangkap. Mereka mengaku dirinya bagian dari Republik Maluku Selatan (RMS). Dan, SBY tak bisa menerima jika "di saat Presiden RI berada di Belanda atas undangan Ratu dan PM Belanda, pada saat itu digelar pengadilan minta ditangkapnya Presiden RI".
Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Belanda pada 7 Oktober mempublikasikan putusan pengadilan Den Haag yang berkaitan dengan Kort Geding oleh RMS versi terjemahan tidak resmi dalam situsnya (http://www.id.indonesia.nl/content/view/622/69/). Tapi, dari isi putusan pengadilan Den Haag, ternyata proses hukum yang dilancarkan oleh RMS tidaklah sespektakuler yang disampaikan oleh para pejabat Indonesia yang berakibat pada penundaan kunjungan Presiden ke Negeri Belanda.
Keberadaan pengadilan Den Haag dalam sistem hukum Belanda adalah pengadilan rendah (district court atau Rechtbank) yang berjumlah 19. Pengadilan rendah terbagi dalam beberapa sektor, di antaranya subdistrict, criminal law sector, civil/family sector. Dan RMS mengajukan upaya hukum berupa gugatan yang dikategorikan dalam ranah hukum perdata. Hal ini dapat terlihat pada sektor pengadilan Den Haag, yaitu sektor perdata.
Karena ini merupakan gugatan perdata, sebenarnya tidak ada proses penangkapan atau penahanan. Hukum perdata tidak mengenal penangkapan atau penahanan. Karena itu, sulit memahami keterangan dari para pejabat di Indonesia, yang mengungkap bahwa pengadilan diminta melakukan penangkapan atau penahanan atas Presiden RI.
Penangkapan ataupun penahanan hanya dapat dilakukan dalam ranah hukum pidana. Inisiatif dimulainya proses perkara pidana haruslah institusi negara, seperti kejaksaan atau kepolisian. Tidak mungkin perkara pidana dilakukan oleh individu yang tidak memegang jabatan dalam institusi negara.
Kekhawatiran Presiden sebenarnya tidak perlu berlebihan, mengingat yang menjadi pihak tergugat dalam gugatan bukanlah pemerintah, Presiden ataupun Negara Republik Indonesia. Pihak tergugat adalah Negara Belanda, yang dalam hal ini ditujukan kepada Kementerian Urusan Umum dan Kementerian Luar Negeri Belanda. Untuk diketahui pihak penggugat antara lain adalah pemerintahan pengasingan Republik Maluku Selatan, Johannes Gerardus Watilete dan Johnson Panjaitan.
Bila para pembantu Presiden cermat, yang dimintakan oleh para penggugat pun bukan hal yang menakutkan. Para penggugat meminta kepada pengadilan agar memerintahkan Kementerian Luar Negeri Belanda untuk mencabut imunitas yang ada pada SBY sebagai kepala negara ketika beliau berkunjung ke Belanda.
Kalaupun pengadilan Den Haag mengabulkan tuntutan agar imunitas Presiden Yudhoyono selama di Belanda dicabut oleh Kementerian Luar Negeri Belanda, ini tidak akan dilakukan. Hal ini mengingat dalam hukum internasional dalam diri kepala negara melekat imunitas atau kekebalan yang harus dihormati oleh negara pengundang. Pencabutan imunitas akan mempermalukan negara pengundang dan tentu akan berakibat pada memburuknya hubungan kedua negara dan rakyat.
Keengganan Presiden untuk hadir di Belanda karena timing yang bersamaan dengan dikeluarkannya putusan pun sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Bila saja pembisik Presiden tahu bahwa Kort Geding adalah permintaan putusan sela oleh para penggugat, dalam hukum acara hal tersebut bukan sesuatu yang aneh.
Dalam suatu gugatan para penggugat biasanya meminta putusan sela karena putusan tersebut penting untuk merespons suatu peristiwa. Dalam perkara ini, peristiwa yang dianggap penting adalah kedatangan Presiden RI. Karena itu, para penggugat mengajukan Kort Geding karena tahu Presiden akan datang di Belanda pada 6 Oktober. Logikanya, bila putusan tidak dilakukan bersamaan dengan kedatangan Presiden, pencabutan imunitas akan kehilangan relevansinya.
Harus dipahami bahwa dipercepatnya proses dalam bentuk putusan sela merupakan kehendak dari RMS, dan untuk ini pengadilan Den Haag pun, berdasarkan hukum acara mereka, tidak memiliki otoritas untuk menunda. Dalam hal ini harus diakui kelihaian RMS dalam memanfaatkan sistem hukum yang ada. RMS telah melakukan akrobat hukum yang bertujuan mengintimidasi pemerintah dan Presiden RI. Bagi pihak yang mengetahui proses beracara dan memahami hukum, manuver yang dilakukan oleh RMS bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
Sayangnya, pemerintah Indonesia termakan oleh intimidasi yang dilakukan RMS. Bahkan pemerintah Indonesia cenderung membesar-besarkan proses di pengadilan Den Haag seolah dan terkesan ingin mengajak rakyat untuk dapat membenarkan keputusan menunda kunjungan. Sentimen anti-Belanda pun mulai muncul. Anehnya, pemerintah buru-buru mengatakan hubungan Indonesia dengan Belanda baik. Ini merupakan kontradiksi.
Semakin aneh respons pemerintah atas ketersinggungan Presiden, bukannya diterbitkan nota protes diplomatik, melainkan justru pemerintah menjelaskan kepada pemerintah Belanda alasan penundaan kunjungan. Aneh karena bila Presiden tersinggung seharusnya Presiden meminta dan menunggu surat permohonan maaf dari pemerintah Belanda.
Kejanggalan-kejanggalan ini mengindikasikan betapa lemah kemampuan orang-orang di sekitar Presiden dalam memberikan informasi yang akurat dan lengkap ihwal persidangan di pengadilan Den Haag. Seharusnya KBRI Den Haag ataupun Kementerian Luar Negeri meminta para ahli hukum, baik di Belanda maupun Indonesia, untuk mempelajari upaya hukum yang dilancarkan oleh RMS sebelum memberikan masukan kepada Presiden.
Sumber: Tempo edisi 33/39 tanggal 11 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!