Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad
Konferensi pers yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat terkait gonjang-ganjing yang menimpa partai biru berlambang 'segitiga Mercy' ini patut dicermati. Temu wartawan dari berbagai media massa tersebut diadakan di kediaman Presiden SBY di Cikeas, Bogor dan dihadiri oleh hampir semua elite partai penguasa ini, Senin (11/7) malam lalu.
Dari sisi komunikasi, apa yang dilakukan SBY tersebut sesungguhnya lebih bernuansa internal ketimbang eksternal. Pertama, acara dilakukan di tempat kediaman pribadi, tidak di tempat umum. Kedua, saat itu SBY bertindak dalam kapasitasnya sebagai orang yang paling menentukan di partai berlambang 'bintang Mercedes' tersebut, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina, bukan sebagai presiden.
Namun, dari sudut tujuan komunikasi, peristiwa di atas tidak cukup hanya dimaknai sebagai kepentingan internal semata. Karena, di dalam kesempatan tersebut SBY juga menggunakannya sebagai forum "pembelaan diri" dan "curhatan" serta tidak ketinggalan pula "sentilan pedas" terhadap pihak-pihak luar yang dianggapnya ingin mengobok-obok Partai Demokrat. Apalagi, acara tersebut dikemas dalam balutan konferensi pers yang tentu saja merupakan konsumsi publik.
Dari perspektif internal, pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan SBY tentu dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjaga soliditas Partai Demokrat. Hal ini sangat relevan mengingat dalam beberapa waktu terakhir ini banyak isu terkait Demokrat yang kian memanaskan telinga SBY sebagai Ketua Dewan Pembina. Setidaknya ada tiga isu yang bisa diidentifikasi.
Pertama, isu akan diselenggarakannya kongres luar biasa (KLB) yang bukan tidak mungkin akan berujung pada diberhentikannya Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum. Isu ini makin santer setelah bocornya SMS (short message service) yang dilayangkan salah seorang anggota Dewan Pembina, Marzuki Alie kepada SBY, yang antara lain isinya meminta SBY untuk melakukan tindakan "penyelamatan partai". Banyak pihak menduga bahwa istilah penyelamatan partai sebenarnya adalah bentuk efimisme dari penggantian ketua umum. Apalagi, Marzuki adalah rival Anas dalam memperebutkan kursi nomor satu di tubuh Demokrat dalam kongres di Bandung, beberapa waktu lalu.
Kedua, isu perpecahan di kalangan elite Demokrat. Hal ini mulai terlihat ketika kasus Nazaruddin menyeruak ke permukaan. Sebenarnya tidak ada kesepakatan bulat di kalangan mereka mengenai opsi pemecatan Nazaruddin dari kursi bendahara umum partai. Inilah yang kemudian memicu "perseteruan internal" antara Dewan Kehormatan dan Tim Pencari Fakta yang dimotori Fraksi Demokrat di DPR. Tampaknya perseteruan tersebut masih tetap berlangsung sehingga dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi terjadi perdebatan panas tanpa tedeng aling-aling antara Amir Syamsuddin dan Ruhut Sitompul yang dapat dikatakan mencerminkan dua kubu yang berbeda.
Ketiga, isu yang menyebutkan bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum akan mendongkel SBY dari posisinya sebagai Ketua Dewan Pembina. Isu ini tentu dihembus-hembuskan mengingat sejarah di masa lalu (baca: Kongres Bandung) di mana SBY sesungguhnya tidak sreg dengan majunya Anas sebagai kandidat ketua umum. Terkait dengan keputusan Dewan Kehormatan yang notabene dipimpin SBY pun, diduga ada ketidaksepakatan antara SBY dengan Anas.
Namun, melalui pernyataan-pernyataannya malam itu SBY mencoba menegasikan semua isu tersebut dan menegaskan bahwa tidak ada perpecahan di kalangan Partai Demokrat. Secara internal tentu penegasan SBY tersebut sangat penting dan berguna untuk menenangkan semua anggota partai, sehingga soliditas partai bisa tetap terjaga.
Sumber Sepihak?
Namun, di luar kepentingan internal tersebut justru apa yang dilakukan SBY belum memenuhi keinginan publik. SBY agaknya lebih rajin menyentil pihak-pihak luar yang dianggapnya memperkeruh kekisruhan internal Demokrat. SBY, misalnya, menyindir acara-acara talkshow di televisi yang menurutnya kian memperuncing pertikaian. Bahkan, SBY juga melayangkan kritik pada media massa secara umum yang dipandangnya hanya menggunakan sumber sepihak, apalagi berupa SMS yang sulit dipertanggungjawabkan. (Pesan via SMS bisa dikirim oleh siapa pun, termasuk oleh pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan Nazaruddin. Benarkah SMS tersebut dikirimkan oleh Nazaruddin sendiri, masih belum jelas).
Bahwa SBY sebagai pribadi melayangkan kritik terhadap apa pun dan siapa pun tentu boleh-boleh saja, karena dia memiliki hak yang sama dengan semua warga negara. Namun, SBY agaknya lupa atau tidak peka terhadap tuntutan publik agar Nazaruddin yang sudah semakin "liar" tersebut diberhentikan dari partai dan DPR. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Dewan Kehormatan, apa susahnya memberhentikan seorang Nazaruddin, kecuali kalau memang ada "apa-apanya" di balik itu semua.
Jadi, sekarang kuncinya terletak di tangan SBY sendiri sebagai orang yang paling menentukan di Partai Demokrat. Maka, kalau kasus Nazaruddin dibiarkan berlarut-larut, yang kena bukan sekadar Demokrat tapi justru SBY sendiri. Karenanya, tidak salah kalau ada yang mempertanyakan apakah sekarang ini merupakan krisis Demokrat atau SBY?
Sumber: Suara Karya, 14 Juli 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!