Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan SDM
IAIN Sunan Ampel, Surabaya
IAIN Sunan Ampel, Surabaya
Saat ini kemerosotan moral sosial di negeri ini nyaris berada di bawah titik nadir. Hampir semua kasus ditangani setengah hati, mulai dari lumpur Lapindo di Sidoarjo, Bank Century, hingga mafia pajak dan hukum. Inilah secuil contoh yang seutuhnya menyuguhkan keakutan demoralisasi di Indonesia.
Jika belum cukup dengan itu, kita bisa lihat dengan mata telanjang atau mendengar secara jelas kasus korupsi yang melibatkan separuh lebih kepala provinsi atau polah tingkah para wakil rakyat yang hanya sibuk mengurus fasilitas dibandingkan menyuarakan kepentingan rakyat.
Kasus yang kelihatan dan terungkap lebih merupakan puncak gunung es dari kebejatan moral sosial yang masif. Sejatinya demoralisasi sosial saat ini melibatkan hampir semua unsur bangsa, dari partai politik hingga organisasi massa, dari elite sampai masyarakat umum.
Semua itu menohok dengan telak nilai-nilai agama yang kita, bangsa Indonesia, anut dan juga melecehkan nilai-nilai demokrasi yang kita junjung. Adanya pengakuan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang taat beragama ternyata isapan jempol belaka.
Demikian pula klaim Indonesia sebagai negara Muslim terbesar yang demokratis sulit dilacak wujudnya dalam realitas kehidupan bangsa. Pada titik ini penelusuran terhadap akar masalah dan upaya pencarian penyelesaian menjadi keniscayaan. Jika tidak, bangsa dan negara akan terus didera persoalan yang sangat mungkin akan mengantarkan pada puncak krisis dan menjadi titik akhir dari eksistensi negara dan bangsa.
Agama dan demokrasi
Salah satu akar masalah yang memerosokkan bangsa ke dalam kubangan demoralisasi adalah keterpisahan antara keberagamaan dan demokrasi. Masing- masing berjalan sendiri tanpa tautan sinergis di antara keduanya. Jujur saja, keberagamaan yang menguat di sekitar kita lebih menampakkan diri dalam bentuk individual based atau group based religiosity yang meletakkan norma dan ketentuan agama dalam kriteria dan ukuran sekadar pemaknaan yang didasarkan pada pengetahuan atau dan pengalaman sendiri atau kelompok.
Akibatnya, model keberagamaan ini cenderung mengabaikan nilai-nilai moralitas universal ajaran agama yang seharusnya menjadi rujukan dan dasar dalam menyelesaikan persoalan kehidupan manusia dengan segala keragamannya. Agama justru terseret untuk pengentalan identitas diri yang terkadang (sering atau selalu) dipertentangkan dengan simbol atau bahkan eksistensi di luar kelompoknya.
Sebagaimana agama berjalan sendiri, demokrasi pun di negeri ini tampak kuat menempuh perjalanan serupa. Demokrasi dipahami dan dijalankan—meminjam penjelasan Fareed Zakaria (The Future of Freedom)—sekadar sebagai proses pemilihan pemerintahan. Jika pemilihan yang berjalan diikuti multipartai dan tampak bersifat kompetitif, lalu hal itu disebut demokratis.
Pemaknaan demokrasi sebatas permukaan itu akan membuat demokrasi menjadi liar. Dalam kebinalan itu, demokrasi dikembangkan sekadar sebagai tameng untuk menutupi kebejatan moral. Atas nama demokrasi, unsur- unsur negara dan masyarakat berlomba-lomba meneguhkan kepentingan sendiri dan kelompok serta meletakkan kepentingan umum di altar pengorbanan.
Demokratisasi yang lepas dari substansi makna itu akan melahirkan diktator baru berupa koruptor dan masyarakat yang anarkis. Berlindung di balik baju demokrasi, pemimpin di berbagai tingkatan memaksakan kehendak, meneguhkan kekuasaan, menguras kekayaan negara, dan merampas uang rakyat.
Masyarakat pun tidak mau ketinggalan. Melalui kamuflase kebebasan berekspresi, mereka melakukan unjuk rasa anarkis. Kritik yang diarahkan ke lembaga pun tidak lagi sebagai upaya masukan konstruktif, tetapi lebih untuk memeras oknum atau lembaga yang mereka kritisi.
Moralitas sebagai sistem
Demoralisasi yang nyaris mentradisi dalam kehidupan masyarakat dapat dieliminasi—minimal tak berlanjut—melalui aktualisasi nilai-nilai moralitas menjadi sistem kebijakan yang menjangkau segala aspek kehidupan: dari politik, sosial, pendidikan, hingga ekonomi. Bangunan sistem ini perlu dikembangkan sedemikian kokoh sehingga segala bentuk proses, pelaksanaan, dan teknis yang berpeluang dapat menyelewengkan kebijakan dapat dideteksi dan diamputasi sedini mungkin.
Untuk itu, keberlindanan agama dan demokrasi menjadi keniscayaan yang harus dikembangkan. Sebab, sejatinya prinsip demokrasi—kata Abd Karim Soroush (Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama)—adalah moral. Demokrasi pada dasarnya merupakan metode pemerintahan untuk membatasi kekuasaan.
Dalam bingkai itu, keadilan ditegakkan, kepentingan bersama dikembangkan, dan moralitas luhur lainnya dilabuhkan dalam kehidupan. Karena itu, Soroush berargumentasi, demokrasi tidak akan berhasil tanpa komitmen terhadap ketentuan moral. Pada sisi ini demokrasi berutang besar kepada agama yang merupakan benteng moralitas.
Sejalan dengan itu, agama juga memerlukan demokrasi. Ini karena kebenaran nilai-nilai luhur agama yang bersifat metahistoris harus dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan nyata. Kebenaran agama perlu dikembangkan menjadi kebenaran empiris yang menyejarah.
Interdependensi keberagamaan dan demokrasi ini perlu dikawal terus melalui komitmen para agamawan, negarawan, dan masyarakat luas. Maka, kritik para tokoh lintas agama terhadap pemerintah sebenarnya adalah pintu masuk untuk menyinergikan keberagamaan dan demokrasi serta menjadi jalan menuju Indonesia yang lebih baik.
Sumber: Kompas, 31 Januari 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!