Headlines News :
Home » » Rapuhnya Birokrasi Kita

Rapuhnya Birokrasi Kita

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, January 31, 2011 | 4:09 PM

Oleh Alois A Nugroho
Guru Besar Filsafat/Etika di Fakultas Ilmu Bisnis dan Ilmu Komunikasi
Unika Atma Jaya


Apa komentar Peter Drucker andai dia masih bisa membaca bahwa, dalam penilaian para pemuka lintas agama, birokrasi negara kita sangat rapuh sebagai akibat dari mudahnya para penegak hukum dipengaruhi uang?

Salah satu kemungkinan ialah Peter Drucker yang dijuluki bapak manajemen modern itu akan berpaling pada bapak filsafat eksistensialisme, Soren Kierkegaard (Drucker, 2010: 47-61). Kierkegaard menjadi relevan karena menyadarkan kita tentang adanya ketegangan dalam eksistensi manusia.

Ketegangan itu terjadi antara eksistensi manusia dalam waktu dan eksistensi manusia di luar waktu. Kita menyebut eksistensi manusia dalam waktu itu sebagai hidup dan menyebut eksistensi manusia di luar waktu sebagai ada. Dalam dimensi hidup, horizon imajinasi manusia adalah mati. Dalam dimensi ada, horizon imajinasi manusia adalah keabadian.

Penghayatan eternitas

Dalam ilmu administrasi, kita sudah belajar dari Stephen Covey bagaimana kematian menjadi horizon imajinasi bagi birokrat dan manajer yang proaktif dan dengan demikian efektif. Di sini berlaku pula dalil Heidegger bahwa orang yang otentik ialah yang memiliki ketetapan hati yang diteguhkan lebih dulu terhadap kematian karena manusia adalah Sein-zum-Tode ’Ada ke arah Maut’.

Orang proaktif, begitu Covey, ialah orang yang peduli pada apa yang dipikirkan para pelayat tentang dirinya tatkala dia sudah terbujur sebagai jenazah. Bagi Covey, orang efektif ialah orang yang peduli pada kenangan yang akan tetap tumbuh dalam hati dan pikiran banyak orang ketika dirinya sudah tidak hidup lagi.

Dalam dimensi keabadian, kenangan orang-orang lain waktu kita mati bukanlah masalah utama. Masalah utama ialah bagaimana dalam hidup ini eksistensi sebagai keabadian dapat diaktualkan. Bagaimana dapat diwujudkan dalam perilaku konkret hidup sehari-hari di dunia sekarang bahwa eksistensi kita punya dimensi eternitas. Dalam bahasa para agamawan, itu kurang lebih berbunyi bahwa eksistensi kita ”tidak berasal dari dunia ini”.

Bagi Kierkegaard, dua dimensi itu berada dalam ketegangan. Eksistensi dalam waktu mendorong manusia berkembang biak agar spesies bertahan dan tumbuh kuat untuk menafkahi hidupnya dan anak cucunya, untuk meraih kekuasaan, kemuliaan, dan kejayaan. Eksistensi dalam keabadian mendorong manusia bergerak ke arah yang sebaliknya. Mengendalikan nafsu, sabar, berani mengalah, bela rasa, dan selalu siap mengampuni adalah beberapa sikap yang dipupuk oleh eksistensi diri sebagai keabadian.

Penghayatan eternitas oleh eksistensi yang juga fana ini tidak jarang menimbulkan kecemasan. Bayangkan Anda bangun tidur dan tiba-tiba tersadar bahwa suatu saat Anda akan mati, tetapi akan tetap ada terus dan tidak lagi dapat menghapus ada Anda.

Perwujudan eksistensi eternitas dalam dunia temporal sering menimbulkan tragedi, bahkan juga di kalangan para pemuka agama. Secara tragis agama dapat jatuh dan berubah menjadi usaha pribadi atau usaha bersama untuk mengakumulasi kekayaan, kekuasaan, kemuliaan, dan kejayaan duniawi. Buku harian Soren Kierkegaard sendiri memuat banyak kritik atas praktik organisasi dan administrasi agama yang tragis.

Mengingat jauhnya perbedaan di antara dua dimensi itu, bersama Hannah Arendt bisa kita katakan bahwa dimensi keabadian ialah alteritas dari dimensi keberwaktuan. Kita sering banal, pragmatis, atau mencari mudahnya saja dengan menutup mata dan telinga terhadap alteritas. Eksistensi kita sebagai keabadian tidak diajak berunding. Kita menganggap eksistensi keberwaktuan sebagai eksistensi keabadian.

Suara hati birokrat

Dalam konteks pemikiran Arendt, birokrat dan penegak hukum yang tidak banal ialah birokrat dan penegak hukum yang peduli terhadap alteritas berupa eksistensi sebagai keabadian. Mereka mendengarkan suara keabadian, suara yang lain dalam diri, yang dalam bahasa sehari-hari disebut suara hati atau hati nurani.

Dimensi keabadian perlu dipedulikan, baik dalam perilaku profesional maupun perilaku sehari-hari, tidak hanya pada saat beribadah. Jangan sampai dalam perilaku profesional, para birokrat dan penegak hukum semata-mata bertindak atas dorongan untuk hidup, mempertahankan kekuasaan, atau mencari kekayaan, kekuasaan, kemuliaan, dan kejayaan yang lebih tinggi.

Jangan sampai kita hanya bertindak berdasarkan kebiasaan begitu saja tanpa memeriksa adakah yang kurang pas, kurang sreg, dilihat dari sudut keabadian. Jangan sampai kita bertindak hanya berdasarkan semangat korps atau prosedur semata tanpa memerhatikan suara hati atau suara keabadian.

Bahkan, dengan mengingat imbauan Stephen Covey saja, birokrat dan penegak hukum kita semestinya berusaha peduli pada bagaimana kelak hidupnya akan dikenang orang pada saat sudah meninggal, tak hanya pada bagaimana bergelimang kekayaan dan kejayaan semasa hidup. Sikap proaktif ini merupakan salah satu ciri dari birokrat yang efektif yang akan menyebabkan birokrasi kita tidak serapuh sebagaimana dikeluhkan para pemuka lintas agama.

Namun, bagi Drucker, Kierkegaard, dan Arendt, keefektifan sosial bukanlah ukuran yang memadai. Dengan keefektifan sosial, birokrat kita akan sekadar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada atau dengan semangat korps semata.

Kita bisa saja dikenang sebagai warga korps yang loyal apabila tidak membuka korupsi yang dilakukan secara beramai-ramai. Kita akan berusaha dikenang sebagai bukan raja tega oleh sanak kerabat yang menengadahkan tangan dan tak mau tahu dari mana asal uang bantuan itu. Akibatnya, akan muncul keluhan bahwa birokrat dan penegak hukum kita rapuh, mudah tergiur oleh uang.

Dalam konteks ini, mengambil napas satu menit untuk berkonsultasi dengan suara keabadian dalam diri menjadi sangat penting bagi para birokrat dan penegak hukum. Masalahnya, suara keabadian itu mungkin hanya berbisik lirih, sementara suara keberwaktuan dengan suara keras mendominasi ruang batin para birokrat, penegak hukum, dan juga politisi.

Kita berharap para birokrat, politisi, dan penegak hukum masih mendengar desir keabadian yang lirih itu.
Sumber: Kompas, 1 Februari 2011
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger