Headlines News :
Home » » Orakel

Orakel

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, November 29, 2010 | 1:31 PM

Oleh Goenawan Mohamad
budayawan & wartawan senior

SYAHDAN, dewa-dewa berhenti bicara, sekitar abad pertama tarikh Masehi. Yang saya maksud adalah dewa-dewa Yunani, yang berabad-abad sebelumnya dipercaya menyampaikan pesannya kepada manusia melalui orakel. Mereka seakan-akan telah pergi.

Apa sebabnya?

Pada mulanya, takjub, gentar, dan merasa tak berdaya melihat angkasa yang tak terbatas, orang Yunani Kuno merunduk. Mereka menegakkan satu sesembahan, yakni langit itu sendiri. Seperti di mana pun, dulu dan sekarang, mereka percaya bahwa alam semesta-yang tak selamanya bisa ditebak itu-mengandung kekuatan supernatural yang bebas dari daya manusia.

Tapi kemudian yang disembah terasa begitu jauh, begitu abstrak, begitu susah dipahami. Maka ia dibayangkan punya sosok seperti manusia: mula-mula disebut Uranus, kemudian Zeus. Dan dari sini mithologi berkembang. Politheisme lahir dengan banyak sekali dewa. "Nama-nama mereka semua," kata Hesiodos, penyair dan pencerita lisan yang hidup antara abad ke-8 dan ke-7 Sebelum Masehi, "akan merepotkan manusia yang fana bila harus mengisahkannya."

Di Olimpus, nun di puncak itu, sejumlah besar dewa pun tinggal, hidup bersama, bersengketa, saling dendam, saling membantu. Di bawah, di bumi, sang dewi Gaea. Di sampingnya, ribuan dewa-dewi yang kurang penting menghuni dan menjaga air, udara, laut, hutan, dan angin.

Tampaknya itulah cara orang Yunani Kuno menafsir Ada-atau lebih tepat: misteri Ada. Mereka menyadari, mungkin dengan terkesima, bahwa langit, laut, darat, dan segala isinya itu "ada"-satu keadaan yang jadi penting (dan memukau) karena di sisi lain, manusia juga mengenal keadaan "tidak ada". Kelahiran, kematian.

Saya tak tahu kapan monotheisme lahir pertama kalinya, dan apakah itu tak pernah terjadi dalam alam pikiran Yunani. Saya tak tahu apakah dalam menafsirkan Ada itu orang-orang Yunani Kuno ada yang bertemu dengan satu pengalaman religius yang dialami orang di masa lain, di tempat lain. Ataukah mereka mendapat wahyu. Yang kita tahu, Yunani Kuno tak sepi dewa-dewa.

Saya kira, politheisme itu berkembang dari suatu sikap yang pantheistik-tapi kemudian menampiknya. Sikap yang pantheistik menganggap segala sesuatu yang ada sebenarnya Satu, tapi Satu yang memanifestasikan diri-Nya dalam segala benda. Misteri Ada meruap di mana-mana. Manusia tak henti-hentinya bertanya dari mana dan kenapa ia datang, ke mana dan kenapa ia pergi. Tak mudah menjawab. Manusia terpukau.

Mungkin itu sebabnya pantheisme menyamakan Yang Satu dengan Yang Suci, atau "yang ilahi".

Tapi dari sini politheisme kemudian berkembang lain. Bagi sikap pantheistis, Yang Suci itu tak bisa diwujudkan dalam sosok sesembahan yang personal-apalagi mirip manusia, dengan gerak, kehendak, kecemburuan, dan kemarahannya. Politheisme sebaliknya. Zeus beristri dan beranak, berhasrat dan beremosi.

Saya ingat satu sajak Amir Hamzah, ketika berdoa di depan Tuhan yang tak mudah dimengertinya: "Aku manusia, rindu rasa, rindu rupa". Politheisme seperti yang terdapat di Yunani Kuno menyatakan kerinduan itu dalam nama, upacara, patung, dan kisah-kisah.

Tapi tetap saja: jarak antara dewa-dewa dan manusia tak mudah terjembatani. Maka dibutuhkan orakel.

Orang-orang yang dianggap bisa jadi perantara dengan apa yang diniatkan penghuni Olimpus hadir di mana-mana dalam kehidupan zaman itu. Ada sejumlah perempuan yang disebut Sibyl ("Kehendak Dewa"). Mereka memaklumkan orakel yang dipercayai luas.

Yang termasyhur di Delphi. Di situ, dewa yang diajak bicara adalah Apollo. Tiga perempuan tua yang tanpa cela dalam hidup dianggap jadi perantaranya. Yang paling utama, disebut Pythia, akan duduk di sebuah tripod tinggi di tepi sebuah lubang besar dari mana keluar gas yang ganjil. Seraya mengunyah daun-daun yang memabukkan, sang Pythia akan menghirup gas itu, dan akhirnya ia mengigau. Kata-katanya itulah yang dianggap jawaban Apollo kepada manusia.

Tapi kalimat yang tak jelas itu harus ditafsirkan oleh para pendeta. Interpretasi bisa bertentangan. Maka si penanya sendiri yang sebenarnya memilih jawaban.

Pada akhirnya, manusia itulah yang memilih.

Mungkin itulah kemudian yang menyebabkan dewa-dewa berhenti bicara. Di abad pertama Masehi, dari sebuah diskusi di Delphi, Plutarch, pemikir dan tokoh publik yang terkemuka itu, menulis buku yang dalam terjemahan Latinnya disebut De Defectu Oraculorum. Di sana, bersama beberapa tamunya, Plutarch mengemukakan problem: mengapa orakel mulai kehilangan dayanya: tak terasa lagi sebagai wahyu para dewa.

Tak ada jawaban yang final. Hanya Plutarch menunjukkan satu indikasi, ada tanda-tanda kematian para dewa-sekian ratus tahun sebelum Nietzsche mengumumkan, Tuhan telah mati. Mungkin karena orang makin sadar, orakel sebenarnya dibentuk oleh tafsir yang tak pasti dan bahasa yang terbatas.

Tapi ada dua sikap yang sebenarnya bisa tumbuh dari sini.

Yang pertama, manusia makin merasa penting. Misteri tentang Ada makin tak menggetarkan dan memukau lagi. Hanya orang yang percaya takhayul yang meneruskan itu. Dan oleh Plutarch mereka yang percaya takhayul diejek sebagai "takut akan dewa-dewa, lari berlindung kepada mereka, dan marah kepada mereka, menjilat mereka, bersumpah kepada mereka...".

Yang kedua, manusia seharusnya makin sadar, betapa besar peran bahasa yang terbatas yang dipakai untuk menafsirkan misteri dari Ada. Dengan demikian semakin sadar pula ia seharusnya, bahwa tuhan atau para dewa tak dapat ditemui tanpa menghayati bahwa dunia dan isinya menyimpan apa yang ilahi, apa yang suci, apa yang transenden.

Katakanlah itu takhayul. Tapi siapa tahu ada sesuatu yang berharga di dalamnya.
Sumber: Tempo, 29 November 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger