mantan wartawan Pos Kupang &
Calon Wakil Bupati Lembata
Calon Wakil Bupati Lembata
Energi negatif yang acapkali mengaburkan esensi kekuasaan adalah kehendak instan untuk “menduduki” kekuasaan. Padahal, apabila kekuasaan itu dimaknai sebagai proses transfer mandat/amanah dari rakyat (baca: masyarakat) melalui prosedur demokrasi yang bernama pemilu (pilpres, pemilukada, atau pileg), maka disposisi batin yang semestinya terpatri pada sanubari elite-elite penerima amanah rakyat adalah kesadaran untuk “memangku” kekuasaan itu.
Secara artifisial maupun filosofis, terdapat perbedaan yang bersifat diametral antara frase “menduduki kekuasaan” dan “memangku kekuasaan”. Frase menduduki kekuasaan mengandung makna bahwa kekuasaan itu hanya sekadar menjadi alas duduk belaka.
Sebaliknya bila kekuasaan itu diposisikan sebagai amanah yang harus dipangku, maka kekuasaan itu bakal berada pada tempat yang lebih bermartabat dan berahmat. Sebab sesungguhnya kekuasaan itu mesti diabdikan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan banyak orang atau kesejahteraan umum (bonum communae).
Dari perspektif religiositas, kekuasaan sesungguhnya merupakan medium untuk dapat melayani orang banyak melalui tugas-tugas publik. Pandangan ini menempatkan kekuasaan sebagai pilihan moral untuk dapat menunaikan kewajiban publik menuju bonum communae. Artinya, otoritas kekuasaan yang diamanahkan oleh masyarakat kepada para pemegang kekuasaan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan umum.
Menegasikan atau menisbikan tujuan luhur dari kekuasaan sama artinya dengan pengingkaran terhadap amanah rakyat itu sendiri.
Antitesa terhadap energi negatif yang selama ini cenderung mengaburkan esensi kekuasaan adalah kesadaran kolektif untuk memosisikan kekuasaan itu sebagai medium atau sarana pelayanan publik, dan bukannya sebagai tujuan.
Inilah energi positif yang diharapkan mampu memberikan makna esensial terhadap kekuasaan. Kekuasaan politik sesungguhnya adalah amanah, dia tidak hadir sebagai warisan berbau dinasti, melainkan murni berasal dari amanah rakyat sebagai sarana pemartabatan kehidupan bersama. Dalam diksi yang lain, kekuasaan politik haruslah diabdikan untuk semata-mata kepentingan rakyat, dan bukan sebaliknya untuk memenuhi hasrat kepentingan kelompok dan golongan.
Dengan demikian, setiap orang yang memperoleh otoritas kekuasaan melalui mandat rakyat wajib hukumnya untuk mengembalikan tanggung jawab kekuasaan itu dalam bentuk peningkatan kesejahteraan umum.
Di atas segalanya, kekuasaan itu lebih-lebih harus dipertanggungjawabkan kepada TUHAN yang Mahakuasa sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan. Dalam perspektif spiritualitas kita harus selalu meyakini bahwa “apabila TUHAN mengaruniakan kekuasaan kepada seseorang, TUHAN juga akan memberi hikmat untuk mengelolanya”.
Setiap kali kita dihadapkan pada panggilan demokrasi untuk memberikan suara pada peristiwa pemilu, maka kita selalu melakukannya dengan beraras pada asas kerahasiaan yang bersifat amat personal.
Pilihan yang diberikan dalam bilik suara sesungguhnya bersifat amat subjektif karena seseorang hanya dapat berbicara dengan suara hatinya sendiri. Dalam dimensi personalitas inilah, tampak jelas bahwa urusan suara hati selalu beririsan dengan dimensi transenden. Maka, tergenapilah adagium atau ungkapan tentang “suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox Dei).
Tatkala seorang pemilih berada di bilik suara yang hening, maka ia sesungguhnya sedang berbicara dengan suara batinnya sendiri yang lebih merepsentasekan sesuatu yang bersifat transenden. Dalam setiap keheningan batin itulah TUHAN bersemayam. Kalau demikian, tidak ada faedahnya sedikit pun untuk memperebutkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Pada akhirnya hanyalah rakyatlah yang berkuasa menitipkan amanahnya kepada pemimpin yang dipercayainya. Ikhtiar untuk meraih kepercayaan rakyat dengan berpegang teguh pada kesantunan demokrasi itulah yang mesti menjadi sentrum gerakan politik kekuasaan. Mobilisasi sumber daya politik secara berlebihan hanya akan membuncahkan antipati kolektif.
Hari-hari ini, kita menyaksikan bahwa dalam kompetisi demokrasi untuk menyeleksi kepemimpinan politik, acapkali kita temukan praktek politik yang belum ideal. Seringkali prasangka mendominasi ruang politik sehingga tidak mampu melumerkan kebekuan komunikasi politik. Sebermula, kebekuan komunikasi politik terjadi sebagai akibat prasangka yang diterima sebagai kebenaran tunggal. Hal ini semakin runyam karena aspek sugesti dari gosip politik terus mewarnai ranah kompetisi politik.
Di tengah budaya gosip yang masih dominan, informasi yang mengandung kebenaran justru teredusir sebagai sinisme belaka. Salah satu cara terbaik menghadapi gosip politik yang lemah secara logika dan tidak berimbang dari konteks informasi adalah dengan “mengambil sikap diam”, sesuatu yang sesungguhnya tidak identik dengan sikap pasif.
Dalam pada itu, harus diakui bahwa media massa ikut berperan menaikkan suhu politik di tengah medan kompetisi politik. Namun, kita tidak bisa menggugat peran media massa dalam konteks ini, karena media secara sadar mengambil posisi untuk ikut serta dalam proses pelembagaan demokrasi. Bila dalam kenyataannya ada media yang mengambil posisi sebagai partisan politik dan tidak taat pada Kode Etik Jurnalistik maka secara alamiah biarlah media tersebut memperoleh hukuman (punishment) dari publik pembaca.
Dengan demikian, para pihak termasuk lembaga-lembaga publik, tidak terkecuali lembaga-lembaga profetis, jangan sampai keliru memandang peran media massa.
Hal-hal yang dianggap menimbulkan kontroversi akibat suatu pemberitaan media, haruslah direspons dengan memanfaatkan “hak jawab” sebagaimana ketentuan undang-undang pokok pers. Hal ini penting agar tidak muncul salah tafsir yang kontraproduktif sehingga menimbulkan ketidaknyamanan publik.
Hari ini, Rabu 27 Juli 2011, masyarakat Kabupaten Lembata sedang mempersiapkan diri untuk melakoni kewajiban demokrasinya dalam pemilu kada putaran kedua. Di manakah nian muara kompetisi politik ini bakal berujung? Kabupaten Lembata yang adalah kabupaten sulung hasil pemekaran di wilayah Propinsi NTT ini sesungguhnya sedang menghadapi pergumulan, apakah sebagai kabupaten otonom ia bakal naik kelas, atau kelak ia harus ikhlas untuk kembali bergabung dengan kabupaten induknya Flores Timur.
Pemerintahan Lembata hasil pemilu kada putaran kedua inilah yang akan memanggul tanggung jawab untuk menjaga status otonomi ini.
Mari dengan tenang kita menunggu masyarakat Lembata memberikan otoritas demokrasinya melalui bilik-bilik suara.
Mari dengan sabar kita menantikan bagaimana masyarakat Lembata menyeleksi dan menentukan duet pemimpinnya. Mari dengan santun kita merespons hasil dari prosesi panjang pemilu kada Lembata. Wajib hukumnya bagi semua pihak untuk secara bermartabat menghormati keputusan masyarakat Lembata untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati Lembata periode 2011-2016.
Yang pasti, masyarakat Lembata menunggu agar di lima tahun mendatang, dan tentu untuk seterusnya, Kabupaten Lembata harus dapat berlari lebih kencang untuk mengejar ketertinggalan pembangunan. Dalam konteks inilah, sesungguhnya kebersamaan harus dapat diposisikan sebagai modal utama pembangunan Lembata. Hal ini kiranya dibarengi dengan kesadaran dari para calon pemimpin untuk membumikan kekuasaan politik sebagai kekuasaan yang melayani. Selamat memilih, untuk Lembata yang lebih baik!
Sumber: Pos Kupang, 27 Juli 2011
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!