Headlines News :
Home » » Petrus Bala Pattyona, Menjadi Sampel dan Kajian Akademis

Petrus Bala Pattyona, Menjadi Sampel dan Kajian Akademis

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, January 13, 2012 | 9:54 PM

DUNIA kepengacaraan sudah lama ia geluti.  Ia termasuk salah satu pengacara papan atas negeri ini. Malang melintang di ibukota  hingga daerah-daerah di seluruh negeri ini.  Seringkali ke luar negeri.

Ia membela orang-orang kecil. Tukang becak, petani, pengusaha, para pejabat dan siapa pun termasuk membela Ratna Sari Dewi Soekarno, istri mendiang Soekarno karena kontroversi "foto-foto telanjang" dalam buku  Madam Shuga.

Dialah Petrus Bala Pattyona, anak kampung dari Kluang, Desa Belabaja, Kabupaten Lembata. Pikiran, pandangan dan pengalaman pengacara kondang ini  disampaikan  kepada wartawan Pos Kupang, Paul Burin, yang mewawancarainya di Jakarta, belum lama ini.     

Pengalaman Anda begitu banyak. Tetapi, yang menarik adalah pada tahun 1998, Anda  menjadi pengacara Ibu Dewi Soekarno. Bisa Anda ceritakan?
Kasus  Ibu Dewi Soekarno  itu muncul karena pertama dia sebagai tokoh. Dia adalah  istri Presiden RI, Soekarno. Ada pertentangan kebudayaan. Di Jepang, dalam kasus  foto-foto telanjang, itu hal biasa. Mereka tetap melihat dalam konteks art, seni. Tetapi, di Indonesia terjadi penolakan luar biasa.

Bagaimana awalnya Anda berkenalan sehingga menjadi pengacaranya?
Saya nggak  tahu. Saya juga tak pernah berkontak langsung dengannya. Hanya, suatu ketika ia menelepon saya dan menyampaikan bahwa dia adalah Dewi Soekarno (nama asli Ibu Dewi adalah Naoko Nemoto). Dia bilang  bahwa telah membaca berbagai berita di luar negeri tentang kiprah saya. Saat itu ia menyampaikan ingin berkonsultasi. Ketika itu kami menyepakati untuk bertemu di Singapura. Ia bahkan menanyakan apakah saya familiar dengan Singapura? Saya katakan ya, karena sudah sering ke sana. Ketika itu ia menyampaikan akan menginap di Hotel Mandarin Singapura. Saya pun berangkat ke Singapura dan di sana kami berdiskusi. Ia menceritakan duduk perkara kasus ini. Saat itu ia mengatakan, akan ke Indonesia untuk menjelaskan persoalan ini.

Anda membela Ibu Dewi dalam konteks apa?
Begini ceritanya. Masalahnya seputar hak-hak kepemilikan foto-foto itu. Di Indonesia, salah seorang wartawan menuliskan tentang foto-foto syur itu tanpa mencantumkan kredit/hak cipta dari foto-foto itu. Seakan-akan wartawan Indonesia yang menjepret Ibu Dewi. Padahal, hak ciptanya adalah seorang fotografer asal Jepang yang kini berusia 70 tahun. Namanya, Mr Hideki Fuji. Ia kini tinggal di kaki Gunung Fuji. Memang, sebagian foto-foto itu dijepret di Indonesia antara lain di Bali. Inilah yang membuat fotografer Jepang itu marah. Lalu saling menggugat. Sebagai pengacara, saya ke Jepang. Saya menanyakan ke Departemen Kehakiman Jepang. Masalahnya menjadi jelas. Pemegang  hak  foto-foto adalah Mr Hideki Fuji.

Tahun 1998 juga Anda membela sebuah kasus unik di Bekasi. “Burung” klien Anda dijepit oleh polisi dan diolesi balsem sehingga membengkak. Bisa diceritakan?
Benar, klien saya disiksa oleh polisi. Tujuannya jelas agar ia dapat mengaku sebagai pelaku kasus pembunuhan. Saya melihat ada celah yang justru menarik. Ketika bertemu, klien saya ini menceritakan persoalan itu. Ia tak bisa kencing karena “burungnya” dijepit, diolesi dengan balsem hingga menjadi bengkak. Saya persoalkan masalah ini. Saya bilang, ini salah tangkap karena memang ia mengaku tak melakukan pembunuhan serta melanggar hak asasi manusia (HAM). Justru kasus ini dianggap oleh Presiden Soeharto sebagai kasus tercepat yang diungkap polisi. Presiden memanggil polisi dan memberikan penghargaan pada pagi hari. Pada sore hari, saya buat ulah dengan menggelar konferensi pers. Saya membeberkan data-data bahwa polisi salah tangkap dan telah terjadi pelanggaran HAM. Ribut besar.  Saat itu Komnas HAM baru terbentuk. Saya kemudian membuat laporan ke komisi ini. Di sana, saya laporkan bahwa tindakan polisi mengoles “burung” tersangka sebagai pelanggaran HAM berat. Saya foto burungnya sebagai bukti. Semua orang mencercah polisi. Mereka bilang polisi kejam, polisi sadis.

Apakah Anda tak diancam?
Polisi mengancam saya. Tapi, saya tak takut. Esoknya saya buat pengaduan. Saya gugat polisi hingga terjadi keributan di pengadilan. Sidang akhirnya dikawal ketat tentara. Karena kasus ini panas, sidang tak dilakukan di Pengadilan Negeri Bekasi tapi pindah ke GOR Bekasi. Terjadi perdebatan. Semua pengacara  turun tangan membela saya. Saya seakan menjadi bintang berita.

Ada mobil kawan saya dirusaki, wartawan menulis mobil saya yang ditimpuki. Seorang kawan pengacara  berlagak memukul kepala saya, wartawan memberitakan bahwa polisi memukul kepala saya dan seterusnya. Sebelum sidang dipindahkan ke GOR Bekasi, polisi mengejar saya. Saat itu seorang wartawan menguntit dan menemui  saya tengah berlindung di ruang panitera di PN Bekasi. Saya tahu dia ingin membuat berita besar. Dia minta kepala saya diguyuri air, baju saya dirobek sebagai bukti telah terjadi penganiayaan.

Sang wartawan ini menyuruh saya duduk seakan tak berdaya. Ia menyuruh saya bicara sedikit gagap. Ia syuting. Usai  wawancara, saya mau keluar, dia setting lagi. Saat keluar dikawal dua orang tentara. Jadi, dengan visualisasi itu tanpa kata-kata saja sudah  menunjukkan situasi mencekam. Sore hari berita geger lagi. Besok sidang, semua pengacara se-Jakarta datang dan memberikan advis.

Sebenarnya di mana posisi pengacara dalam membela klien?
Seorang pengacara harus bisa menyodorkan bukti-bukti. Seperti kasus korupsi. Pernyataan polisi atau jaksa yang menyebutkan bahwa pejabat ini terlibat korupsi. Itu kan pernyataan yang membentuk opini publik. Tugas pengacara adalah mencari data apakah benar pernyataan itu. Pengacara juga harus memperjuangkan hak-hak kliennya. Bagi saya beracara adalah tugas kemanusiaan. Membela mereka yang tersandung.

Ada pendapat yang menyebutkan pengacara kadang bermuka dua, tiga dan seterusnya. Artinya ia menjadi kaki tangan polisi, jaksa atau hakim?
Itu nggak benar. Bagi saya seorang pengacara itu membela apa adanya. Jangan membalikkan persoalan. Jangan putih menjadi hitam atau hitam menjadi putih. Sehingga kadangkala ada pengacara yang tak dipercaya lagi karena sikap-sikap yang tak terpuji. Orang kan cerita dari mulut ke mulut. Saya pernah bela kasus korupsi wakil walikota Medan. Di satu sisi karena kelalaian dia. Kita minta supaya hukuman seringan-ringannya.

Atau kasus Arifin di Kupang itu. Putusannya kontroversial. Dua orang hakim yakni Pak Jonson Miramangi dan Ibu Marice Dilak berpendapat bahwa dakwaan tak terbukti. Sedangkan ketua majelis hakim berpendapat bahwa Arifin terbukti dan harus dihukum satu tahun penjara. Memang, perbedaan pendapat itu hal biasa. Tapi, dengan keputusan itu keluarga terdakwa protes. Protes itu dilakukan karena di luar persidangan hakim ketua ini bermain mata dengan keluarga. Ia meminta tiket pesawat dan fasilitas karaoke dan masih banyak permintaan lainnya. Lalu, dengan data-data itu klien mengirim dokumen ke komisi yudisial agar hakim itu diperiksa. Kasusnya sedang dalam penanganan dan kemungkinan yang bersangkutan dipecat.

Anda pernah dipanggil oleh DPR untuk menjelaskan tentang hak-hak kekebalan profesi advokat. Mengapa?
Dalam kasus pembelaan saya terhadap Zarima menjadi sangat unik. Ketika itu Polda Metro Jaya menangkap saya dengan alasan saya  memalsukan surat di pengadilan. Tapi, saat diperiksa, saya menggunakan hak-hak kekebalan profesi. Kasus saya inilah menjadi  alasan DPR memanggil saya untuk menjelaskan dalam hal apa saja seorang pengacara itu ditangkap baik di dalam dan di luar pengadilan. Ketika menjalankan tugas di pengadilan, seorang advokat memiliki hak-hak kekebalan. Akhirnya UU itu ditetapkan. Jadi, kasus-kasus yang saya alami menjadi sampel dan kajian akademis. Di beberapa buku tentang profesi pengacara, nama saya menjadi referensi studi kasus.


Selalu Bersahaja...

PETRUS merantau ke Jakarta setelah menamatkan SMA PGRI Lewoleba tahun 1979. Mengikuti kakaknya Yos Pattyona yang sudah menjadi orang di Jakarta. Sipenmaru di UI ia ikut tapi tak gol. Akhirnya ia memilih kuliah Universitas Jayabaya, Jakarta. Kuliah cuma tiga setengah tahun. Pada semester pertama indeks prestasinya (PI) 3,7. Inilah yang membuat sang kakak Yos Pattyona  dan istrinya Ibu Mia Botoor (alm) senang.

Tamat dari Jayabaya tahun 1985. Seorang pastor dari Kupang menawarinya menjadi dosen di Unika Widya Mandira Kupang. Sempat ke Kupang, namun Petrus memilih kembali ke Jakarta. Suatu ketika ia  ke Kampus Jayabaya, ia mendapatkan pengumuman bahwa sebuah LBH di Jakarta mencari para voluntir untuk magang menjadi pengacara.

Syaratnya, IP sekian. Merasa memenuhi syarat itu Petrus mendaftar dan akhirnya mengikuti seleksi dan lulus. Para calon voluntir yang mendaftar  200 orang, tapi yang diterima  cuma 20 orang.

Sejak awal LBH Jakarta sudah menyampaikan bahwa pekerjaan ini tak digaji. Tiap hari hanya diberi uang makan sebesar Rp 1.500, ambil tiap hari Jumat. Bagi Petrus ini merupakan kesempatan baginya untuk menerapkan ilmu yang diperoleh. Banyak pengalaman yang diperolehnya. Dalam masa magang ini bersama RO Tambunan pernah menggugat iklan gudang garam. Ia pernah menangani kasus mutilasi di Sukabumi dan  membela pedagang di Cirebon.

Dengan pengalaman itu ia kemudian bergabung berturut-turut dengan RO Tambunan, Maruli Simorangkir dan sebagai patner bersama Ruhut Sitompul dan rekan. Ia terus belajar mencari pengalaman. Tahun demi tahun seiring dengan pergerakan waktu  karier dan ekonominya semakin menanjak.

Petrus mengatakan, uang yang ia peroleh itu  ia "tandai" dengan membeli mobil, membangun rumah, membeli tanah, berinvestasi dan kegiatan sosial lainnya.

Meski sibuk Petrus  yang tinggal di daerah Ciganjur, Jakarta itu dekat dengan penduduk setempat yang rata-rata penduduk asli. Rumahnya selalu ramai. Ia menganggap mereka sebagai keluarga sendiri. Tak ada sekat. Di sekitar rumahnya ia membeli beberapa  areal tanah. "Satu areal tanah ini harganya sudah miliar, ama," kata anak bungsu dari tujuh bersaudara ini ketika bersama Pos Kupang melihat dari dekat beberapa areal tanahnya.

Yang menarik ialah pada sebuah lahan Petrus menanami dengan berbagai tanaman yang kini sudah berbuah. Ada buah rambutan, mangga, advokat, pisang, asam lembata yang terkenal manis itu dan masih banyak lagi tanaman buah-buahan. Ketika musim petik ia membaginya kepada warga setempat.

Di tengah lahan ia membangun sebuah gubuk dan dinamai Oring (kebun) Lembata, lengkap dengan peta Pulau Lembata. Sebenarnya Petrus ingin menghadirkan suasana di kampungnya yang sejuk di bawah kaki Gunung Labalekan itu. Dalam keseharian lelaki ini selalu bersahaja. Dengan siapa pun meski sudah menjadi pengacara papan atas.

Biodata
Nama    : Petrus Bala Pattyona, S.H, M.Hum
Lahir        :  Kluang, Desa Belabaja, Lembata, 6 Oktober 1960
Istri            : Magdalena Doren
Anak          : Martin Bala Pattyona
Pendidikan  S1 (1985), S2  (2000) di Universitas
Jayabaya, Jakarta
Ayah        : Arnoldus Wolo Pattyona
Ibu        :  Yuliana  Ance Ndoen
Saudara    :  Yoseph Pattyona, Frans Rubo, Nikolaus Ndoen, Theresia Sula Pattyona, Paulus Ruben Pattyona dan Paulus Genere Pattyona.

Kasus-kasus besar yang pernah ditangani antara lain:
1. Pembunuhan Gita Sutan Azwar dan adiknya di Los Angeles
2. Kasus keluarga Cendana (bela Ari Sigit satu tim dengan Juan Felix Tampubolon, Elsa Syarif, Nudirman Munir)
3. Kasus Sekretaris Kabinet/Dipo Alam yang digugat oleh Metro TV
4. Wakil Walikota Medan dalam kasus korupsi di KPK
5. Kasus Nunun Nurbaeti
6. Kini sedang menangani perkara  pembobolan uang El Nusa Rp 160 M di Bank Mega.
Sumber: Pos Kupang Minggu, 15 Januari 2012
Ket foto: Petrus Bala Pattyona
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

  1. Secara pribadi, saya adalah salah satu dari sekian banyak pengacara muda yang mengagumi beliau. Suatu ketika, pada pertengahan bulan Maria (Mei 2013) saya berkesempatan bertemu dan berbincang dg Bpk. Petrus di lobi hotel tempat beliau biasanya menginap, di kawasan wisata Pantai Sanur. Kurang lebih 1 jam berbagi pengalaman, kiat2 sukses beracara, motivasi, hingga nasehat. saya menyimpulkan "beliau memang sangat-sangat bersaharja"

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger